Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menanti Bumi Miring Menuju Harapan

20 Desember 2020   15:20 Diperbarui: 31 Desember 2021   06:11 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah selalu tahu jam berapa matahari akan terbenam. Seperti kebanyakan fotografer, ia suka mengambil potret satu jam sebelum pintu senja tertutup rapat, ketika cahayanya lembut tetapi tidak terlalu lemah melainkan penuh warna. Bahkan di musim angin pada bulan Desember, kami akan mendaki bukit di tepian danau Sentani untuk menikmati kesempurnaan alam.

Sebelum kamera dan perangkat edit digital populer, Ayah selalu memakai pengukur cahaya di lehernya dan menahan gelembung putih kecil ke wajah kami sehingga bisa menyesuaikan bukaan cahaya saat matahari mulai menjauh. Ketika masih kecil dulu, saya kira meteran itu memberi cahaya sehingga kita akan cukup terang sebagai objek untuk difoto.

Di Kampung Yoboi, jayapura, matahari terbenam sekitar pukul 17:30 hari ini, dan berharap ada perangkat yang bisa menerangi saya di bulan-bulan tergelap belakangan, di tahun tergelap ini. Bagi kami penggemar berat bulan Desember, dibayangi ratusan ribu orang yang kehilangan seseorang tahun ini, bikin musim liburan terasa sungguh melepas rasa.

Serasa mengorek puisi paling tragis tahun 2020, saat berada di titik kritis, Vaksin COVID tiba pada waktu paling gelap dan membawa kantong harapan yang compang-camping. Titik balik matahari Desember adalah malam terpanjang dalam wadah dan awal pendakian kita kembali ke terang. 

Mulai Desember, alih-alih kehilangan siang hari setiap hari, belahan bumi Timur akan mendapat beberapa detik tambahan, berdasarkan peta gerak semu matahari, dan penambahannya meningkat sekian milidetik setiap hari sampai ke bulan Maret.

Awalnya tidak akan terlihat, tetapi pada akhir bulan, Danau Sentani akan memiliki sekitar empat menit siang hari lebih banyak. Jika diakumulasi sampai Maret nanti, wilayah Danau Sentani akan punya waktu siang dua jam lebih banyak dari bulan sebelumnya.

Tentu saja hal ini tidak membuat jalan menuju hari-hari yang panjang dan indah terasa lebih dekat atau lebih mudah.

Vaksin-vaksin itu sedikit mirip dengan menit-menit tambahan di siang hari, sedikit kemenangan tambahan dan kumulatif, bukan yang instan.

Ketika melihat para perawat, dokter, dan orang tua di TV yang divaksinasi, setiap kali itu saya menghembuskan nafas lega, dan mencoba membayangkan jenis peta baru, bukan peta merah penyakit yang telah kita lihat selama berbulan-bulan... bukan peta pilkada... bukan... bukan peta penuh noda semacam itu. 

Yang ini berwarna tengah malam, dan setiap kali seseorang mendapat vaksin, ada tusukan cahaya yang menerangi dan meng-gradasi tengah malam dengan lembut ke warna yang lebih pagi. (Sentimental, ya, tapi citra itu, tentang dunia yang menjadi lebih cerah, menopang saya.)

Malam kita masih akan terasa tanpa akhir untuk beberapa saat lagi. Kita masih harus melawan virus ini dengan alat yang sudah kita miliki selama ini: kemurahan hati dengan dompet dan semangat, masker, kesabaran, sains... dan cinta. Cinta untuk diri kita sendiri, dan untuk generasi penerus yang menyaksikan dan melihat bagaimana kita saling mendukung satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun