Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rencana Erdogan Menginvasi Suriah, Teater Baru Rusia vs NATO?

6 Juni 2022   12:56 Diperbarui: 6 Juni 2022   15:41 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan patroli militer Turki di Suriah. Kredit Foto: Kantor Berita Tasnim via eurasiareview.com

Konflik NATO dan Rusia telah berlangsung lama. Perang di Ukraina adalah salah satunya. Sayangnya sebelum mereda, konflik mereka sedang memilih teater baru. Teater baru itu adalah Suriah. 

Kali ini pemicunya adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Erdogan ingin menyerang Suriah. Seolah-olah satu invasi belum cukup, Erdogan berbicara tentang yang baru. 

Erdogan ingin membuat zona penyangga (buffer zone) di Utara Suriah dengan lebar sekitar 30 kilometer. Dan untuk melakukannya dia merencanakan serangan militer. Tanggalnya belum ditentukan tetapi Erdogan mengatakan, serangan Turki kemungkinan merupakan serangan mendadak. 

Mengapa Erdogan butuh zona penyangga? Karena dua alasan. Satu, untuk mengusir pejuang Kurdi dari perbatasan Turki, khususnya pejuang YPG. YPG merupakan sekutu kunci AS di Suriah tetapi Turki menyebut mereka teroris sehingga ingin mengusir YPG. 

Alasan kedua adalah untuk memukimkan kembali pengungsi Suriah. Turki saat ini menjadi tuan rumah 3.7  juta pengungsi Suriah. Jadi, Erdogan berencana untuk mengirim mereka kembali ke zona penyangga ini. 

Pertanyaan berikutnya kenapa sekarang? Sebagai permulaan, Rusia sedang sibuk di Ukraina jadi kemungkinan besar Putin tidak bisa menyisihkan banyak sumber daya untuk pertarungan di Suriah. 

Alasan lain adalah pengaruh Erdogan atas Barat. Khususnya rencana ekspansi NATO. NATO ingin mengakui Finlandia dan Swedia tetapi Erdogan menahan kedua keanggotaan ini.

Sebelas hari yang lalu, aksesi Finlandia dan Swedia ke NATO tampak mulus. Presiden Biden menyambut pengumuman pada 15 Mei bahwa kedua negara Nordik sedang mencari keanggotaan dalam aliansi militer 30 negara ini. Bergabungnya kedua negara ini akan menggandakan perbatasan NATO dengan Rusia. 

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg berjanji untuk mempercepat masuknya mereka ke klub pertahanan yang awalnya dibentuk untuk membendung kemajuan Soviet dan sekarang berfungsi sebagai penghalang untuk menggagalkan ambisi ekspansionis Rusia, sebagaimana terlihat di Ukraina. 

Tapi perjalanan rencana NATO ini segera menabrak gunung es yang bernama Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki, anggota paling timur NATO. 

Awalnya, Erdogan mengisyaratkan bahwa Turki tidak merasa "positif" tentang negara-negara Nordik. Lalu menegaskan pendiriannya minggu lalu, dengan mengatakan "Kami telah memberi tahu sekutu bahwa kami akan mengatakan tidak kepada keanggotaan NATO Finlandia dan Swedia." dikutip dari Guardian News.

Turki juga memblokir upaya NATO untuk mempercepat aksesi kedua negara nordik ke aliansi. Erdogan mengatakan, kedua negara ini akan mengubah NATO menjadi "tempat di mana perwakilan organisasi teroris terkonsentrasi."

Untuk mengesahkan keanggotaan NATO Finlandia dan Swedia, butuh ratifikasi dari semua (30) negara anggota NATO. Jadi, persetujuan Erdogan sangat dibutuhkan dalam ekspansi NATO, dan sebagai imbalannya dia bisa meminta bantuan dana apapun atau dalam hal ini lampu hijau untuk operasi Suriah. Pokoknya Turki bisa memanfaatkan situasi ini sebagai alat tawar dengan NATO.

Sudah pasti AS tak tinggal diam. Sekretaris negara Anthony Blinken mengatakan langkah tersebut akan merusak stabilitas regional.

