Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Afghanistan: Tantangan di Hadapan Taliban

4 September 2021   17:55 Diperbarui: 4 September 2021   19:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Afghanistan menunggu di depan Kabul Bank, di Kabul, Afghanistan, Rabu, 25 Agustus 2021.(AP via Kompas)

Pasukan AS akhirnya meninggalkan Afghanistan setelah 20 tahun. Orang Afghanistan sekarang dibiarkan berjuang sendiri di negara yang diperintah oleh Taliban. Warga kabul masih berusaha menerima kenyataan baru tetapi pertanyaannya adalah apakah Afghanistan akan berdiri kembali di atas kaki sendiri?

Afghanistan berharap bagi Taliban untuk mulai bekerja pada peningkatan ekonomi negara sebagai permulaan, rakyat mulai menyuarakan keprihatinan mereka tentang keadaan pekerjaan di negara asing.

Taliban menghadapi serangkaian tantangan karena sepenuhnya cadangan devisa Afghanistan dibekukan di Amerika. 

Sementara bank-bank di kabul menarik banyak orang yang terperangkap dalam antrian-antrian panjang demi mendapatkan yang tunai. Orang Afghanistan menunggu berjam-jam untuk menarik uang dalam kerumunan besar berkumpul di luar bank, karena penduduk setempat di Kabul buru-buru untuk menarik uang. 

Keluhan terbesar adalah pembatasan baru penarikan tunai. Sebelumnya Taliban telah memerintahkan bank untuk buka kembali tetapi memberlakukan batas penarikan 20.000 afghani atau sekitar 3.302.848 rupiah per minggu.

Dalam masyarakat berbasis uang tunai seperti Afghanistan, penutupan bank merupakan pukulan ganda. Hidup tanpa uang kertas selama berhari-hari dan kejatuhan rezim membuat orang-orang takut akan masa depan mereka di negara itu. 

Taliban harus bergerak cepat untuk membangun ekonomi Afghanistan sesegera mungkin sehingga masyarakatnya berani balik kembali ke dalam negeri dan mulai melakukan aktivitas mereka sehari-hari, atau terpuruk dan akan mendapatkan perlawanan dari dalam negeri sendiri. Karena ketidak-sejahteraan merupakan akar perlawanan. 

Tujuh belas hari sejak pengambilalihan Taliban atas Afghanistan, bank-bank tersebut cukup banyak masih terlihat disfungsional, dalam fungsinya untuk mengumpulkan uang tunai.

Bank Afghanistan sangat penting untuk pemulihan negara tetapi mereka sekarang menghadapi masa depan yang tidak pasti karena ada keraguan atas segalanya, mulai dari likuiditas hingga pekerjaan staf wanita. Ditambah stres karena tidak tahu berapa lama jumlah uang akan cukup, serta antrian panjang telah membuat penduduk Afghanistan menghabiskan siang dan malam di luar bank. 

Tidak sampai di situ, daftar masalah terus bertambah panjang, harga barang sehari-hari meningkat, miliaran dolar  bantuan luar negeri terhenti, ada pembatasan penarikan tunai dari bank, dan Taliban belum membentuk pemerintahan baru. 

Tentara AS terakhir telah meninggalkan Afghanistan tetapi untuk Taliban perjuangan belum berakhir. Kesulitan ekonomi yang berkembang di ibukota menjadi tantangan yang paling mendesak saat ini. 

Afghanistan merupakan negara yang sebagian besar ekonominya berbasis uang tunai dan sangat bergantung pada impor untuk kebutuhan makanan dan kebutuhan dasar yang sebelumnya berasal dari miliaran dolar bantuan luar negeri. 

Harga barang sehari-hari melonjak ditambah dengan mata uang yang tenggelam dan meningkatnya inflasi, menambah kesengsaraan pasca perang  --  negara yang tercabik-cabik di mana sepertiga penduduknya hidup dengan uang kurang dari 173 afghani per hari.

Para pemilik toko grosir di Kabul mengeluh bahwa dengan ditutupnya perbatasan, persediaan menjadi terbatas, dan harga pasti akan naik. Pemerintah baru sudah diputuskan tetapi masalah struktural berjalan sangat dalam.

Bantuan luar negeri menyumbang hampir 43% dari output ekonomi. Cadangan devisa sembilan miliar dolar disimpan di luar negeri yang berada di luar jangkauan Taliban, ditambah dengan eksodus massal orang-orang Afghanistan. 

Taliban juga menghadapi krisis tenaga kerja dan sumber daya. Tapi tetap saja, tantangan yang lebih besar bagi Taliban adalah kecukupan tenaga kerja terampil yang tersisa di Afghanistan, mengingat banyaknya tenaga profesional yang telah hengkang dari negara tersebut.

Sumber:

1. Kompas

2. The Guardian

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun