Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cina Beli Minyak Rusia Pakai Rubel, Haruskah Indonesia Ikutan Tren Dedolarisasi?

12 September 2022   19:33 Diperbarui: 12 September 2022   19:50 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mata uang dolar AS dan yuan Cina.  REUTERS/Jason Lee

Dalam perdagangan, menemukan kesepakatan yang tepat hanyalah salah satu bagian dari masalah yang sama pentingnya bagaimana membayarnya. Sebagian besar perdagangan global dilakukan dalam satu mata uang dolar AS. Tetapi Rusia dan Cina ingin mematahkan dominasi Dolar. Kedua kekuatan ini ingin de-dolarisasi  ekonomi mereka.

Bagaimana tepatnya cara kerjanya?

Langkah pertama yah harus ada perdagangan. Sekarang semua kegiatan impor dan ekspor dihargai dalam Dolar. Minyak, gas, mobil, pakaian, pokoknya setiap produk dipatok ke dolar AS. Rusia dan Cina berharap untuk mengubahnya. Mereka ingin berdagang  dalam mata uang sendiri Yuan dan Rubel.

Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin, menegaskan kembali ancaman terhadap perekonomian negara-negara Barat dan Eropa khususnya dengan berbicara pada sesi pleno Forum Ekonomi Timur dengan tema "Menuju dunia multipolar"

"Kemarin Gazprom dan mitra Cina-nya memutuskan untuk pindah ke Rubel dan Yuan dengan pembagian 50:50 ketika membayar pasokan gas Rusia. Saya akan menambahkan bahwa tindakan picik (dolarisasi perdagangan global) ini telah mendorong inflasi global dan telah melampaui rekor  yang telah ditetapkan bertahun-tahun yang lalu di berbagai negara." Dilansir kremlin.ru.

Seperti yang diharapkan Rusia, gas menjadi Target pertama. Pada 2019 Cina menandatangani kesepakatan gas untuk 30 tahun dengan Rusia dengan total transaksi mencapai 15 miliar meter kubik pada akhir tahun ini. Awalnya perdagangan ini dilakukan dalam dolar tetapi tidak lagi, Gasprom sekarang akan menerima pembayaran dalam mata uang local. 50% dalam Yuan dan 50 dalam Rubel. Nah inilah yang disebut de-dolarisasi.

Pertanyaannya adalah  bagaimana dedolarisasi menguntungkan Rusia dan Cina? Dominasi Dolar secara tidak langsung berarti dominasi Amerika. Dominasi Dolar memberi AS banyak pengaruh atas ekonomi negara lain melalui sanksi, kenaikan suku bunga, dan pengetatan moneter. De-dolarisasi dapat dapat mengurangi pengaruh Amerika atas ekonomi global.

Rusia  telah melakukannya sejak tahun 2014. Aset berdenominasi dolar mereka berjumlah hanya 16% pada tahun 2013. 95% perdagangan Rusia dengan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) dilakukan melalui dolar tappi sekarang hanya kurang dari 10 persen saja. Sehingga Rusia secara sadar melakukan upaya untuk menghindari dolar AS.

Cina juga melakukan hal yang sama. Tirai bambu menciptakan mata uang digital yang disebut EUR. Beijing juga punya Renminbi Trade Centre di Hong Kong, Singapura, dan Eropa di mana perdagangan dilakukan dengan uang Cina.

Bisa dilihat kenapa dedolarisasi dipandang sebagai prospek melawan dominasi AS. Kenaikan harga minyak mentah global saat ini menguras cadangan Forex sebagian besar negara. Pemerintah-pemerintah merogoh kocek lebih banyak untuk mengimpor minyak. Dedolarisasi dapat mencegahnya. Tidak hanya Rusia dan Cina, bahkan beberapa negara sudah melakukan "cerai" dolar, termasuk Indonesia.

tertanggal 30 September 2021, Bank Indonesia (BI) mengaku sudah menuntaskan transaksi pemakaian mata uang lokal antarnegara atau LocaL Currency Settlement (LCS) bagi Indonesia dan China. Kesepakatan ini sudah diteken oleh Gubernur PBC Yi Gang dan Gubernur BI Perry Warjiyo. Jadi, transaksi antar kedua negara Indonesia dan China, tidak lagi menggunakan dolar AS seperti sedia kala. Dolar AS sendiri umumnya dipakai dalam transaksi antarnegara karena dolar adalah mata uang resmi dalam perdagangan internasional selama ini.

