Selalu berada di lembah yang diteduhi semak perayaan, dekat dengan batas peradaban tahun lalu, dialiri sungai dengan permukaan cermin tempat refleksi diri, burung gereja dan Cenderawasih terbang di sela pinus-pinus raksasa. Terdapat gua introspeksi, setengah tersembunyi oleh  tonjolan batu di atasnya dan dedaunan kaku lebat yang bergerombol di bawahnya.
Dipenuhi suara harapan: aliran air di sela-sela  bebatuan, angin optimisme menerobos ke sela daun-daun jarum di ujung cabang-cabang pinus, dengung serangga dan jeritan hewan mamalia kecil yang hidup di pepohonan, juga nyanyian burung; dan dari waktu ke waktu, hembusan angin yang lebih kuat menyebabkan salah satu cabang pohon beradu dengan cabang lain, mengerang seperti melodi ukulele.
Bayangan masa depan membanjiri tempat itu bagai cahaya matahari terang benderang, namun juga tak pernah sepi diramaikan bercak-bercak bayangan masa lalu; berkas-berkas cahaya kuning keemasan menerobos hingga ke lantai hutan di antara batang-batang dan genangan keteduhan hijau kecokelatan jiwa.Â
Cahaya itu tak pernah diam, tak  pernah konstan, karena kabut yang melayang-layang seringkali mengambang di antara pucuk-pucuk pepohonan, menyaring cahaya matahari menjadi tirai tipis kemilau bagai mutiara dan menyapu setiap buah pinus dengan kelembapan yang berkilau saat kabut terangkat.
Terkadang kelembapan awan berita buruk memadat menjadi tetes-tetes mungil renjana, setengah kabut dan setengah hujan, yang melayang  turun, bukan jatuh bebas, menimbulkan gemercik lembut di sela-sela jutaan daun jarum; menggetarkan gravitasi, pantas saja hati masih sering melayang terbang ke negeri seberang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H