"Kekhawatiran yang kami miliki adalah bahwa setiap serangan baru akan merusak stabilitas regional. Seperti memberikan peluang kepada aktor jahat untuk mengeksploitasi ketidakstabilan demi tujuan mereka sendiri. Kami secara efektif terus melakukan perlawanan melalui mitra. Kami secara efektif terus melakukan perlawanan melalui mitra untuk memerangi ISIS di Suriah, dan kami tidak ingin melihat ada hal yang membahayakan upaya yang dilakukan untuk terus mempertahankan ISIS ke dalam kotak di mana kami mengurung mereka." Ucap Blinken dikutip dari AFP.

Rusia juga memberi peringatan kepada Turki.  Kementerian Luar Negeri mereka mengatakan bahwa Rusia "berharap Ankara akan menahan diri dari tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan berbahaya dari situasi yang sudah sulit di Suriah."

Rusia memperingatkan bahwa akan terjadi eskalasi  jika Turki tetap melancarkan serangan ke Suriah. Jadi baik AS dan Rusia memperingatkan Turki. Tak satu pun dari mereka ingin operasi Turki dilanjutkan. 

Tapi apakah peringatan cukup untuk menghalangi Erdogan? 

Mari kita lihat masa lalu, sejak 2016 Turki telah meluncurkan tiga operasi ke Utara Suriah. Pada ketiga operasi tersebut, mereka bertempur melawan pejuang Kurdi. Dan setiap kali mereka mendapat lebih banyak wilayah. Jadi tidak ada alasan untuk berpikir bahwa Erdogan menggertak. 

Sebenarnya kali ini Erdogan punya lebih banyak alasan untuk menyerang. 2023 adalah tahun pemilihan di Turki. Ekonomi pasti tidak akan membuat erdogan terpilih kembali. Tapi operasi militer mungkin bisa. Pemilih nasionalis di Turki umumnya mendukung serangan terhadap Kurdi. 

Juga kali ini Erdogan punya asuransi karena baik NATO dan Rusia tertarik untuk menyenangkan presiden berusia 68 tahun ini. 

Lihat saja peristiwa hari Sabtu (4/6), duta besar AS untuk PBB berada di Turki. Minggu depan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov akan berkunjung ke sana. Apa tujuannya? 

Mari kita asumsikan Turki menyerang Suriah. Sudah pasti Rusia tak tinggal diam. Rusia dan Turki akan saling berperang satu sama lain. Setiap kali peperangan antara kedua negara ini, selalu ada kekacauan besar yang memakan korban. 

Contohnya, tahun 2015 sebuah pesawat perang Rusia ditembak jatuh oleh jet Turki. Ankara mengklaim pesawat itu terbang dekat dengan perbatasan mereka. Tahun 2020 Rusia dan Suriah melakukan serangan udara di Idlib, lebih dari 30 tentara Turki tewas. Jadi, Turki dan Rusia punya sejarah  pertempuran di Suriah. 

Tapi pertanyaan besarnya, apakah NATO akan terlibat kali ini? mereka melakukan begitu banyak demi Ukraina meski Ukraina bukan anggota NATO. Jadi secara teknis, NATO harus berupaya untuk membantu Turki. Tapi kenapa mereka tidak melakukannya? 

Karena dua alasan. Satu pasal lima NATO mencakup serangan di dalam wilayah NATO tetapi sejauh ini semua serangan dilakukan di luar Turki yaitu di Suriah. Ini bukan wilayah NATO, jadi pertahanan kolektif tidak bisa diaktifkan. 

Alasan nomor dua, kelompok Kurdi adalah sekutu kunci barat sehingga AS tidak pernah menyetujui operasi Turki. 

Tapi kali ini bisa berubah. Jika NATO serius mengakui Swedia dan Finlandia, mereka membutuhkan Erdogan sebagai mitra. Dan jika Rusia ingin presiden Suriah Bashar al-Assad di sisinya, Putin perlu mempertahankan wilayah Suriah. 

Tidak ada pihak yang menginginkannya, tetapi operasi militer Erdogan mau tidak mau akan menyeret Rusia vs NATO ke teater konflik baru. 

Sumber: France24

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun