Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Child Free Kudu Ditanggapi seperti Agama

2 September 2021   03:44 Diperbarui: 3 September 2021   13:00 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi childfree. Sumber: The Guardian via Tribunnews.com

Melihat Kompasiana mengangkat 'Child Free' alias 'memilih tidak punya anak' sebagai topik pilihan bikin saya teringat debat antara bos Alibaba Jack Ma dan bos Tesla Elon Musk di Shanghai pada tanggal 29 Agustus 2019. 

Salah satu topik pembicaraan mereka adalah mengenai pekerjaan, kemudian topik ini menjalar ke masalah populasi. 

Di situ, Jack Ma mengutarakan pendapatnya:

"Karena kemajuan teknologi dan AI, kehidupan manusia menjadi lebih baik. Dan masalahnya, saat kehidupan menjadi lebih baik, orang-orang tidak ingin punya anak."

Benarkah demikian? Mungkin saja. 

Sebenarnya saya sendiri pernah mengulas tentang prediksi melambatnya pertumbuhan populasi di artikel ini. 

Ketika melihat prediksi pertumbuhan populasi dunia versi manapun, yang terlihat adalah pertumbuhan populasi akan melambat di tahun-tahun mendatang. 

PBB memperkirakan (lihat di sini) populasi terus bertambah namun persentase pertumbuhan nya terus menurun, dan akhirnya pertumbuhan populasi akan berhenti di tahun 2100, karena tren memiliki keluarga kecil mulai dari childless (jumlah anak sedikit) hingga childfree semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Kalau kata seorang sejarahwan Israel Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Humankind, "Kita sedang hidup dalam masa terbaik umat manusia. Jaman sekarang, lebih banyak orang meninggal karena obesitas daripada kelaparan atau perang." 

Artinya, orang lebih mungkin meninggal karena kelebihan daripada kekurangan kesejahteraan.

Jadi, bisa saja pengamatan Jack Ma benar adanya kalau kita menyandingkan perkiraan PBB dengan pengamatan Harari, alhasil: semakin sejahtera, orang-orang semakin tidak ingin punya anak. 

Nah kita sendiri di Indonesia punya pepatah lama "banyak anak, banyak rezeki." Pertanyaannya, kalau orang sudah punya banyak rezeki (kesejahteraan), apa masih mau nambah rezeki lagi melalui anak? 

Apa itu tidak serakah namanya? Itu salah satu pertanyaan konter dari pemilih child free, yang muncul di kepala saya.

Setiap masyarakat punya barometernya masing-masing, untuk mengukur seberapa ideal kehidupan seseorang seperti pendidikan, pernikahan di usia tertentu, jumlah anak tertentu, dan pekerjaan tertentu. Beda masyarakat beda pandangan terhadap kehidupan ideal ini.

Kebanyakan, kehidupan ideal di masyarakat dengan budaya tradisional artinya yah harus sekolah dulu, punya pekerjaan, nikah, baru deh punya anak. 

Setelahnya, kita kudu mengajar anak-anak untuk mengulangi hal yang sama, biar tidak hilang nilai-nilai budaya ideal itu. Kalau tidak begitu kita beresiko dianggap tidak normal. Memilih untuk tidak memiliki anak alias childfree dianggap sebagai penyimpangan dari norma budaya.

Meski begitu, di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tren childfree meningkat dari tahun ke tahun.

Ilustrasi (iqra.id)
Ilustrasi (iqra.id)

Dalam penelitian Tomas Frejka di tahun 2016 yang berjudul Childlessness in the US, Frejka menemukan kalau di Amerika Serikat jumlah masyarakat yang memilih childfree meningkat dari 10% di tahun 1970-an ke 20% di tahun 2000-an.

Di Australia, Biro Statistik Australia memprediksi kenaikan jumlah pasangan yang memilih child free akan meningkat dari 2023-2029. Di Asia pun sama terutama Jepang, China, dan Korea Selatan.

Tentu saja ada alasan kenapa orang-orang mulai memilih trend child free. Dalam bukunya yang berjudul Child Free and Happy Victoria Tunggono menyebutkan, ada lebih dari 50 alasan mengapa orang memilih child free. 

Jadi, pendapat saya, jangan kita sontak melabeli seseorang dengan pemikiran dangkal, apalagi dengan menggunakan pendapat pribadi kita tentang apa yang benar menurut perintah Tuhan. 

Setiap agama punya kebenarannya sendiri-sendiri mengenai perintah Tuhan, bahkan satu ayat dalam satu kitab suci punya 1001 tafsiran yang berbeda-beda. 

Bukankah itu alasan agama terus bertambah dari hari ke hari sepanjang sejarah manusia? Bahkan satu jenis agama juga terus bercabang, kan? Manusia punya keyakinannya masing-masing. Hargailah, selagi tidak merugikan dirimu. 

Sebaiknya topik child free ini ditanggapi sama bijaknya dengan hal-hal yang berada dalam ranah agama.

Untuk kalian yang memilih child free, buku Victoria Tunggono di atas cukup bagus dibaca agar tidak stres menghadapi tekanan psikologis yang timbul karena memilih berbeda dari masyarakat mainstream, tapi saya lebih berharap kalian sudah tidak lagi membutuhkannya (buku itu).

Saya juga berharap, suatu hari nanti ketika kita berpapasan di jalan, ketika aku sedang menggenggam tangan putriku, kalian tidak melabeli-ku dengan konotasi negatif, karena apapun alasan kalian, putriku adalah hal suci di hidupku se-suci pilihan kalian untuk tidak memiliki Satu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun