Para nabi menyambutmu dalam cahaya lilin di perpustakaannya, menurunkan kitab bersampul kulit untuk ditunjukan padamu.
Pemazmur menyandarkan lelahmu ke pohon rindang di padang rumput hijau.
Pujangga membuatmu tersipu, melukis rona pipi, lalu meneteskan air mata yang tak mampu ditahan bendungan rasa.
Tapi hari ini engkau bersamaku, berbaris di lapangan putih halaman ini, tak ada perpustakaan, padang rumput hijau atau bendungan besar untuk menampung kita, tak ada Zeitgeist yang berbaris di latar belakang, tak ada etos berat yang dilemparkan ke atas kita seperti mantel tebal penuh keringat.
Sebaliknya, pertemuan kita begitu singkat dan tidak disengaja, tanpa disadari oleh biji mata sejarah, bisa saja kamu adalah kamu yang aku pegangkan pintunya pagi ini di bank atau kantor pos atau orang yang membungkus belanjaanku di kasir. Bisa saja kamu adalah seseorang yang aku lewati di jalan atau wajah di belakang kemudi mobil yang melaju.
Sinar matahari menyinari kaca depanmu, dan ketika aku melihat ke spion, aku melihatmu masih terus bersamaku di jalan yang mau tak mau kita tempuh bersama. Bolehkah aku memanggilmu "Gema ku", yang menampung tetesan ide dari bendungan di kepalaku?
Sorong, 4 Maret 2021.
*Zeitgeist merupakan pemikiran dominan pada suatu masa yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah budaya dalam masa itu sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H