Ketika pariwisata menghilang, dua hal terjadi. Sri Lanka kehilangan devisa berharga dan ribuan orang kehilangan pekerjaan. Pekerjaan seperti staf hotel, atau pemandu wisata, atau instruktur olahraga air, dan semua jenis pekerjaan terkalit pariwisata lainnya dihempas badai pandemi.
Dan masalah ini tidak hanya terbatas pada Sri Lanka, seluruh dunia sedang menghadapi tiga tantangan utama global era pandemi. Nomor satu, harga bahan bakar meningkat. Jika harga bahan bakar lebih mahal, negara harus membeli tambahan dolar untuk membeli minyak. Yang menyebabkan tantangan nomor dua yakni inflasi. Nilai mata uang negara menurun sehingga butuh pinjaman dari luar untuk belanja negara ke luar negeri. Dan menyebabkan tantangan nomor tiga: meningkatnya utang.
Dan tantangan terakhir "meningkatnya utang" akan menjadi warisan pandemi. Dalam tiga tahun terakhir negara-negara meminjam banyak uang. Negara butuh paket stimulus seperti skema pendanaan kesehatan, dan jaminan sosial. Semua ini menghabiskan banyak uang tetapi tidak ada pendapatan untuk mengimbangi pinjaman yang besar selama pandemi. Hasilnya adalah krisis utang global.
Setiap negara menghadapi tantangan ini sayangnya beberapa terancam runtuh. Dilansir dari AP News, PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) mengidentifikasi 107 negara yang terancam kolaps. Total penduduk 107 negara-negara ini adalah  1,7 miliar orang. Sembilan belas negara berada di Amerika Latin, 25 negara  di Asia Pasifik, dan 25 negara di Afrika.
Beberapa negara besar yang berada di ambang krisis ekonomi adalah Mesir, Libanon, Argentina, Turki, Ghana, dan Kenya. Beberapa negara di Asia Selatan juga, misalnya Pakistan. 27 dari utang luar negeri Pakistan dimiliki oleh Cina. Inflasi tak terkendali di Pakistan dan hampir kehabisan cadangan devisa. Segera Pakistan bisa mengalami nasib yang sama dengan Sri Lanka atau malah lebih buruk.
Negara lainnya adalah Nepal dan Maladewa. Dua negara ini sangat mirip dengan Sri Lanka. Saat ini mereka juga bergantung pada pariwisata untuk mengisi kas negara dan sekarang kedua negara kehabisan dolar untuk belanja barang dari luar negeri ataupun membayar utang.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, krisis ini adalah pelajaran bagi seluruh dunia. Kita hidup di masa yang tidak pasti. Pandemi dan perang akan selalu ada di depan mata sehingga pemerintah perlu mempersiapkan lebih baik lagi. Pemerintah mau tidak mau harus bisa mendiversifikasi ekonomi dan berinvestasi di industri baru.
Arab Saudi misalnya. Dunia perlahan beralih dari minyak ke energi terbarukan. Apa yang dilakukan Arab Saudi? Mereka tanggap dan mulai berinvestasi dalam sains dan teknologi, transportasi, dan dunia hiburan. Arab Saudi berinvestasi untuk masa depan.
Negara seperti Sri Lanka perlu melakukan hal yang sama. Yah, pariwisata merupakan sumber pendapatan yang besar tetapi itu saja tidak akan cukup. Pemerintah perlu perencanaan dan pinjaman yang cerdas. Itu satu-satunya cara untuk bisa menatap masa depan.
Krisis Sri Lanka memberi pelajaran dasar ekonomi bagi kita. Seperti jangan besar pasak daripada tiang, dan jangan percaya pemberi pinjaman yang punya agenda perangkap utang. Serta buatlah rencana keuangan untuk jangka panjang.
Apa yang terjadi di Sri Lanka juga memberikan pelajaran bagi pemerintah dan kawasan ASEAN (serta dunia), baik itu pelajaran dalam politik atau diplomasi. Kita berharap Sri Lanka keluar dari krisis ini dan lebih kuat dari sebelumnya.