Ketika protes keadilan rasial melanda AS Juli tahun ini, gerakan terkait terjadi ribuan mil jauhnya di Indonesia. Tagar Papuan Lives Matter bermula di media sosial, menyebar ke seluruh nusantara. Masyarakat Indonesia membagikan tautan ke webinar dan situs web dengan informasi tentang masalah hak asasi manusia di wilayah Papua.Â
Sebuah posting Instagram yang mengatakan "We cannot talk about #BlackLivesMatter without talking about West Papua" menerima lebih dari 8.500 suka. West Papua merupakan sebutan untuk wilayah bagian barat pulau besar Papua, yang masuk dalam NKRI, di mana bagian timurnya merupakan wilayah Papua New Guinea. West Papua dulunya merupakan satu provinsi, Irian Jaya, kemudian melakukan pemekaran menjadi Provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.
Di Indonesia, tagar ini membawa perhatian yang belum pernah terjadi sebelumnya pada diskriminasi yang dihadapi oleh orang Papua, yang berasal dari Melanasian. Banyak orang Melanesia juga mengidentifikasi diri sebagai "orang kulit hitam; seperti halnya mayoritas di negara tetangga Papua Nugini, serta negara kepulauan Pasifik seperti Fiji dan Vanuatu. Orang Papua merupakan sebagian kecil dari populasi Indonesia secara nasional dan menganggap asal-usul kami unik dari kelompok etnis lain di negara kita ini.
Bagi banyak orang di West Papua, perjuangan itu melampaui persamaan ras. Bekas koloni Belanda dideklarasikan sebagai bagian dari Indonesia melalui referendum 1969. Lebih dari 1.000 perwakilan - dipilih sendiri oleh militer dan pejabat Indonesia - diizinkan untuk memberikan suara dalam referendum yang menyatakan West Papua sebagai bagian dari Indonesia. Meskipun pemungutan suara tersebut diakui oleh komunitas internasional, banyak orang Papua yang menolaknya karena dianggap curang. Perjuangan separatis di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia  terus membara sejak saat itu.
Di tengah perhatian baru di West Papua, koalisi kelompok pro-kemerdekaan yang disebut Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP), mengumumkan pada 1 Desember bahwa mereka telah membentuk pemerintah yang sedang menunggu untuk mulai bekerja menuju kemerdekaan untuk sekitar 4,3 juta penduduk Papua dan Papua Barat. Aktivis kemerdekaan lawas  Benny Wenda telah dinominasikan sebagai presiden sementara kelompok tersebut.
Pemerintah Indonesia, yang menganggap wilayah itu sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia, menolak langkah Wenda sebagai "lelucon". Juru bicara Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan deklarasi kelompok Wenda tidak memenuhi standar pemerintahan yang sah --- dan bahwa pemerintah di Jakarta adalah satu-satunya otoritas di wilayah Papua. Keputusan tersebut dianggap  final dan kuat dari perspektif hukum internasional.
 "Papuan Lives Matter" juga mendorong masyarakat Indonesia untuk mempertimbangkan apa yang terjadi di wilayah paling timur dalam konteks rasisme. Camellia Webb-Gannon, koordinator West Papua Project di Universitas Wollongong Australia, mengatakan bahwa masalah ras secara historis tidak pernah dibahas sebagai titik ketegangan di Papua Barat. Sebelumnya, hal ini telah dibicarakan dalam hal kolonialisme, eksploitasi sumber daya dan pelanggaran hak asasi manusia. "Mereka mulai melihat hal ini sehubungan dengan wacana internasional seputar rasisme yang terjadi di AS khususnya," katanya. "Tiba-tiba tautan ini dibuat juga di Papua, dan meroket, jadi banyak orang Indonesia yang memahaminya."
Tetapi para pengamat mengatakan tagar tersebut mungkin tidak diterjemahkan ke dalam dukungan untuk "pemerintahan Wenda yang sedang menunggu", atau gerakan kemerdekaan lainnya. Dan juga tidak berarti bahwa solusi untuk kekacauan selama beberapa dekade sudah dekat.
Sejarah yang panjang dan penuh kekerasan
Indonesia mempertahankan kehadiran militer yang besar di wilayah Papua. Pengamat hak asasi manusia dan aktivis lokal mengatakan ratusan ribu telah terbunuh sejak tahun 1960-an oleh pasukan keamanan Indonesia. Pembatasan akses pada media internasional dan pengamat hak asasi serta pemadaman internet membuat penghitungan yang akurat sulit ditentukan. Wenda mengatakan bahwa dia diludahi dan dipanggil oleh siswa dan guru non-Papua yang tumbuh dewasa di Papua, dan menyaksikan tentara Indonesia menganiaya anggota keluarganya, dan orang lain di desanya.
"Mereka memperlakukan kami berbeda. Karena, kami berbeda, "kata Wenda. "Mereka melihat kami sebagai makhluk sub-manusia."