Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

"Not My King" Jadi Slogan, Polisi Inggris Menindak Demonstran Anti-Monarki

15 September 2022   12:51 Diperbarui: 16 September 2022   06:53 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Not My King" menjadi slogan anti-monarki Inggris (Tangkapan layar kanal Youtube The Guardian)

Sejak minggu lalu dunia berduka atas kematian Ratu Elizabeth II. Orang-orang di Inggris menggaungkan "The Queen is dead. Long Live the King." Seluruh media membahas tidak hanya kematian tapi juga kehidupan dari ratu. Dunia seolah memasuki periode tenang untuk merenungkan kehidupan dan pelayanannya. 

Tetapi beberapa juga mencoba untuk menarik perhatian publik pada dosa-dosa Kerajaan dan mempertanyakan relevansi monarki dengan abad demokrasi sekarang ini. Tagar "NOTMYKING" pun muncul menghiasi demonsrtrasi anti-monarki Inggris.

Apakah polisi Inggris bersedia untuk mentolerir perbedaan pendapat terhadap Kerajaan? Saya ragu. Saya punya alasan bilang begitu.

Vidio di bawah ini dari Central London. Surat kabar lokal Inggris Dailymail mengeluarkan videonya. Ada seorang pria yang dikelilingi oleh polisi saat pidato Raja Charles sedang berlangsung. 

Dia memegang poster bertuliskan "NOT MY KING" artinya "BUKAN RAJA SAYA". Saya berasumsi bahwa pesan itu adalah untuk Raja Charles III. Pria itu memprotes dengan damai tetapi polisi memutuskan untuk mengeluarkannya dari area tersebut.


Kasus seperti pria Central London tidak terjadi hanya sekali. Saya temukan lebih banyak vidio lain di mana demonstran damai dibubarkan oleh aparat. Berikut ini video seorang pengacara yang sedang berada di Parliament Square London. 


Dia hanya memegang selembar kertas kosong. Jadi secara teknis itu bahkan bukan tanda protes. Tapi ternyata kertas kosong juga bermasalah bagi polisi setempat. Mereka menghampiri pengacara tersebut. Polisi mengeluarkan pengacara tersebut karena menduga pria tersebut akan menuliskan kata-kata yang menyinggung (menyakiti) seseorang. 

Pengacara tersebut menanyakan "siapa yang akan tersinggung dengan 'NOT MY KING'?". Polisi bahkan menghentikan protes damai sebelum dimulaI. Apakah ini merupakan upaya untuk menghancurkan perbedaan pendapat terhadap raja baru?

Pengacara tersebut kemudian men-tweet. Namanya adalah Paul Powlesland. Saya kutip tweet-nya.

"Senang saya bisa tampil di TV pagi ini & membuat argumen yang hanya diizinkan untuk dibuat oleh beberapa orang lain: kita dapat menghormati & meratapi Ratu, sementara juga mempertanyakan & memprotes aksesi Charles ke takhta & upaya untuk menggunakan rasa hormat yang dirasakan untuk Ratu untuk memperkuat posisinya."

Tangkapan layar tweet Paul Powleslamd (@paulpowlesland/Twitter)
Tangkapan layar tweet Paul Powleslamd (@paulpowlesland/Twitter)

Kasus pengacara tersebut bukanlah insiden yang terisolasi sama sekali dari beberapa insiden belakangan ini. Bahkan ada pola yang bisa kita lihat di sini.

Lihat saja yang terjadi di Edinburgh. Ketika prosesi Kerajaan melewati jalan, seorang pria ditangkap karena mengkritik pangeran Andrew.


Demonstran tersebut ditangkap. Ia ditangkap atas tuduhan merusak ketertiban. Menurut Polisi Skotlandia, tindakan pria tersebut merupakan bentuk perilaku tidak tertib. Penangkapan pria tersebut bukan satu-satunya penangkapan yang terjadi. 

Akhir pekan lalu seorang wanita berusia 22 tahun ditangkap di Edinburgh. Wanita tersebut menghadapi tuntutan pidana gegara protesnya. Dirinya harus mengikuti sidang di pengadilan.

Ada juga penangkapan di Oxford. Seorang pria didakwa karena mengkritik Raja Charles. Pria tersebut berjalan pada acara pengukuhan Charles sebagai raja baru. Dia meneriakan hanya tiga kata "Who elected him?" ("siapa yang memilihnya (Charles)?"). 

Hanya karena satu pertanyaan sederhana pria tersebut ditangkap. Pria itu kemudian memposting online tentang "siksaan" yang diterimanya.

"Saya ragu sebagian besar orang di kerumunan bahkan mendengar saya. Dua atau tiga orang di dekat saya menyuruh saya diam. Saya tidak menghina atau serang mereka secara pribadi tetapi (saya) menanggapi dengan mengatakan bahwa seorang kepala negara sedang dipaksakan pada kami tanpa persetujuan kami. Seorang penjaga keamanan muncul berdiri tepat di depan saya dan menyuruh saya untuk diam. Dua penjaga keamanan lagi datang dan mereka mencoba untuk mendorong saya mundur. Ketika saya meminta mereka untuk memberikan dasar hukum untuk apa yang mereka lakukan, polisi dating kurang lebih (untuk) memindahkan penjaga keamanan keluar dari jalan dan menahan saya." Dikutip dari Bright Ggreen.

Haruskah orang ditangkap karena mengkritik monarki? Inggris merupakan kerajaan konstitusional modern yang menggunakan konsep trias politica, atau politik tiga serangkai jadi menganut juga demokrasi.

Penangkapan ini sekarang menjadi bumerang bagi Kerajaan. Protes terhadap monarki meningkat secara online. Tentu saja warganet punya tagarnya. "#NotMyKing" menjadi tren untuk memprotes Kerajaan di dunia maya. 

Pegiat kebebasan sipil mengungkapkan kekhawatiran bahkan anggota parlemen khawatir. Nyatanya, seorang anggota parlemen buruh turut berbicara terkait masalah penagkapan. 

Zarah Sultana mewakili konstituensi South Coventry di Parlemen Inggris. Berliau men-tweet "Tidak siapa pun (yang) harus ditangkap hanya karena mengekspresikan pandangan Republik. Luar biasa - dan mengejutkan -- bahwa ini perlu disampaikan."

Tangkapan layar tweet Zarah Sultana (@zarahsultana/Twitter)
Tangkapan layar tweet Zarah Sultana (@zarahsultana/Twitter)

Polisi London mencoba untuk memperbaiki kesalahan. Kemarin (15/9) mereka merilis pernyataan yang mengatakan "Publik benar-benar punya hak untuk memprotes". 

Tapi pernyataan itu saja tidak cukup. Kelompok anti-monarki mulai bergerak. Mereka merencanakan lebih banyak protes. Terutama selama penobatan Raja Charles yang akan dilangsungkan dalam kurun waktu (paling lama) satu tahun ke depan.

Jadi, baru beberapa hari saja mengemban tugas sebagai raja, Charles sudah harus menghadapi salah satu tantangan terbesarnya. Penurunan popularitas para bangsawan dan menyusutnya relevansi monarki. Orang-orang bertanya, apakah Kerajaan masih relevan?

Dan perlu dicatat bukan hanya warga negara Inggris yang meragukannya. Kini banyak negara ingin melepas Raja Inggris sebagai kepala negara mereka.

Apa mau dikata, The Queen is Dead. Kepergiaan Ratu Elizabeth II seolah meretakan fondasi relevansi monarki Inggris. Bagaimana nasib "Long live the King." ke depannya?

Artikel terkait: Mengurai Warisan Rumit Ratu Elizabeth II

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun