Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Akankah Metaverse Segera Mengubah Cara Hidup Kita dalam Waktu Dekat?

24 Desember 2021   18:50 Diperbarui: 15 Januari 2022   16:47 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
  Ilustrasi Metaverse (Foto: Analitic India Magazine via Okezone)

Seringkali kemunculan Teknologi bikin kejutan yang tak bisa diprediksi oleh siapa pun. Meski sebenarnya perkembangan terbesar teknologi sudah sering dibayangan beberapa dekade sebelumnya, namun prediksi apapun mengenainya lebih sering dipandang sebagai cerita fiksi ilmiah.

Pada tahun 1945 Vannevar Bush menggambarkan metaverse apa yang disebutnya "Memex". 

Dalam bayangan Vannevar "Memex" merupakan sebuah perangkat tunggal yang akan menyimpan semua buku, catatan dan komunikasi, dan secara mekanis menghubungkan semuanya secara bersama-sama melalui sebuah asosiasi. 

Konsep ini kemudian digunakan untuk merumuskan gagasan "hiperteks" (istilah yang diciptakan dua dekade kemudian), lalu pada gilirannya memandu pengembangan World Wide Web atau www yang juga muncul dua dekade kemudian.

"Streaming" baru saja dimulai, namun video streaming pertama sudah ada dari 25 tahun yang lalu. 

Pada tahun 1991, "Wax or the Discovery of Television Among the Bees" sukses menjadi film pertama yang ditayangkan di Internet. Namun saat itu tak ada yang menganggapnya hal yang penting.

Terlebih lagi, banyak atribut dari layanan "streaming" yang kini kita nikmati merupakan hasil hipotesa selama beberapa dekade, seperti persediaan konten yang hampir tak terbatas, pemutaran sesuai permintaan, interaktivitas, iklan yang dinamis dan dipersonalisasi, tak ketinggalan nilai konvergensi konten dengan distribusi.

Manusia bukanlah makhluk yang sangat tidak bijaksana karena sering menganggap prediksi beberapa orang tentang perkembangan teknologi sebagai cerita fiksi ilmiah, sebetulnya garis besar solusi masa depan sering dipahami dan disepakati jauh sebelum kapasitas teknis untuk mewujudknya. Meskipun beberapa teknologi sempat bisa, namun biaya untuk menciptakannya agar bisa digunakan secara luas sangatlah mahal.

Di mana-mana, orang lebih menikmati layanan video yang ditonton saat ingin saja. Kita bisa memilih judul film dan bisa menentukan sendiri kapan ingin menontonnya, bukannya acara di TV konvensional yang mau tidak mau harus ditonton saat itu juga karena penyedia layananlah yang menentukannya.

Sebenarnya kita bisa mendapat layanan "pilih sendiri" dengan hadirnya VCD dan DVD tapi sayangnya lebih mahal. Beda dengan zaman streaming yang murahnya minta ampun, asal terkoneksi ke internet, kita bisa langsung menyaksikan film yang ingin kita tonton. 

Belum lagi, waktu jaman VCD/DVDpengguna harus melakukan perjalanan untuk membeli atau merental VCD/DVD. Jadi, waktu nonton yang diinginkan lebih sering bergeser, dan jangan lupa ada tambahan ongkos perjalanan.

Tapi apakah saat itu para pegiat teknologi sudah betul-betul menyadari betapa krusialnya streaming video? 

Pada saat Netflix meluncurkan layanan streaming, sebagian besar Hollywood tahu bahwa masa depan televisi adalah online (sedikit lucu mengingat kenyataan bahwa IP TV telah digunakan pada akhir 1999-an).

Tantangannya adalah waktu dan bagaimana mengemas layanan semacam itu (perlu 10 tahun lagi bagi Hollywood untuk menerima semua saluran, genre, dan konten mereka perlu diciutkan menjadi satu aplikasi/merek).

Popularitas penyiaran video game dan YouTuber masih awam dari banyak orang di industri media, seperti halnya gagasan bahwa cara terbaik untuk memonetisasi konten mungkin dengan memberikannya secara gratis dan mengenakan biaya untuk item opsional (konten premium) seharga Rp 15.000  tanpa nilai konsekuensial.

Pada tahun 2000 konglomerat media Time Warner mengakuisisi raksasa internet AOL berdasarkan ide bahwa media dan teknologi internet harus segera disatukan, tetapi ide itu dibatalkan pada tahun 2009 setelah gagal menghasilkan banyak manfaat. 

Sembilan tahun kemudian, ide (perusahaan) itu kemudian dibeli oleh raksasa internet seluler AT&T di bawah premis yang sama. 

Sekali lagi ini menunjukan kalau memprediksi teknologi seperti apa yang muncul di tahun sekian hampir mustahil dilakukan, terlalu banyak variabel (belum lagi faktor politik) di dalamnya.

Saat banyak ahli teknologi membayangkan semacam "komputer personal", atribut dan waktunya sangat tak terduga sehingga Microsoft mendominasi era PC yang dimulai pada 1990-an, ketimbang IBM yang mendominasi mainboard. 

Lalu sementara Microsoft dengan jelas meramalkan seluler, Bill Gates dkk malahan salah membaca peran sistem operasi dan perangkat keras, sehingga munculnya Android dan iOS secara global (juga pergeseran Microsoft dari lapisan OS ke aplikasi/layanan). 

Hal yang sama terjadi lagi, saat prioritas Steve Jobs untuk komputasi dianggap "selalu benar", Apple malah terlalu dini dan fokus pada perangkat yang salah (terlalu mahal). Munculah Huawei dan raksasa selular Asia lainnya.

Secara lebih luas, dua kasus Internet awal yang paling dominan adalah pesan instan dan surel, namun pentingnya aplikasi/jaringan sosial masih belum terduga hingga akhir tahun 2000-an. 

Dan dalam hal ini, semua prasyarat untuk membangun Facebook sudah ada sebelum adanya Y2K, tetapi Facebook baru muncul pada tahun 2005 -- dan bahkan saat itu Facebook adalah sebuah "kecelakaan" karena tak ada yang pernah menduga kalau Facebook akan menjadi sebuah perusahaan raksasa seperti sekarang.

Untuk tujuan tersebut, Metaverse telah menjadi tujuan makro terbaru bagi banyak raksasa teknologi dunia. Seperti yang diuraikan Mark Zuckerberg dalam videonya di kanal Youtube Meta (nama baru Facebook, Inc.) (tautan), sekarang banyak yang menuduh bahwa tujuan Meta (metaversenya Facebook) adalah meraup keuntungan bersama Epic Games, pembuat Unreal Engine dan Fortnite. 

Dan dituduh sebagai pendorong di balik penjualan Oculus VR oleh Facebook, dan dunia virtual/ruang pertemuan Horizon yang baru diumumkan, di antara banyak, banyak proyek lainnya, seperti kacamata AR dan antarmuka dan komunikasi brain-to-machine. 

Namun Zuckerberg membantah dan mengatakan kalau puluhan miliar yang akan dihabiskan untuk game cloud selama dekade berikutnya, juga didasarkan pada keyakinan bahwa teknologi semacam itu akan menopang masa depan virtual online-offline kita.

Yang mana yang harus dipercaya? 

Sayang sekali semuanya masih samar, karena hampir mustahil untuk memprediksi bagaimana bentuk teknologi pas pada tempat dan waktunya: fitur mana yang kurang lebih penting; model tata kelola atau dinamika kompetitif seperti apa yang akan mendorong perkembangannya; pengalaman baru apa yang akan dihasilkan; situasi geopilitik yang menurut sejahrawan Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century "perkembangan teknologi tidak pernah terlepas dari geopolitik"; dan masih banyak variabel lainnya.

Sebaliknya, tidak menutup kemungkinan Metaverse akan menjadi kebutuhan mutlak satu dekade ke depan. 

Kita sudah melihat bagaimana virtual meeting menjadi teknologi yang paling dibutuhkan di era Covid sekarang daripada 3 tahun yang lalu.

Sekali lagi ingin saya katakan bahwa sebenarnya tak ada yang tahu pasti bagaimana pengaruhnya dalam 10 atau 30 atau bahkan 50 tahun mendatang. Bisa saja Metaverse menjadi virus atau sebaliknya vaksin kesepian 2045, halah... :D

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun