Setiap negara mengawasi dengan cermat krisis Rusia-Ukraina, tetapi dua negara yang mengawasi ekstra cermat adalah China dan Taiwan. Bagi mereka ini bukan krisis yang jauh dari keamanan mereka, sebaliknya krisis kali ini merupakan template: masa depan seperti apa yang terlihat di sana.
China ingin memastikan apa saja kelemahan barat. Misalnya mengukur bagaimana kekuatan ikatan persaudaraan negara-negara Uni Eropa dan NATO. Sebagian besar aliansi ini mendukung Ukraina, betapa bersemangatnya mereka mendukung Ukraina, kita sudah melihat banyak bantuan militer tetapi tidak ada pasukan yang dikirim langsung ke Ukraina, kecuali Amerika.Â
Mereka juga belum melakukan sanksi apapun terhadap Rusia. Sejauh ini hanya Amerika Serikat yang sedikit bersuara keras mengecam Rusia.
Bahkan hingga kini strategi barat seolah, "kami akan jadi cheers leader dari pinggir tetapi tidak ikut masuk ke lapangan pertandingan."
Tapi, bisa dipahami kenapa Uni Eropa seolah tiba-tiba mengalami gangguan pita suara: musim dingin belum berakhir dan kebanyakan negara Eropa butuh suplai energi Rusia untuk menghangatkan warganya. (Yang mana, itu adalah langkah bijaksana, karena tugas negara adalah mengutamakan rakyatnya.)
Artinya, terjadi konflik di daratan Eropa namun negara-negara Eropa kesulitan untuk bersatu. Apa yang akan dilakukan jika perang terjadi ribuan mil jauhnya dari Eropa, seperti Taiwan di Pasifik, apa Uni Eropa akan memperjuangkan HAM dan demokrasi seperti yang selama ini digaungkan? Bisa saja, tapi tidak akan seagresif sebelumnya.Â
Misalnya Jerman, dari krisis Ukraina-Rusia, satu saluran pipa gas mampu memastikan Jerman tetap berada dalam pagar. Okelah ada 5.000 helm yang ingin dikeluarkan dari sana.
Baca juga: Bantuan 5.000 Helm Dianggap Lelucon, Berikut 3 Alasan Jerman Setengah Hati Bantu Ukraina
Sekarang, bayangkan seberapa besarnya USD258 miliar (3.715,3 triliun rupiah), sebesar itulah angka yang diperdagangkan Jerman dan China satu sama lain, dilansir dari Aljazeera.Â
Jadi bisakah Taiwan mengandalkan kekuatan barat kali ini? Apakah diplomasi-diplomasi yang diwartakan ke publik selama ini hanyalah gertakan semata (perang dingin 2.0), atau akankah Amerika benar-benar berjuang demi Taiwan?