Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

3+1 Alasan Suami Tidak Harus Berpenghasilan Lebih Tinggi dari Istri

13 Desember 2020   04:05 Diperbarui: 13 Desember 2020   13:24 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesejahteraan tidak selalu tentang uang.

Kita semua pasti setuju dengan kalimat tersebut. Kalimat tersebut merupakan salah satu alasan kenapa suami tidak harus punya penghasilan lebih tinggi dari pada istri. Memang suami adalah kepala keluarga. Tapi bukan berarti "kepala" yang bertanggung jawab dalam segala hal, seperti harus lebih mahir menata rambut anak perempuannya, harus lebih mahir memasak, harus lebih mahir cari uang, dan lain sebagainya. Ya, saya tahu terdengar konyol.

Tapi, mari kita lihat situasi sekarang. Teman saya seorang kameramen untuk pembuatan sinetron dan FTV dan dia sangat mahir dalam pekerjaannya karena hanya itu yang digelutinya bertahun-tahun. Penghasilannya lebih besar dari istri yang adalah seorang perawat. Ketika pandemi, dia harus menerima kenyataan "tidak berpenghasilan" karena produksi sinetron dan FTV diberhentikan sementara (tapi cukup lama). Dan istri menghasilkan uang lebih banyak dari biasanya karena tambahan honor untuk petugas medis. Hal ini sangat membuatnya frustrasi karena ngojek juga sepi, penghasilan hanya seberapa. Saya bingung, kebutuhannya keluarganya kan masih bisa terpenuhi dari gaji istri. Dia pun curhat, frustrasinya karena hanya bisa bersandar pada penghasilan istri dan merasa seperti suami tidak bertanggung jawab.

Sampai di sini kita bisa saja bilang, "Jadi suami yang bertanggung jawab itu harus bisa putar otak untuk berpenghasilan lebih dari istri". Lalu saya akan berharap agar sang suami bisa disulap dengan sebuah skill baru yang bisa lebih berpenghasilan dari istrinya. Misalnya skill pengajar, yang cukup menghasilkan di tengah pandemi karena bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya pandemi atau ceramah agar masyarakat menjaga kesehatan dan jangan stress, atau layanan private school. Karena cuma skill kameramen yang dikuasai teman selama ini, dan butuh waktu yang tidak sedikit baginya untuk bisa menguasai skill baru yang menghasilkan lebih dari istri.

Gegara pandangan "suami harus berpenghasilan lebih dari istri", dia malah jadi stress, padahal kebutuhan hidupnya masih aman-aman saja bahkan berlebih dibanding keluarga lain. Ujung-ujungnya malah tambah parah, kesehatannya menurun gara-gara stress. Dia malah tidak enak tinggal di rumah sekarang, takut dibilang malaslah, tidak bertanggung jawablah. Padahal anak-anak juga butuh perhatian di rumah. Bisa saja  mood istri pun menurun karena punya suami yang berpenghasilan lebih rendah darinya, ntar apa kata orang. Dampaknya juga buruk ke anak yang selalu kena mood buruk kedua orang tua. Total disaster lah pokoknya.

Saya yakin, masih banyak lagi skenario yang sama dengan teman saya di negara kita bahkan dunia saat ini. Bahkan sebelum pandemi pun banyak keluarga yang mengalami skenario tersebut. Satu contoh lagi, kasus pada pegawai bank. Saat kedua teman sekolah saya yang keduanya bekerja di bank yang sama menikah, istri harus berhenti karena aturan bank yang tidak memperbolehkan pasutri bekerja di bank yang sama. Istri harus menyerah pada passion-nya sebagai pegawai bank alih-alih suami, karena pandangan "suami harus berpenghasilan lebih tinggi dari istri". Padahal suami belum tentu passion-nya di situ namun karena "harus berpenghasilan" ia terpaksa mengambil lowongan yang ada. Tapi, karena khawatir nanti susah dapat kerja lagi akhirnya suami bertahan, dan istri yang punya passion harus rela jadi korban aturan bank.

Kesimpulannya kita masih hidup di negara bahkan dunia di mana situasi bisa berubah sewaktu-waktu, tidak banyak pekerjaan tersedia agar kita dengan mudah bisa mengatur skill yang kita punya dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Negara harus selalu mengubah kebijakannya sesuai sikon, dan rakyat tidak bisa mengontrol apakah skill suami atau istri yang lebih berpenghasilan di tiap kebijakan. Dan belum ada negara manapun di dunia yang mampu menanggung seluruh kebutuhan pokok rakyatnya sehingga rakyat tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam situasi utopis seperti itu, tidak banyak orang yang harus bertarung dengan jumlah lapangan pekerjaan yang lebih sedikit dari jumlah masyarakat, kita jadi mudah berganti pekerjaan, "suami harus berpenghasilan tinggi" jadi semudah membalik telapak tangan. Makanya saya melihat "suami harus berpenghasilan tinggi" seperti sebuah konsep utopis, di mana semua kebutuhan pokok sudah bisa ditanggung oleh negara.

Jadi, saya termasuk salah satu yang tidak setuju dengan masalah gender income inequality, atau begitulah para pakar menyebutnya. Ini tidak hanya sekedar mengenai emansipasi perempuan atau feminisme, nyatanya masih ada budaya matriaki di dunia ini yang menjadi target agenda Unesco (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa). Bahkan saya menemukan Unesco memasukannya sebagai salah satu dari dua agenda utama. Salah satu programnya adalah menghapus pandangan patriaki atau matriaki dalam pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Jadi saya penasaran, kenapa begitu penting kesetaraan gender dalam hal pendapatan bagi dunia hingga Unesco mengganggap serius masalah ini. Ini yang saya temukan:

Sejarah Patriaki dan Masalah yang Ditimbulkannya

Budaya patriaki berkembang dari jaman yang sangat tua, jaman pembentukan budaya. Wanita yang harus melahirkan dan beristirahat, tidak bisa selalu pergi berburu dan mengumpulkan makanan sekaligus berperang melawan kawanan lain yang menyerang di tengah jalan. Para tetua memutuskan agar hanya pria yang berlatih berperang, berburu dan dan mengumpulkan makanan. Wanita berlatih skill yang berguna membantu ketahanan kawanan seperti memasak dan mengasuh anak. Hal ini berfungsi dengan sangat baik saat itu. Bahkan mungkin satu-satunya solusi saat itu. Beberapa wanita (mungkin juga banyak) yang punya passion selain memasak dan mengasuh anak hanya bisa pasrah. Toh keadaan tidak memungkinkannya untuk mengeksplor passion-nya.

Sayangnya ketika situasi yang memaksa wanita untuk hanya bisa memasak dan mengasuh anak berakhir, patriaki tetap dipertahankan. Seiring waktu, fungsi patriaki pun bergeser dari "biar keberlangsungan hidup kelompok bertahan" menjadi "Lelakilah yang harus mencari makanan. Itu sudah kodratnya dari sang Pencipta". Kali ini tidak harus selalu berburu dan berperang dengan kawanan lain, melainkan hanya duduk di meja yang nyaman selama beberapa jam sehari, sesuatu yang juga tidak berbahaya bagi ketahanan kelompok, jika wanita yang nantinya harus melahirkan dan beristirahat ini melakukannya.

Ini kemudian menjadi masalah bagi semua negara di dunia. Negara-negara yang belum bisa memenuhi semua kebutuhan pokok rakyatnya, harus memastikan skill semua laki-laki lebih berpenghasilan dari wanita yang dinikahinya, agar kodrat pria bisa dipenuhi. Tujuannya mulia, agar pria bisa berjalan dengan kepala tegak di tengah masyarakat, dan tidak memunculkan masalah sosial lain yang lebih kompleks. Tapi yang paling utama pria (bahkan juga wanita) yang merasa rendah martabatnya tidak bisa bekerja secara maksimal dalam kelompok, yang mana merupakan syarat utama untuk bekerja dan berpenghasilan di manapun saat ini.

Sayangnya tidak ada negara yang bisa memastikan agar pria menikahi wanita yang punya skill yang berpenghasilan rendah dari dirinya. Bisa sih, tapi dengan cara wanita menyetujui agar wanita dibayar lebih rendah dari pria untuk pekerjaan apapun. Negara jadi tidak terlalu repot memikirkan untuk memastikan semua skill pria lebih berpenghasilan dari wanitanya. Dan itulah yang dilakukan seluruh negara di dunia, terutama sektor swasta. Islandia yang merupakan negara dengan kesenjangan gender terkecil di dunia pun belum bisa melakukan kesetaraan pendapatan gender.

Masalah gender inequality (ketidaksetaraan gender) lainnya pun muncul. Karena pandangan patriaki, wanita jadi tidak harus berpendidikan daripada pria. Dalam kasus keuangan terbatas, kebanyakan keluarga lebih memilih anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan tinggi ketimbang anak perempuan. Artinya peluang wanita berpenghasilan tinggi atau bahkan hanya untuk mencukupi jadi berkurang. Wanita seumur hidupnya menggantungkan hidup pada pria yang tidak selamanya sehat atau bahkan hidup sampai tua. Masalahnya kebanyakan keluarga di dunia yang mempunyai keuangan terbatas ketimbang keluarga yang berkeuangan lebih, sehingga lebih banyak wanita yang menggantungkan hidup pada pria immortal tersebut ketimbang jumlah wanita yang merdeka. Rantai kemiskinan pun terulang dari waktu ke waktu.

