Situasi di Sri Lanka kian parah. Warga harus bersiap mengalami kekurangan pangan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang masih terjadi hingga kini. Ada pelajaran yang bisa dipetik dalam setiap krisis ini. Pelajaran itu adalah kehati-hatian fiskal. Memang benar beberapa faktor berada di luar kendali pemerintah misalnya pandemi Covid-19 atau perang di Ukraina.
Faktor-faktor itu juga sangat mempengaruhi setiap negara di  dunia tapi tidak semua jatuh ke jurang krisis seperti yang terjadi pada Sri Lanka. Apa yang berbeda dengan Sri Lanka? karena pemerintah di sana mengacaukan kebijakan fiskalnya. Misalnya melakukan pemotongan pajak di tengah pandemi atau melarang pupuk kimia. Kebijakan yang salah arah itu mendorong Sri Lanka ke tepi jurang krisis.
Pada dasarnya Sri Lanka lebih besar pasak daripada tiang, menghabiskan lebih dari yang mereka hasilkan. Dan itu akan menjadi pelajaran nomor satu kepada dunia.
Kebijakan populis terdengar bagus tapi dalam banyak kasus tidak tepat karena tidak didukung oleh ekonomi. Seperti sebuah kutipan "good politics is bad economics" artinya politik yang baik itu menghabiskan banyak biaya.
Pelajaran nomor dua, jangan percaya Cina. Ketika situasi berjalan baik-baik saja, Cina sangat ingin membantu Sri Lanka. Beijing membangun bandara, jalan raya,dan memberikan pinjaman. Pada dasarnya Cina membebani Sri Lanka dengan utang.
Mari kita tengok datanya. Cina menambah 10% beban utang dari total utang Sri Lanka. Begitu juga Jepang 10%. Bank dunia 9%, dan Bank Pembangunan Asia 13%.Â
Jadi poin saya bahwa utang itu tidak buruk. Setiap negara di dunia berutang. Yang penting adalah siapa pemberi pinjaman dan jenis utang apa yang diambil. Dalam kasus ini, berhati-hatilah mengambil pinjaman Cina, jangan sampai terkena jebakan utang Cina. Sayangnya Sri Lanka harus mempelajarinya dengan cara yang keras.
Nomor tiga, perlunya ketahanan ekonomi. Ekonomi Sri Lanka bergantung pada pariwisata. Pada tahun 2018, sektor pariwisata menyumbang 5,6% dari total PDB (Produk Domestik Bruto) Sri Lanka, dengan keuntungan total sebesar 4,4 miliar dolar.
Sebagian besar devisa Sri Lanka berasal dari pariwisata kemudian datanglah pandemi corona. Pada tahun 2020, kontribusi pariwisata terhadap PDB Sri Lanka turun menjadi 0,8%.