Kementerian Kesehatan melaporkan pada hari Sabtu (21-1-2022) bahwa jumlah total kasus virus corona Omicron telah mencapai 2.613, meningkat 625 kasus dari hari sebelumnya, di tengah meningkatnya kekhawatiran bahwa varian yang sangat menular sekarang mendominasi infeksi baru.
Gelombang ketiga Covid-19 ini berdampak besar di dunia. Jumlah kasus meningkat begitu cepat karenanya varian Omicron telah melampaui gelombang kedua.
Indonesia bukan satu-satunya negara di mana hal itu terjadi.
Jika melihat grafik Kasus Harian Prancis, kita akan melihat hal yang sama.
Meksiko sedang mengalami hal yang sama.
Kondisi Australia juga sama.
Meskipun Australia adalah kasus yang sangat menarik karena merupakan negara yang telah mengunci diri dari dunia luar selama 2 tahun sejak sejak awal pandemi Covid-19.
Sangat sulit bagi orang asing untuk masuk ke Australia, itu sebabnya dalam 2 tahun terakhir, jumlah kasus hampir tidak ada. Tetapi tidak lama setelah mereka mencoba membuka negara, jumlah kasus meningkat begitu cepat sehingga sulit dipercaya.
Cerita USA juga tidak berbeda. Gelombang Covid 19 yang sedang berlangsung di AS meningkat jauh dibandingkan dengan gelombang terakhir, sehingga hampir 1 juta kasus dalam satu hari di AS.
Namun terlepas dari semua itu, kabar baiknya adalah para ilmuwan dan pakar di seluruh dunia mengklaim bahwa ini adalah Endgame dari Covid 19.
Dalam artikel berjudul "Bayang-bayang Omicron: Pembatasan Perjalanan Sepatutnya Jadi Pilihan Terakhir", pernah saya paparkan bahwa varian Omicron diasumsikan sebagai varian ringan.
Omicron merupakan varian yang tidak terlalu mengancam dibandingkan dengan varian Delta. Varian Delta adalah varian yang kita saksikan gelombang kedua mematikan di seluruh dunia. Semua ini adalah asumsi para ilmuwan dan pakar.
Namun kini, beberapa penelitian telah diterbitkan oleh berbagai kelompok penelitian di berbagai negara, yang membuktikan hal tersebut.
Studi pertama adalah dari University of Edinburgh (Sumber: nature.com). Edinburgh merupakan ibu kota Skotlandia. Mereka menggunakan Data Pengawasan Nasional untuk membandingkan infeksi Omicron dan Delta.
Periode waktu studi mereka adalah dari 23 November hingga 19 Desember. Mereka tidak menganalisis banyak kasus, tetapi dalam kasus yang mereka analisis, mereka menemukan bahwa risiko rawat inap karena varian Omicron 65% lebih rendah daripada varian Delta. Kemungkinan pasien terinfeksi perlu dirawat di rumah sakit berkurang 2/3 dalam varian Omicron.
Studi berikutnya yang dilakukan pada skala yang jauh lebih besar adalah dari Institut Nasional untuk Penyakit Menular Afrika Selatan (sumber: MedRxiv)
Mereka menganalisis 160.000 pasien selama periode waktu yang lebih lama yaitu dari 1 Oktober hingga 6 Desember, dan menemukan bahwa jika terinfeksi varian Omicron, pasien punya peluang 70% lebih rendah untuk terkena gejala parah pada infeksi berikutnya. Selain itu, 80% lebih rendah kemungkinan rawat inap, menurut mereka.
Jelas, sampelnya berasal dari Afrika Selatan, tetapi studi tersebut juga mengatakan bahwa jika sampai harus dirawat di rumah sakit, risiko tertular penyakit parah setelah dirawat di rumah sakit, tidak jauh berbeda dengan varian lain.
Untungnya, selain perkiraan dari penelitian, para ilmuan juga punya beberapa data kehidupan nyata yang praktis. Mereka menggunakannya untuk menganalisis apa yang sebenarnya terjadi ketika gelombang keempat menghantam Afrika Selatan.
Saya menyebutnya Gelombang Keempat karena gelombang varian Omicron yang sekarang terjadi di Afrika Selatan sebenarnya merupakan gelombang keempat di negara tersebut.
Dalam grafik bisa dilihat, telah terjadi empat gelombang selama 2 tahun terakhir di Afrika Selatan. Gelombang keempat telah mencapai puncaknya. Tapi sekaligus merupakan gelombang dengan interval waktu tersempit.
Artinya, gelombang ke empat Covid-19 di Afsel berlangsung untuk durasi waktu paling singkat. Saat ini, kasus di Afrika Selatan sudah mulai surut dan hampir mereda di Afrika Selatan.
Tetapi menarik untuk melihat tingkat kematian di Afrika Selatan selama empat gelombang ini.
Kita dapat melihatnya di grafik ini.
Jumlah kematian selama periode waktu yang sama pada gelombang keempat punya puncak terendah.
Kedua grafik dari Afsel menunjukkan jumlah kasus terbanyak di gelombang keempat, tetapi jumlah kematian terendah.
Beberapa orang menafsirkan bagan ini untuk mengklaim bahwa yang terjadi di Afrika Selatan, mungkin berbeda skenario di negara lain karena variabel lain. Entah karena faktor iklim, atau karena orang Afrika Selatan telah mengembangkan semacam kekebalan yang mungkin tidak terlihat di negara lain, jadi sangat berguna untuk melihat data dari negara lain juga (sumber: Reuters).
Menariknya, hal yang hampir sama juga terlihat di Inggris dan Amerika Serikat.
Inggris misalnya, puncak gelombang keempat mereka sangat tinggi.
Tetapi coba lihat grafik kematiannya.
Di periode yang sama, jumlah kematiannya paling sedikit jika dibandingkan dengan gelombang sebelumnya. Kasus Omicron sudah mulai surut di Inggris juga. Artinya Inggris telah mencapai puncak gelombang Omicron.
Tren serupa juga terjadi di AS. Meskipun kurva kematiannya tidak serendah di Inggris dan Afrika Selatan, tetapi tingkat kematiannya tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan gelombang sebelumnya.
Kembali ke penelitian, efek varian Omicron juga diuji pada tikus. Para peneliti dari Molecular Virology Research Group dari University of Liverpool menerbitkan sebuah makalah, di dalamnya, mereka menyebutkan bahwa ketika varian itu diuji pada tikus dan mencit, mereka menemukan bahwa varian Omicron menyebabkan penyakit yang lebih ringan di antara tikus dan mencit yang terinfeksi oleh Delta, hanya kehilangan sedikit berat badan, mengalami viral load yang lebih rendah, dan mengalami pneumonia yang tidak terlalu parah (Sumber: The Guardian)
Demikian pula, sebuah penelitian yang berkesimpulan sama dilakukan pada hamster. Tetapi yang lebih penting dari semua studi ini adalah penelitian terbaru pada 12 Januari di California Selatan oleh CDC. CDC menyatakan bahwa di antara pasien yang terinfeksi, kemungkinan kematian 91% lebih rendah jika pasien terinfeksi oleh varian Omicron, dibandingkan dengan varian Delta.
Studi ini tidak dilakukan oleh Universitas, tetapi secara harfiah didukung pemerintah karena CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) merupakan sebuah lembaga pemerintah di Amerika Serikat. Jadi pada dasarnya, pernyataan tersebut merupakan pernyataan dari lembaga pemerintah Amerika Serikat.
Dalam studi ini, lebih dari 50.000 kasus Omicron, dan hampir 17.000 kasus Delta dianalisis. Dari 30 November hingga 1 Januari.
Kesimpulannya tidak terbatas pada tingkat kematian 91% lebih rendah dalam kasus Omicron, tapi juga termasuk risiko rawat inap 53% lebih rendah, dan jika beberapa orang memang perlu dirawat di rumah sakit, pasien punya peluang 75% lebih rendah untuk dimasukkan ke rumah sakit pada Unit perawatan intensif atau ICU.
Jadi pada dasarnya ini adalah berita positif. Bahwa tingkat kematian varian Omicron sangat rendah, dan risiko rawat inap sangat rendah.
Tetapi pada saat yang sama, kabar baik ini datang dengan peringatan: orang tidak boleh lupa bahwa varian Omicron jauh lebih menular dibandingkan dengan varian Delta.
Omicron menyebar dengan sangat mudah. 2 hingga 3 kali lebih menular daripada varian Delta, tetapi secara statistik. Para ilmuwan menyimpulkan beberapa data terakhir yang lemah, bahwa menurut mereka, varian Omicron 105% lebih mudah menular daripada varian Delta.
Inilah yang menyebabkan di tempat-tempat penyebarannya, dan grafik kasus Covid 19 yang ditimbulkannya jauh lebih curam.
Kurvanya meningkat secara eksponensial. Karena varian Omicron menyebar dengan sangat mudah.
Kenapa varian Omicron kurang mematikan tapi lebih menular?
Dilansir dari The Guardian, infeksi virus corona dimulai dari hidung atau mulut. Infeksi kemudian menyebar ke tenggorokan. Dan pada infeksi ringan, virus tidak mencapai paru-paru karena sudah dimatikan antibodi tubuh di tenggorakan.
Tetapi saat virus berhasil mencapai paru-paru, maka menyebabkan kerusakan serius. Dikatakan bahwa varian Omicron menginfeksi sel-sel di tenggorokan kita saja. Dan variannya berlipat ganda di sana, serta tidak mencapai paru-paru dalam banyak kasus.
Jadi karena virus Omicron berkembang biak di tenggorokan, maka menjadi lebih menular.
Tetapi jika ada yang masuk ke jaringan paru-paru, virus tersebut menjadi jauh lebih mematikan, tetapi tidak mudah menular dari sana. Jadi penularannya berkurang begitu mencapai paru-paru.
Hal yang sama diamati oleh sekelompok ilmuwan Amerika dan Jepang, ketika mereka menginfeksi hamster dan tikus dengan varian Omicron.
Mereka menemukan bahwa ada lebih sedikit kerusakan paru-paru pada tikus, karena Omicron dan ada kemungkinan kematian yang lebih rendah.
Fakta serupa dikonfirmasi oleh para peneliti dari University of Hong Kong ketika membandingkan penyebaran Omicron dan Delta pada 12 sampel paru-paru. Mereka menemukan bahwa Omicron tumbuh lebih lambat di paru-paru, dibandingkan dengan Delta dan varian lainnya.
Jadi apa kesimpulan dari semua ini?
Kepala Penasihat Medis Presiden AS, mengatakan bahwa varian Omicron hampir tak terbendung. Terlepas dari seberapa keras kita mencoba untuk menghentikannya, Omicron tidak akan bisa dihentikan. Omicron akan menginfeksi banyak orang. Dan semua orang pada akhirnya akan terinfeksi, dilansir dari NDTV.
Dr. Jaiprakash mengatakan hal yang sama, dia adalah Ketua Komite Penasihat Ilmiah di Dewan Penelitian Medis India. Namun itu bukan kabar buruk, karena menurutnya, sebagian besar orang bahkan tidak tahu kalau mereka terinfeksi.
Diyakini bahwa 80% orang akan terinfeksi tetapi tidak menyadarinya. Karena gejalanya akan sangat ringan. "Mayoritas dari kita tidak akan tahu bahwa kita telah terinfeksi. Mungkin, lebih dari 80% bahkan tidak akan tahu bahwa kita (terinfeksi)." Kata Jaiprakash.
Jaiprakash juga menambahkan bahwa Omicron bukan penyakit yang menakutkan lagi, namun akan menjadi penyakit yang bisa ditangani. Kita akan terkena infeksi, dan mendapatkan gejalanya, tetapi gejalanya akan seperti flu biasa.
Jelas, akan ada beberapa orang yang akan mendapatkan gejala parah, rawat inap, dan kematian. Karena tingkat kematiannya tidak 0%. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan rumah sakit lagi. Butuh kalkulasi yang tepat, pemerintah perlu memastikan bahwa tidak ada kekurangan ruangan dan tempat tidur di rumah sakit.
Karena penularannya sangat tinggi, bahkan dengan tingkat kematian yang rendah, situasinya bisa menjadi tidak terkendali. Meskipun, sepertinya itu tidak akan terjadi (lagi).
Seorang pejabat dari Organisasi Kesehatan Dunia mengklaim bahwa varian Omicron sudah merambah ke mana-mana. Memasang larangan bepergian tidak akan menghasilkan apa-apa, begitu juga lockdown tidak akan membantu.
Baca juga: Bayang-bayang Omicron: Pembatasan Perjalanan Seharusnya Jadi Pilihan Terakhir
Belanda mencoba memberlakukan lockdown total, tetapi tidak ada bedanya. Inilah alasan mengapa negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris telah memutuskan bahwa kita perlu hidup berdampingan dengan virus corona di masa depan.
Dan hal itu harus dijaga seterbuka mungkin, sehingga berdampak paling kecil pada kehidupan, pekerjaan, dan bisnis masyarakat.
Inilah alasan mengapa negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Amerika Serikat, melonggarkan pembatasan satu per satu.
Meskipun pada saat yang sama, ketika melihat grafik kasus, kurvanya naik dengan kecepatan tinggi.
Pemerintah Australia mengatakan bahwa karena dampak ringan dari varian Omicron, mereka akan melanjutkan rencana membuka kembali aktivitas ekonomi
Langkah-langkah ketat jarak sosial tidak akan diterapkan kembali di Inggris. Dan persyaratan isolasi diri di Inggris, telah dikurangi dari 10 hari menjadi 7 hari. Di AS, isolasi dikurangi menjadi 5 hari. Di India juga, telah dikurangi menjadi 7 hari.
Berbicara tentang vaksin, masih dikatakan bahwa vaksin melindungi orang dari penyakit parah. Orang yang belum divaksinasi yang terinfeksi Omicron punya risiko lebih besar untuk dirawat di rumah sakit. Terutama orang-orang yang belum pernah terinfeksi Covid 19 sama sekali dan belum divaksinasi, mereka berisiko sangat tinggi jika terinfeksi Omicron.
Bisa kita lihat pada grafik di atas. Kondisi orang yang divaksinasi dan orang yang tidak divaksinasi di AS.
Kabar baik lainnya adalah, Omicron dikatakan sebagai semacam vaksin alami. Dalam studi yang dilakukan oleh para ilmuwan Afrika Selatan, mereka menemukan bahwa orang-orang yang terinfeksi oleh Omicron, dan kemudian sembuh, tetap terlindungi dari varian Delta di kemudian hari.
Karena Omicron jauh lebih ringan, kita pada dasarnya mendapatkan jumlah antibodi yang baik, yang melindungi kita dari varian Delta, dan memberi kita infeksi ringan.
Prof. Ian Jones dari University of Reading, dan Nathan Grubaugh dari Yale School of Public Health, dokter dan ahli virologi, mengatakan bahwa Omicron telah menjadi vaksin alami bagi dunia, dilansir dari New York Post.
Sebagian besar ilmuwan memprediksi bahwa, beberapa bulan ke depan Covid 19 akan menjadi seperti flu musiman, yang tidak bisa dimusnahkan dari dunia, tapi akan menjadi sangat ringan sehingga orang normal, bugar, dan sehat tidak perlu mengkhawatirkannya.
Namun, untuk populasi yang rentan, dampaknya akan signifikan. Virus corona akan punya dampak yang serupa dengan flu musiman selama 10-15 tahun terakhir.
Namun menurut beberapa ilmuwan lain, setelah Maret, keadaan mungkin akan kembali normal jika semua pemerintah mulai mencabut pembatasan.
Bisa dibilang dengan mutasi Covid 19 ke depan, varian baru akan semakin banyak. Itu benar!
Tetapi para ilmuwan percaya bahwa pada saat varian seperti Omicron terus menjadi dominan, karena memiliki transmisibilitas yang begitu tinggi, varian lain muncul dengan potensi lebih mematikan, namun kemungkinan tidak akan mampu bersaing dengan Omicron karena varian ini sangat menular.
Inilah alasan mengapa begitu Omicron mulai menyebar, varian Delta hampir menghilang dari negara-negara di mana gelombang Omicron menyebar.
Itulah mengapa dikatakan bahwa mungkin ini adalah Endgame dari Covid 19. Dan Pandemi ini akan segera berubah menjadi Endemik.
Tapi tetap saja, itu bukan alasan yang kuat untuk tidak atau berhenti melakukan vaksinasi. Mendapatkan vaksin harus tetap menjadi prioritas. Lebih baik memakai pelindung daripada tidak sama sekali.
Baca juga: Vaksin itu seperti payung
Untuk itu, sangat disarankan untuk tetap melakukan vaksinasi dan senantiasa menjaga daya tahan tubuh, agar saat terkena infeksi nanti, tubuh kita sanggup menciptakan antibodi yang mampu membunuh virus ini, dan tidak mengalami gejala parah.
Salam optimisme 🙏
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H