Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

3+1 Alasan Suami Tidak Harus Berpenghasilan Lebih Tinggi dari Istri

13 Desember 2020   04:05 Diperbarui: 13 Desember 2020   13:24 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Repro negatif potret Raden Ajeng Kartini. Foto 1890-an via Wikipedia (olah pribadi))

Kesejahteraan tidak selalu tentang uang.

Kita semua pasti setuju dengan kalimat tersebut. Kalimat tersebut merupakan salah satu alasan kenapa suami tidak harus punya penghasilan lebih tinggi dari pada istri. Memang suami adalah kepala keluarga. Tapi bukan berarti "kepala" yang bertanggung jawab dalam segala hal, seperti harus lebih mahir menata rambut anak perempuannya, harus lebih mahir memasak, harus lebih mahir cari uang, dan lain sebagainya. Ya, saya tahu terdengar konyol.

Tapi, mari kita lihat situasi sekarang. Teman saya seorang kameramen untuk pembuatan sinetron dan FTV dan dia sangat mahir dalam pekerjaannya karena hanya itu yang digelutinya bertahun-tahun. Penghasilannya lebih besar dari istri yang adalah seorang perawat. Ketika pandemi, dia harus menerima kenyataan "tidak berpenghasilan" karena produksi sinetron dan FTV diberhentikan sementara (tapi cukup lama). Dan istri menghasilkan uang lebih banyak dari biasanya karena tambahan honor untuk petugas medis. Hal ini sangat membuatnya frustrasi karena ngojek juga sepi, penghasilan hanya seberapa. Saya bingung, kebutuhannya keluarganya kan masih bisa terpenuhi dari gaji istri. Dia pun curhat, frustrasinya karena hanya bisa bersandar pada penghasilan istri dan merasa seperti suami tidak bertanggung jawab.

Sampai di sini kita bisa saja bilang, "Jadi suami yang bertanggung jawab itu harus bisa putar otak untuk berpenghasilan lebih dari istri". Lalu saya akan berharap agar sang suami bisa disulap dengan sebuah skill baru yang bisa lebih berpenghasilan dari istrinya. Misalnya skill pengajar, yang cukup menghasilkan di tengah pandemi karena bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya pandemi atau ceramah agar masyarakat menjaga kesehatan dan jangan stress, atau layanan private school. Karena cuma skill kameramen yang dikuasai teman selama ini, dan butuh waktu yang tidak sedikit baginya untuk bisa menguasai skill baru yang menghasilkan lebih dari istri.

Gegara pandangan "suami harus berpenghasilan lebih dari istri", dia malah jadi stress, padahal kebutuhan hidupnya masih aman-aman saja bahkan berlebih dibanding keluarga lain. Ujung-ujungnya malah tambah parah, kesehatannya menurun gara-gara stress. Dia malah tidak enak tinggal di rumah sekarang, takut dibilang malaslah, tidak bertanggung jawablah. Padahal anak-anak juga butuh perhatian di rumah. Bisa saja  mood istri pun menurun karena punya suami yang berpenghasilan lebih rendah darinya, ntar apa kata orang. Dampaknya juga buruk ke anak yang selalu kena mood buruk kedua orang tua. Total disaster lah pokoknya.

Saya yakin, masih banyak lagi skenario yang sama dengan teman saya di negara kita bahkan dunia saat ini. Bahkan sebelum pandemi pun banyak keluarga yang mengalami skenario tersebut. Satu contoh lagi, kasus pada pegawai bank. Saat kedua teman sekolah saya yang keduanya bekerja di bank yang sama menikah, istri harus berhenti karena aturan bank yang tidak memperbolehkan pasutri bekerja di bank yang sama. Istri harus menyerah pada passion-nya sebagai pegawai bank alih-alih suami, karena pandangan "suami harus berpenghasilan lebih tinggi dari istri". Padahal suami belum tentu passion-nya di situ namun karena "harus berpenghasilan" ia terpaksa mengambil lowongan yang ada. Tapi, karena khawatir nanti susah dapat kerja lagi akhirnya suami bertahan, dan istri yang punya passion harus rela jadi korban aturan bank.

Kesimpulannya kita masih hidup di negara bahkan dunia di mana situasi bisa berubah sewaktu-waktu, tidak banyak pekerjaan tersedia agar kita dengan mudah bisa mengatur skill yang kita punya dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Negara harus selalu mengubah kebijakannya sesuai sikon, dan rakyat tidak bisa mengontrol apakah skill suami atau istri yang lebih berpenghasilan di tiap kebijakan. Dan belum ada negara manapun di dunia yang mampu menanggung seluruh kebutuhan pokok rakyatnya sehingga rakyat tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam situasi utopis seperti itu, tidak banyak orang yang harus bertarung dengan jumlah lapangan pekerjaan yang lebih sedikit dari jumlah masyarakat, kita jadi mudah berganti pekerjaan, "suami harus berpenghasilan tinggi" jadi semudah membalik telapak tangan. Makanya saya melihat "suami harus berpenghasilan tinggi" seperti sebuah konsep utopis, di mana semua kebutuhan pokok sudah bisa ditanggung oleh negara.

Jadi, saya termasuk salah satu yang tidak setuju dengan masalah gender income inequality, atau begitulah para pakar menyebutnya. Ini tidak hanya sekedar mengenai emansipasi perempuan atau feminisme, nyatanya masih ada budaya matriaki di dunia ini yang menjadi target agenda Unesco (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa). Bahkan saya menemukan Unesco memasukannya sebagai salah satu dari dua agenda utama. Salah satu programnya adalah menghapus pandangan patriaki atau matriaki dalam pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Jadi saya penasaran, kenapa begitu penting kesetaraan gender dalam hal pendapatan bagi dunia hingga Unesco mengganggap serius masalah ini. Ini yang saya temukan:

Sejarah Patriaki dan Masalah yang Ditimbulkannya

Budaya patriaki berkembang dari jaman yang sangat tua, jaman pembentukan budaya. Wanita yang harus melahirkan dan beristirahat, tidak bisa selalu pergi berburu dan mengumpulkan makanan sekaligus berperang melawan kawanan lain yang menyerang di tengah jalan. Para tetua memutuskan agar hanya pria yang berlatih berperang, berburu dan dan mengumpulkan makanan. Wanita berlatih skill yang berguna membantu ketahanan kawanan seperti memasak dan mengasuh anak. Hal ini berfungsi dengan sangat baik saat itu. Bahkan mungkin satu-satunya solusi saat itu. Beberapa wanita (mungkin juga banyak) yang punya passion selain memasak dan mengasuh anak hanya bisa pasrah. Toh keadaan tidak memungkinkannya untuk mengeksplor passion-nya.

Sayangnya ketika situasi yang memaksa wanita untuk hanya bisa memasak dan mengasuh anak berakhir, patriaki tetap dipertahankan. Seiring waktu, fungsi patriaki pun bergeser dari "biar keberlangsungan hidup kelompok bertahan" menjadi "Lelakilah yang harus mencari makanan. Itu sudah kodratnya dari sang Pencipta". Kali ini tidak harus selalu berburu dan berperang dengan kawanan lain, melainkan hanya duduk di meja yang nyaman selama beberapa jam sehari, sesuatu yang juga tidak berbahaya bagi ketahanan kelompok, jika wanita yang nantinya harus melahirkan dan beristirahat ini melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun