Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

3+1 Alasan Suami Tidak Harus Berpenghasilan Lebih Tinggi dari Istri

13 Desember 2020   04:05 Diperbarui: 13 Desember 2020   13:24 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Repro negatif potret Raden Ajeng Kartini. Foto 1890-an via Wikipedia (olah pribadi))

Ini kemudian menjadi masalah bagi semua negara di dunia. Negara-negara yang belum bisa memenuhi semua kebutuhan pokok rakyatnya, harus memastikan skill semua laki-laki lebih berpenghasilan dari wanita yang dinikahinya, agar kodrat pria bisa dipenuhi. Tujuannya mulia, agar pria bisa berjalan dengan kepala tegak di tengah masyarakat, dan tidak memunculkan masalah sosial lain yang lebih kompleks. Tapi yang paling utama pria (bahkan juga wanita) yang merasa rendah martabatnya tidak bisa bekerja secara maksimal dalam kelompok, yang mana merupakan syarat utama untuk bekerja dan berpenghasilan di manapun saat ini.

Sayangnya tidak ada negara yang bisa memastikan agar pria menikahi wanita yang punya skill yang berpenghasilan rendah dari dirinya. Bisa sih, tapi dengan cara wanita menyetujui agar wanita dibayar lebih rendah dari pria untuk pekerjaan apapun. Negara jadi tidak terlalu repot memikirkan untuk memastikan semua skill pria lebih berpenghasilan dari wanitanya. Dan itulah yang dilakukan seluruh negara di dunia, terutama sektor swasta. Islandia yang merupakan negara dengan kesenjangan gender terkecil di dunia pun belum bisa melakukan kesetaraan pendapatan gender.

Masalah gender inequality (ketidaksetaraan gender) lainnya pun muncul. Karena pandangan patriaki, wanita jadi tidak harus berpendidikan daripada pria. Dalam kasus keuangan terbatas, kebanyakan keluarga lebih memilih anak laki-laki untuk memperoleh pendidikan tinggi ketimbang anak perempuan. Artinya peluang wanita berpenghasilan tinggi atau bahkan hanya untuk mencukupi jadi berkurang. Wanita seumur hidupnya menggantungkan hidup pada pria yang tidak selamanya sehat atau bahkan hidup sampai tua. Masalahnya kebanyakan keluarga di dunia yang mempunyai keuangan terbatas ketimbang keluarga yang berkeuangan lebih, sehingga lebih banyak wanita yang menggantungkan hidup pada pria immortal tersebut ketimbang jumlah wanita yang merdeka. Rantai kemiskinan pun terulang dari waktu ke waktu.

Dan sekarang saya mengerti kenapa masalah ini sangat dianggap penting oleh Unesco. Alasannya, pembangunan dapat dilakukan jika dilakukan secara kolektif, melibatkan seluruh masyarakat tidak hanya satu gender saja. Dan budaya patriaki ini menjadi sebuah penghalang besar. 

Kemudian saya rasa ada salah paham di sini. Tugas suami adalah memastikan kesejahteraan keluarganya, dan kesejahteraan tidak selamanya uang, lalu kenapa suami lebih bertugas cari uang?

Sebenarnya jika suami dan istri punya pendapatan kolektif yang mencukupi kebutuhan pokok keluarga, suami tidak harus berusaha ektra keras cari uang. Lebih baik lagi, ia bisa lebih bertanggung jawab dengan menghabiskan waktu bersama keluarga mengajari anak bersepeda, mancing bersama anak, mengerjakan tugas sekolah daripada berusaha keras menghadapi situasi di mana skill istri lebih berpenghasilan di luar sana untuk memenuhi "kodrat yang salah paham" itu. Atau bahkan bekerja sampai ke luar kota karena skill nya lebih berpenghasilan di luar kota, padahal yang diinginkan istri adalah agar suami selalu bisa dekat dengannya dan anak-anak.

Seperti yang kita lihat, ini bukan mengenai emansipasi atau feminisme, pandangan "suami harus lebih berpenghasilan lebih dari istri" punya efek domino yang tanpa sadar berpengaruh buruk bagi kesejahteraan keluarga, atau lebih besarnya dalam pembangunan suatu bangsa

Saya tidak menyalahkan pendapat siapapun di sini, karena saya juga pernah salah paham hal "kodrat" ini. Dan saya pikir ini berkembang karena wajah uang sebagai sumber utama kesejahteraan berkembang cukup lama dan masif di negara yang  tinggi tingkat kesenjangan pendapatan seperti negara kita ini, di mana lebih banyak orang berpenghasilan rendah daripada orang berpenghasilan tinggi. Akhirnya perjuangan sehari-hari kita adalah mencari uang menafkahi keluarga. Sedangkan di negara yang lebih makmur tidak demikian. Uang bukanlah sebuah perjuangan yang terlalu keras sehari-hari maka wajah uang sebagai sumber utama kesejahteraan pun berkurang, di sana tidak masalah jika istri berpenghasilan tinggi dari suami. Beda dengan negara kita (dan negara dengan tingkat kesejahteraan serupa), uang menjadi perjuangan sehari-hari sehingga uang sebagai sumber utama kesejahteraan pun menguat tanpa disadari. Kita jadi berpikir kalo suami harus lebih berpenghasilan dari istri.

Kesimpulan

Berikut alasan kenapa suami tidak harus berpenghasilan lebih tinggi dari istri:

  • Tidak semua skill pria berpenghasilan lebih tinggi dari wanita, tergantung tersedianya lapangan pekerjaan yang ada. Sebab kita hidup di jaman di mana kebijakan pemerintah bisa berubah sewaktu-waktu dan sangat menentukan nilai skill suami dan istri.
  • Bukan tentang emansipasi, tapi lebih ke memutus rantai kemiskinan dari akar yang lebih dalam. Pembangunan lebih baik jika dilakukan secara kolektif.
  • Tanggung jawab suami untuk mensejahterahkan keluarga, bukannya cari uang, karena kesejahteraan tidak selamanya uang. Jika penghasilan kolektif pasutri cukup, ngapain tambah masalah dengan "harus bekerja lebih keras lagi"?
  • Kalau saya dan Pevita Pearce saling mencintai, maka kami harus merelakan cinta suci kami daripada hidup malu seumur hidup karena saya akan berpenghasilan lebih rendah untuk waktu yang sangat lama.  ^_^

Saya pernah menonton sebuah film yang mengubah pandangan saya terhadap gender income inequality ini. Film tersebut berjudul The Intern (2015). Singkatnya, sang suami rela meninggalkan pekerjaannya yang berpenghasilan tinggi untuk menjadi "bapak rumah tangga" agar sang istri bisa menjalani passion-nya sebagai seorang pimpinan majalah online sekaligus penafkah keluarga. Mereka bisa saja bekerja bersama-sama tapi keduanya sepakat agar anak mereka selalu dirawat oleh salah satu dari mereka. Dan akan berganti tugas setiap beberapa tahun sekali, sang istri kembali jadi ibu rumah tangga dan suami kembali menjadi pencari nafkah. Dan saya pikir itulah seorang suami bijaksana sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan keluarga. Istri senang, anak selalu diasuh orangtua, kebutuhan pokok terpenuhi. Kalo kayak gitu, kenapa harus bertahan dengan konsep "suami harus berpenghasilan tinggi dari istri"?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun