Aku memutar setir di atas kerikil dan kembali ke rumah untuk mengambil buku, atau sesuatu untuk dibaca nanti saat menunggu antrian di rumah sakit.
Saat sedang menjalankan jari di sepanjang rak, diriku yang lain yang jengkel untuk kembali ke rumah, berangkat sendiri. Meluncur keluar lewat jalan masuk, ia berbelok ke kiri menuju kota. Selalu unggul tiga menit langkah di depanku, hantu itu adalah sebuah spasi yang selalu terburu-buru.
Terkadang aku melihatnya di depanku, bangkit dari meja untuk meninggalkan restoran sebelum aku melakukannya, dan menyelinap ke pintu keluar. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk menangkapnya, atau memperlambatnya, dan membuat kami kembali selaras.
Ia selalu ada di depanku, dan merayu jejakku. Diktator tak terlihat. Anjing yang menarikku saat joging. Naunganku ditakdirkan untuk mengikutinya, menabrak tiga menit ke masa depan.
Sepertiku, ia hampir tidak berpengalaman menyetir sebuah puisi (sayangnya) juga mobil. Di rumah sakit, dari balik teriakan perawat yang membawaku lewat tanpa antrian, aku (yang kembali ke rumah di pagi yang menentukan itu) melihatnya terbaring di UGD. Tanpa sebuah buku yang menemani, menunggu dokter menyelesaikan tugasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H