Minggu ini, nilai saham China mencatat penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir sejak 2008. Skala kerugian dijelaskan oleh laporan dari Bloomberg's Billionaire Index yang diwartakan News, bahwa orang-orang terkaya China merugi sekitar USD 72 miliar dalam sehari.Â
Hari ini, pasar China berkomitmen untuk bangkit kembali lewat intervensi kebijakan ekonomi. Xi Jinping mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah China bersumpah untuk memastikan stabilitas di pasar China.Â
Pernyataan itu disambut oleh para investor, tapi pemulihan ini tampak suam-suam kuku. Terutama ketika melihat 12 bulan terakhir.
Sejak tahun 2021, saham China telah kehilangan 75% dari nilai saham di AS. Sehingga mereka terpaksa menjual saham di pasar AS dengan "diskon" 75%. Dengan kata  lain, tingkat devaluasi (penurunan harga saham) China di AS adalah 75%, dilansir dari Bloomberg.Â
Masalah ekonomi China makin hari makin bertambah. Dimulai dengan tindakan keras Beijing pada raksasa teknologi China. Kemudian, gagal bayar hutang di sektor properti bikin keadaan jadi tambah suram.Â
Dan sekarang muncul dua masalah baru yang bikin para investor keringat jagung. Masalah yang pertama adalah wabah Covid yang belakangan memburuk di China, dan terlalu besar untuk diabaikan. Saat ini, sekitar 30 juta warga China kena lockdown. 13 kota telah ditutup termasuk pusat ekonomi Kota Shenzhen. Shenzhen saja menyumbang 11% dari PDB (Produk Domestik Bruto) China yaitu sekitar USD 1,96 triliun.Â
Seberapa besar itu? PDB Shenzhen lebih besar dari PDB negara-negara seperti Spanyol (USD 1,64 triliun) atau Korea Selatan (1,28 triliun), bahkan hampir dua kali lipat dari PDB Indonesia (USD 1,06 triliun). Menutup Shenzen berarti China merugi dalam ekspor. Lockdown akan berdampak mendalam pada ekonomi China.Â
Menurut analisa Bloomberg, sekitar setengah dari ekonomi China terancam gegara lockdown.
Masalah kedua adalah invasi Rusia ke Ukraina. Beijing tidak secara terbuka mendukung Moskow setelah sanksi yang dipelopori AS, tetapi bahkan dukungan secara diam-diam punya dampak tersendiri. Dua hari lalu, investor mulai meninggalkan saham teknologi China. Total kerugian yang diderita mereka adalah senilai USD 2,1 triliun, dilansir dari YF.Â
Apa alasan di balik penjualan massal itu? Alasannya adalah karena beredar laporan bahwa Rusia telah meminta bantuan militer China. Selain itu, Putin juga meminta bantuan ekonomi.Â
Jadi, hanya gegara kedua permintaan ini, menyebabkan penjualan besar-besaran saham senilai USD 2,1 triliun. Tapi, begitulah cara kerja pasar saham.Â
Pasar saham bereaksi berdasarkan asumsi.Â
Laporan mengatakan, investor khawatir. Mereka takut jika Beijing membantu Moskow, perusahaan China akan dikenakan sanksi berikutnya. Dan ini adalah kekhawatiran yang sah, karena AS mengancam segala jenis dukungan kepada Rusia dalam perang di Ukraina. Sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki menjelaskan, jika China mendukung Rusia secara militer di Ukraina, maka akan ada konsekuensi tertentu.Â
"Saya tidak akan masuk ke konsekuensi tertentu. Saya pikir apa yang telah kami sampaikan dan apa yang disampaikan oleh Penasihat Keamanan Nasional kami dalam pertemuan ini adalah jika mereka ingin memberikan bantuan militer atau lainnya, yang tentu saja melanggar sanksi, atau mendukung upaya perang, akan ada konsekuensi yang signifikan. Tetapi mengenai seperti apa (konsekunsi) tertentu itu nantinya, kami akan berkoordinasi dengan mitra dan sekutu kami untuk membuat tekad itu." Terang Psaki, dikutip dari siaran pers Gedung Putih AS.Â
Sepertinya Beijing menerima pesan tersebut. Kemarin, menteri luar negeri China Wang Yi mengeluarkan pernyataan bahwa China ingin menghindari terkena sanksi AS.Â
Beijing juga menjauhkan diri dari laporan baru-baru ini. China membantah klaim yang mengatakan bahwa Rusia mendekati China untuk minta senjata. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian dalam konferensi pers mengatakan bahwa AS telah melakukan "disinformasi" terkait klaim ini, dilansir dari CNBC Indonesia.Â
Jadi untuk saat ini, kepanikan di pasar saham China masih bisa dibendung. Tetapi kalau dilihat lebih luas, di bidang ekonomi Xi Jinping terus tersandung dari satu krisis ke krisis lainnya. Selama itu terjadi, ekonomi China akan terus berusaha untuk bisa bangkit kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H