Mereka mungkin tidak punya Leonidas dan 300 prajurit Sparta, tapi mereka benar-benar punya spirit untuk tidak tunduk pada rezim totaliter manapun.Â
Saya sedang bicara tentang masalah besar Taliban saat ini, Panjshir Resistance atau Resistansi Panjshir. Aliansi anti-Taliban ini hidup di sebuah lembah yang bernama Lembah Panjshir, itulah kenapa mereka disebut Resistansi Panjshir.Â
Lembah yang berjarak 113 kilometer dari utara ibu kota Kabul itu merupakan wilayah sebuah provinsi terkecil di Afghanistan, dan menjadi satu-satunya provinsi yang menolak tunduk kepada Taliban. Mirip Sparta yang menolak tunduk pada Persia dalam film Hollywood "300" yang saya singgung di atas.Â
Taliban mengepung lembah mereka dan mengeluarkan tenggat waktu ancaman tetapi Panjshir tetap menolak untuk menyerah. Mereka melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh 33 provinsi lainnya: memegang teguh benteng kebebasan.
Lembah Panjshir kini menjadi benteng terakhir bagi mereka yang menolak tunduk kepada Taliban. Al Jazeera mewartakan, Taliban telah mengepung Panjshir dari luar pada hari minggu, di dalamnya pasukan anti-taliban siap bertarung sampai akhir.Â
Para pemimpin gerilya telah berkumpul dari seluruh negeri, untuk menghadapi taliban di Panjshir. Pejabat pemerintah dan beberapa personel dari pasukan khusus telah juga bergabung dengan pasukan anti-taliban di sana. Personel pasukan khusus itu membawa serta ratusan humvee mobil lapis baja dan helikopter. Wakil presiden Amrullah Saleh juga dikabarkan telah berada di sana.
Panjshir telah menjadi benteng perlawanan Afghanistan sejak lama. Salah satunya di abad ke-19 misalnya, ketika kerajaan Inggris mencoba untuk menaklukkan Afghanistan, namun Panjshir tetap tidak tersentuh. Soviet juga mengalami kesulitan menaklukkan lembah Panjshir pada tahun 1980-an.
Tanggal 23 Agustus Taliban memberi tenggat waktu 4 jam bagi kaum perlawanan di sana untuk menyerah. Tapi, hingga detik ini benteng Panjshir belum terlihat goyah.Â
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, mereka mungkin tidak punya Leonidas yang tak goyah memimpin prajurit di depan Hotgates, tapi setidaknya mereka punya dua nama penting yang saat ini memimpin pasukan yaitu Ahmad Masoud dan Wakil Presiden Amrullah Saleh.
Ahmad Massoud adalah putra Ahmad Shah Massoud yang merupakan pemimpin perlawanan anti-soviet yang paling menonjol dan juga seorang anti-taliban yang populer. Massoud senior dibunuh hanya dua hari sebelum serangan 9/11, dua puluh tahun kemudian putranya mengikuti jejaknya dan menjadi wajah perlawanan anti-taliban yang baru. Bisa dikatakan dia merupakan pemimpin perlawanan 2.0.
Massoud 'junior' dan anak buahnya membela kedaulatan Afghanistan setelah Presiden mereka sendiri dan beberapa negara adidaya menyelinap pergi dalam bayang-bayang malam.
Apa yang mereka perjuangkan sekarang adalah untuk seluruh warga negara Afghanistan, untuk kedaulatan negeri tercinta mereka, untuk perdamaian, toleransi, penerimaan, atau moderasi,atau apapun istilah yang anda gunakan mengenai inklusivitas.Â
"Bersama-sama kita akan menulis halaman baru dalam kisah Afghanistan. Ini akan menjadi babak baru dalam perlawanan abadi kaum tertindas melawan tirani." Kata Ahmad seperti yang diwartakan Hindustan Times.
Jumlah Taliban melebihi jumlah kekuatan perlawanan, mereka juga memiliki lebih banyak persenjataan tetapi apa yang dimiliki Ahmad dan anak buahnya adalah keinginan tulus untuk membela tanah air mereka dan mungkin saja mereka menjadi faktor pengubah yang afghanistan butuh.Â
Nama pemimpin kedua perlawanan anti-Aaliban adalah Amrullah Saleh yang menjabat sebagai Wakil Presiden Afghanistan. Saleh, yang juga mantan mata-mata dan mantan komandan gerilya ini mengatakan bahwa dirinya sekarang merupakan presiden sementara Afghanistan.
Pada 15 Agustus saat mantan Presiden Ashraf Ghani melarikan diri dari Afghanistan, Amrullah saleh termasuk di antara sedikit yang tetap tinggal di Afghanistan. Dia dilaporkan mundur ke pertahanan terakhir Afghanistan yang tersisa di lembah Panjshir.Â
Sehari kemudian pada 16 Agustus beberapa gambar muncul mereka menunjukkan saleh dengan Ahmad Masoud. Pada hari yang sama Saleh mengeluarkan tweet yang mengklaim bahwa dia masih berada di Afghanistan untuk membentuk aliansi anti-taliban.Â
Taliban tidak bisa menaklukkan Panjshir dalam rezim terakhirnya antara tahun 1996-2001, sebagian besar karena kesukaran geografisnya juga karena aliansi utara merupakan kekuatan perlawanan yang paling kuat terhadap Taliban. Atau mungkin sejarah dari masa lalu di mana lembah Panjshir menjadi tempat yang belum pernah takluk oleh rezim manapun.Â
Amrullah Saleh merupakan pria berusia 48 tahun dari etnis Tajik Afghanistan yang menjadi yatim piatu pada usia yang sangat muda. Saleh juga memiliki saudara perempuan yang disiksa sampai mati oleh Taliban pada tahun 1996.
Dalam tulisannya di majalah Time, Saleh mengatakan,Â
"Pandangan saya tentang Taliban berubah selamanya karena apa yang terjadi pada tahun 1996 sampai 2001."
Sebagai bagian dari perlawanan anti-Taliban ia menjadi aset kunci bagi hubungan CIA dan Afghanistan saat itu, dan sekaligus membuka jalan baginya untuk memimpin badan intelijen Afghanistan yang baru dibentuk pada tahun 2004, Direktorat Keamanan Nasional atau NDS.
Saleh diyakini telah mengumpulkan jaringan informan dan mata-mata yang luas di seluruh negeri berkali-kali dan lagi jaringan ini telah membantu Saleh mengekspos hubungan Taliban Pakistan, ISI.Â
Karena keahlian spionase-nya itu, pada tahun 2010, Taliban dikatakan telah menganggap Saleh sebagai lawan terberat mereka.Â
Hingga tahun 2021, ketika serangan Taliban dimulai di Afganistan , Saleh-lah yang mengungkap bagaimana pemimpin Taliban mengatur serangan. Dia juga yang mengungkap keterlibatan angkatan udara Pakistan dalam mendukung Taliban di beberapa wilayah Afghanistan.
Jika sejarah berniat untuk terulang kembali, usaha perlawanan Saleh dan resistansi Panjshir bisa menjadi kekuatan sejarah melawan Taliban.
Dalam sebuah pembicaraan di Ted Talk tahun 2014, Saleh mengungkapkan,Â
"Demokrasi telah membawa banyak perubahan pada kami."
Saya berharap semoga demokrasi bisa terus berlangsung di sana, dan semoga perjuangan mereka menjadi sebuah pengingat bagi kita bahwa betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan demi menikmati kedamaian demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H