Mungkin bagi Indonesia, dedolarisasi murni Finansial yaitu tentang mendapatkan transaksi terbaik dalam perdagangan. Tapi bagi China dan Rusia, artinya politik yaitu tentang menantang dunia yang didominasi AS.

China dan Rusia sedang mencari cara untuk lebih mengintegrasikan ekonomi mereka. Pada bulan Juni perdagangan  Yuan-Rubel Naik ke angka tertinggi sejak enam bulan terakhir. Perdagangan kedua negara bernilai sekitar 48 miliar dolar.

Apakah angka tersebut cukup untuk menggantikan dolar? Jawabannya adalah tidak. Dominasi dolar bermula pada tahun 1970-an ketika AS meneken kesepakatan minyak dengan Arab Saudi. Kerajaan setuju bahwa minyak akan dihargai dalam dolar. Kebijakan Arab Saudi itu menjadi kunci dari dominasi dolar hingga saat ini.

AS jadinya punya konvertibilitas penuh didukung oleh ekonomi dan militer serta sangat terintegrasi dengan ekonomi dunia. Mari kita lihat datanya. 60% dari semua cadangan yang dipegang oleh bank sentral disimpan dalam bentuk dolar. 70% dari semua perdagangan dilakukan dalam dolar, mengubahnya akan butuh proses yang panjang.

Cina dan Rusia sendiri tidak bisa melakukan ini. Itulah sebabnya mereka mencari untuk membuat blok negara-negara yang like-minded. Cina sangat ingin memperluas BRICS dengan memasukkan lebih banyak negara berkembang seperti Argentina, Mesir, dan Arab Saudi bersama-sama negara-negara ini punya banyak pengaruh yang dapat mematahkan dominasi Dolar.

Jadi bagaimana seharusnya Indonesia melihat kampanye ini? Sepertinya, Mau tidak mau Indonesia juga harus terseret dalam kampanye dedolarisasi. Ketika tiba saatnya Indonesia harus mau membeli minyak murah Rusia. Bahkan baru-baru ini saat diwawancarai Financial Times, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah bisa mempertimbangkan pembelian minyak dari Rusia selama penjual memberikan harga yang lebih baik alias murah.

Bahkan Duta Besar (Dubes) Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobyeva menerangkan dalam Konfrensi Pers, Rabu (7/9/2022), bahwa Pertamina sedang melakukan kontak dengan pihak Rusia terkait pembelian minyak.

Jika terjadi, artinya Indonesia menyusul Cina dan India yang juga membeli minyak langsung dari Rusia di tengah-tengah sanksi Eropa. Tentu ini akan mempengaruhi citra Indonesia. Seperti halnya Cina dan India sebelumnya, Indonesia akan dituduh ikut-ikutan menumpulkan sanksi AS dan sekutu.

Meski begitu opsi tersebut masih tetap terbuka "Kami selalu memantau semua opsi. Jika ada negara (dan) mereka memberikan harga yang lebih baik, tentu saja," ungkap Jokowi saat ditanya apakah Indonesia mempertimbangkan untuk membeli minyak dari Rusia, saat wawancara dengan Financial Times, dikutip dari Reuters, Senin (12/09/2022).

Selain menghemat pengeluaran negara, rencana pemerintah ini akan mengurangi tekanan pada cadangan Forex Indonesia dan juga akan menopang rupiah. Tapi, bagaimana dengan politik? Menantang sanksi berarti menantang Amerika kan? itu juga berarti ikut ke dalam kampanye Cina. Ingat Beijing ingin menggunakan sistem keuangan untuk mendominasi secara politik sehingga pilihan Indonesia harus ditimbang dengan hati-hati. 

Saya kira pemerintah harus menemukan alasan dan timing yang tepat agar punya gestur "tidak bertujuan mendukung Invasi Rusia" saat membeli minyak Rusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun