"Thrifting" tidak lagi hanya untuk orang yang hemat.
Pertumbuhan industri penjualan kembali telah meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir. Empat puluh persen dari 18 hingga 24 tahun berbelanja barang bekas atau second-hand pada tahun 2017 menurut thredUp, toko barang bekas online terbesar di dunia.Â
Dengan meningkatnya konsinyasi, penjualan prevoled online, dan toko barang bekas yang saat ini beroperasi, meningkatkan pilihan bagi konsumen produk second-hand.Â
Dalam ketidakpastian ekonomi, banyak orang akan beralih ke barang second-hand. Tren belanja barang brand mahal berkurang drastis sejak Covid.Â
Sebanyak 88% konsumen mengadopsi hobi thrifty baru selama pandemi dan diperkirakan akan berlanjut lama ke depan. Gaya hidup hemat yang kini banyak dipandang sebagai ukuran kreativitas, bikin tren barang bekas makin kuat.
Pergeseran Stigma
Para ahli yakin bahwa pertumbuhan industri second-hand sebagian disebabkan oleh perubahan sikap terhadap pembelian bekas, khususnya selama Resesi Hebat yang dimulai pada tahun 2008.Â
Selama periode waktu ini, banyak orang terpaksa mengadopsi langkah-langkah berhemat, yang mungkin telah membantu bingkai belanja barang bekas sebagai hal yang masuk akal daripada putus asa, dan mengurangi stigma yang melekat padanya.
Selain itu, konsumen sekarang lebih sadar dari sebelumnya tentang dampak etika dan lingkungan yang terkait dengan barang dan jasa yang mereka beli. Menurut thredUP, 77 persen generasi milenial lebih suka membeli dari merek yang sadar lingkungan. Karena eco-fashion sering kali keluar dari anggaran milenial, hal terbaik berikutnya adalah menggunakan keterampilan hemat yang berguna itu.
Belanja barang bekas juga melengkapi tren sosial yang lebih besar. Bagi mereka yang ingin menjalani gaya hidup ramah lingkungan, membeli barang bekas adalah cara paling mudah untuk menerapkan manfaat penggunaan kembali dan daur ulang pada fesyen.Â
Gerakan Do-It-Yourself, atau "DIY," mendorong banyak akal daripada membeli yang baru. Toko barang bekas adalah sekutu alami DIY-er, yang berfungsi sebagai sumber berharga dan terjangkau untuk bahan yang dibutuhkan untuk proyek ini.
Untuk para fashionista di seluruh dunia, "one of a kind princess" adalah mereka yang fit dengan setiap jenis pakaian, mau bekas kek... branded kek... ga masalah. Lebih sering daripada tidak, barang-barang keren dan trendi biasanya datang dengan harga yang mahal dan bisa menguras kantong.Â
Ini adalah keputusasaan utama bagi para fashionista dengan anggaran terbatas. Untungnya, toko barang bekas menawarkan unsur pakaian yang unik, trendi, dan berkualitas dengan harga yang lebih murah daripada Retail.
Seperti kebanyakan hal di abad 21, belanja barang bekas dapat dilakukan secara online melalui toko konsinyasi digital seperti thredUP, ada Tokopedia di Indonesia, maupun instagram. Padahal, 60 persen konsumen mengatakan mereka lebih suka membeli barang bekas secara langsung.
Gen Z dan Gen Y, kabarnya, lebih peduli tentang perubahan iklim dibandingkan dengan generasi yang lebih tua.Â
Menurut laporan "The State of Fashion 2019" oleh McKinsey, "Sembilan dari sepuluh konsumen Generasi Z percaya bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mengatasi masalah lingkungan dan sosial."Â
Dalam industri fesyen, banyak merek terpanas di pasar, seperti Reformation dan Everlane, adalah merek yang berusaha untuk memperlakukan pekerjanya secara etis, untuk meminimalkan konsumsi sumber daya seperti air, dan untuk mengurangi dampak lingkungannya dengan menggunakan kain daur ulang dan metode produksi yang tidak terlalu beracun.Â
Namun, merek-merek yang etis ini seringkali jauh lebih mahal daripada merek fast-fashion. Oleh karena itu, toko barang bekas menjadi surga bagi konsumen yang sadar lingkungan dan etis yang tidak memiliki sumber daya untuk beli merek tersebut.
Fast-fashion Vs Tanggung Jawab Konsumen
Meskipun permintaan akan gerai barang bekas mungkin telah meningkat sebagai akibat dari pergeseran budaya yang lebih baru, pasokan pakaian untuk mengisi rak tidak selalu berkurang.Â
Orang sekarang membeli lebih banyak pakaian daripada sebelumnya, sebagian besar karena fesyen saat ini jauh lebih murah daripada di masa lalu.Â
Semakin banyak kita membeli, semakin cepat kita perlu memberi ruang di lemari kita, yang berarti semakin banyak yang perlu kita singkirkan seiring berlalunya musim fesyen.
Model "fast-fashion" ini terdengar seperti konsep yang bagus, tetapi sangat berbahaya bagi lingkungan. Produksi pakaian menggunakan sumber daya yang sangat besar. Misalnya, 700 galon air digunakan untuk membuat satu kaos katun saja! Karena kualitas pakaian bukanlah yang terbaik, dan konsumen membeli pakaian lebih cepat, sejumlah besar tekstil berakhir di tempat pembuangan sampah setiap tahun.Â
Faktanya, 26 miliar pon pakaian dan tekstil berakhir di tempat pembuangan sampah setiap tahun, miris sebenarnya karena sekitar 95 persen sampah fesyen tersebut dapat digunakan kembali atau didaur ulang, alih-alih 5% saja yang didaur ulang. Tapi daur ulang juga memerlukan energi, artinya pelepasan karbon yang banyak juga.
Cara paling efektif mencegah pakaian menuju ke tempat sampah dan merusak lingkungan adalah dengan tidak beli terlalu banyak, dan belajarlah untuk merawat pakaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H