Seluruh gagasan itu membuatku merasa seperti sedang mengalami sesuatu, sesuatu yang lebih buruk daripada sakit perut atau sakit kepala yang aku dapat dari membaca dalam cahaya buruk -- semacam campak jiwa, gondongan atau cacar air jiwa yang menodai.
Baiklah, kau bisa bilang padaku kalau masih terlalu dini untuk melihat ke belakang, tapi itu karena kau sudah melupakan kesederhanaan yang sempurna menjadi satu kerumitan indah yang dihadirkan oleh dua orang. Tapi aku bisa berbaring di tempat tidur dan masih mengingat setiap angka. Pada usia empat tahun aku adalah seorang penyihir Arab. Aku bisa membuat diriku tak terlihat dengan meminum segelas susu dengan cara tertentu. Pada usia tujuh tahun aku adalah seorang tentara, lalu robot super pada usia sembilan.
Tapi sekarang aku lebih banyak berada di jendela menyaksikan cahaya sore hari, saat ia tak pernah jatuh begitu serius ke sisi rumah pohonku, dan sepedaku tak pernah bersandar di garasi seperti yang terjadi hari ini, semua kecepatan dan biru tua terkuras darinya.
Ini adalah awal dari kesedihan, kataku pada diri sendiri, saat aku berjalan melalui alam semesta dengan sepatu ketsku. Saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada teman khayalanku, saatnya mengubah angka besar pertama.
Sepertinya baru kemarin aku percaya tak ada apa pun di bawah kulitku selain cahaya. Jika kau memotongku, aku bisa bersinar. Tetapi sekarang, saat terjatuh di trotoar kehidupan, aku menguliti lututku. Aku berdarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H