Christopher Nolan terkenal karena filmnya yang punya alur cerita serius dan fokus karakter yang  mendalam. Setiap filmnya mengambil latar yang unik dan fokus pada sejumlah karakter menarik dan kompleks.Â
Kebanyakan bikin pikiran penonton terpesona, kemudian menghabiskan waktu setelahnya membedah film.Â
Prestige (2006) menjadi film Nolan yang pertama saya tonton. Sejak saat itu saya tertarik untuk berburu karya-karya lain dari sutradara sekaligus penulis skenario asal Amerika Serikat ini.Â
Mulai dari: Memento (2000) yang ikonik, Insomnia (2002) yang tidak terlalu saya sukai, Inception (2010) yang bikin menyesal kenapa tidak dapat Oscar, Intersterlar (2014) yang menjadi film Sci-fi paling saintifik, dsb., tak ketinggalan Tenet (2021) yang setelah ditunggu-tunggu ternyata malah bikini frustrasi pas nonton maupun setelahnya.
Setelah dua kali nonton, dan belum mengerti juga timeline-nya, saya terpaksa bertanya ke Google, alih-alih nonton kembali untuk yang ketiga kalinya minggu ini.
Setelah nonton yang ketiga kalinya dan (akhirnya) paham dengan plot super kompleks itu, saya ingin mengomentari tanpa spoiler (janji).Â
Secara keseluruhan plot Tenet cukup berbelit-belit. Alur cerita mengikuti seorang protagonis bernama Protagonis yang dimainkan oleh John David Washington saat dirinya mencoba mencegah kiamat nuklir.Â
Narasi non-linear yang biasa digarap Nolan dibikin tambah rumit (baca: jungkir balik) lagi dengan dimasukkannya inversi waktu. Pada dasarnya inversi waktu adalah kemampuan untuk membuat waktu mengalir terbalik.
Saya rasa inversi waktu ini yang bikin pusing kepala. Tapi, seperti yang dijelaskan kepada Protagonis saat pertama kali hendak mengalami inversi waktu "luangkan waktumu sejenak untuk beradaptasi. Segala sesuatunya akan terasa aneh."
Selama ini kita mengalami aliran waktu satu arah, jadi otak kita belum tidak terbiasa dengan aliran waktu terbalik. Dan Tenet menjadi proyek visioner bagi perfilman yang memvisualisasikan  aliran waktu terbalik, plus menggabungkan dua aliran waktu dalam satu ruang.Â