Pagi ini saat aku berjalan di sepanjang tepi Danau Sentani, aku jatuh cinta pada seekor Lohan yang menari
dan keesokannya pada mentari dari balik Dobonsolo saat nelayan berangkat mencari.Â
Dalam bayang-bayang malam hujan,
Aku jatuh cinta lewat jendela pada wanita penjahit yang masih di mesinnya,
dan keesokannya pada semangkuk sup, uapnya naik seperti asap dari pertempuran bajak laut.Â
Ini merupakan jenis cinta terbaik, pikirku, tanpa imbalan, tanpa hadiah, atau kata-kata kasar, tanpa kecurigaan, atau diam di telepon.
Cinta pada seteguk kopi, topi snapback, putaran kunci, satu tangan di kemudi, dan terpaan angin di wajah.
Tak ada nafsu, tak ada bantingan pintu.
Cinta pada jagung rebus, kaos oblong dan jins, mandi malam air panas, dan jalan raya melintasi tepian danau.Â
Cinta tanpa harus menunggu, tersinggung, atau dendam -- hanya sesekali kepada anjing tetangga yang menggonggong tiada henti dan tikus mati yang masih mengenakan setelan cokelat mudanya.Â
Tapi hatiku selalu disangga di atas pigura dengan tripod-nya, bersiap untuk jepretan berikutnya. Setelah aku membuang tikus ke tumpukan daun di pepohonan,
Aku menemukan diriku berdiri di wastafel kamar mandi menatap sabun  di atas piring sabun hijau pucat dengan penuh kasih sayang, sangat sabar dan larut.Â
Aku bisa merasakan diriku jatuh cinta lagi saat aku merasakannya berputar di tanganku yang basah dan mengendus aroma lemon dan vanila.
Sentani, 30 Agustus 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H