Dan sekarang saya mengerti kenapa masalah ini sangat dianggap penting oleh Unesco. Alasannya, pembangunan dapat dilakukan jika dilakukan secara kolektif, melibatkan seluruh masyarakat tidak hanya satu gender saja. Dan budaya patriaki ini menjadi sebuah penghalang besar. 

Kemudian saya rasa ada salah paham di sini. Tugas suami adalah memastikan kesejahteraan keluarganya, dan kesejahteraan tidak selamanya uang, lalu kenapa suami lebih bertugas cari uang?

Sebenarnya jika suami dan istri punya pendapatan kolektif yang mencukupi kebutuhan pokok keluarga, suami tidak harus berusaha ektra keras cari uang. Lebih baik lagi, ia bisa lebih bertanggung jawab dengan menghabiskan waktu bersama keluarga mengajari anak bersepeda, mancing bersama anak, mengerjakan tugas sekolah daripada berusaha keras menghadapi situasi di mana skill istri lebih berpenghasilan di luar sana untuk memenuhi "kodrat yang salah paham" itu. Atau bahkan bekerja sampai ke luar kota karena skill nya lebih berpenghasilan di luar kota, padahal yang diinginkan istri adalah agar suami selalu bisa dekat dengannya dan anak-anak.

Seperti yang kita lihat, ini bukan mengenai emansipasi atau feminisme, pandangan "suami harus lebih berpenghasilan lebih dari istri" punya efek domino yang tanpa sadar berpengaruh buruk bagi kesejahteraan keluarga, atau lebih besarnya dalam pembangunan suatu bangsa

Saya tidak menyalahkan pendapat siapapun di sini, karena saya juga pernah salah paham hal "kodrat" ini. Dan saya pikir ini berkembang karena wajah uang sebagai sumber utama kesejahteraan berkembang cukup lama dan masif di negara yang  tinggi tingkat kesenjangan pendapatan seperti negara kita ini, di mana lebih banyak orang berpenghasilan rendah daripada orang berpenghasilan tinggi. Akhirnya perjuangan sehari-hari kita adalah mencari uang menafkahi keluarga. Sedangkan di negara yang lebih makmur tidak demikian. Uang bukanlah sebuah perjuangan yang terlalu keras sehari-hari maka wajah uang sebagai sumber utama kesejahteraan pun berkurang, di sana tidak masalah jika istri berpenghasilan tinggi dari suami. Beda dengan negara kita (dan negara dengan tingkat kesejahteraan serupa), uang menjadi perjuangan sehari-hari sehingga uang sebagai sumber utama kesejahteraan pun menguat tanpa disadari. Kita jadi berpikir kalo suami harus lebih berpenghasilan dari istri.

Kesimpulan

Berikut alasan kenapa suami tidak harus berpenghasilan lebih tinggi dari istri:

  • Tidak semua skill pria berpenghasilan lebih tinggi dari wanita, tergantung tersedianya lapangan pekerjaan yang ada. Sebab kita hidup di jaman di mana kebijakan pemerintah bisa berubah sewaktu-waktu dan sangat menentukan nilai skill suami dan istri.
  • Bukan tentang emansipasi, tapi lebih ke memutus rantai kemiskinan dari akar yang lebih dalam. Pembangunan lebih baik jika dilakukan secara kolektif.
  • Tanggung jawab suami untuk mensejahterahkan keluarga, bukannya cari uang, karena kesejahteraan tidak selamanya uang. Jika penghasilan kolektif pasutri cukup, ngapain tambah masalah dengan "harus bekerja lebih keras lagi"?
  • Kalau saya dan Pevita Pearce saling mencintai, maka kami harus merelakan cinta suci kami daripada hidup malu seumur hidup karena saya akan berpenghasilan lebih rendah untuk waktu yang sangat lama.  ^_^

Saya pernah menonton sebuah film yang mengubah pandangan saya terhadap gender income inequality ini. Film tersebut berjudul The Intern (2015). Singkatnya, sang suami rela meninggalkan pekerjaannya yang berpenghasilan tinggi untuk menjadi "bapak rumah tangga" agar sang istri bisa menjalani passion-nya sebagai seorang pimpinan majalah online sekaligus penafkah keluarga. Mereka bisa saja bekerja bersama-sama tapi keduanya sepakat agar anak mereka selalu dirawat oleh salah satu dari mereka. Dan akan berganti tugas setiap beberapa tahun sekali, sang istri kembali jadi ibu rumah tangga dan suami kembali menjadi pencari nafkah. Dan saya pikir itulah seorang suami bijaksana sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan keluarga. Istri senang, anak selalu diasuh orangtua, kebutuhan pokok terpenuhi. Kalo kayak gitu, kenapa harus bertahan dengan konsep "suami harus berpenghasilan tinggi dari istri"?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun