Dalam laporan berjudul Global strategy to reduce the harmful use of alcohol peneliti WHO mengemukakan bahwa kebijakan alkohol tidak boleh bersifat memaksa sebaliknya hanya menyarankan karena kebijakan alkohol yang bersifat memaksa hanya akan menciptakan pertentangan dalam masyarakat yang berujung korupsi, kekerasan, peningkatan orang dengan adiksi baru dan penyakit sosial lainnya. Untuk itu, disarankan agar sebuah kebijakan alkohol secara seksama memperhatikan kepentingan masyarakat yang menerima kebijakan dan dikaji secara ilmiah.
Tidak semua konsumen minol menjadi adiksi dan menimbulkan banyak masalah, melarang konsumsi minol bagi konsumen kategori ini hanya akan menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks dibanding dengan mencari jalan tengah agar mereka dapat mengkonsumsi minol tapi tidak merasa tertekan yang berakibat muncul masalah baru. Pengambil kebijakan juga disarankan menciptakan kebijakan yang menciptakan tren bahwa minol merupakan minuman yang tidak "trendi" dan bukan merupakan sebuah kebutuhan primer bagi konsumer. Â Seperti contoh tren di beberapa komunitas, "anak muda kalo ga minum ga gaul"; atau tren "minum minol biar keliatan dewasa"; atau "minol itu tanda kebersamaan"; dsb. Kebijakan yang diambil haruslah dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan ketersediaan infrastruktur, karena sebaik apapun kebijakan minol maupun kebijakan terhadap adiksi lainnya tidak akan berjalan dengan baik tanpa dibarengi tingkat kesejahteraan masyarakat yang cukup dan ketersediaan infrastruktur.
Sebagai contoh adalah Perda Provinsi Papua No. 15 2013 Â tentang Pelarangan Peredaran Minuman Keras yang ejekan terhadapnya semakin keras akhir-akhir ini saat RUU Minol ingin dimasukan ke dalam Prolegnas. Pasalnya, sudah tujuh tahun "pelarangan total" tapi minol ilegal masih saja beredar bak jamur di mana-mana di seantero Papua, baik oleh masyarakat sipil bahkan aparatur negara seperti oknum TNI dan Polisi. Konsumennya pun tidak sedikit di jalanan tanpa adanya sanksi jelas yang sesuai Perda tersebut. Sampai yang terparah adalah kasus kecelakaan kendaraan oleh seorang Wakil Bupati yang mengemudi dalam keadaan mabuk belum lama ini. Mereka yang terimbas masalah oleh minol seperti kecelakaan kendaraan, KDRT, dan masalah sosial lainnya pun melontarkan ejekan seperti: Â "larangan bagi yang tidak bayar japre (jatah preman) kepada polisi"; atau "larangan tidak berlaku bagi TNI/Polri"; "larangan omong kosong".
"Pelarangan total" Perda tersebut jelas menjadi kebijakan yang tidak berjalan baik karena tidak dikaji dengan seksama sesuai anjuran WHO, alasannya :
- Pertama dan yang paling utama adalah karena tidak dibarengi dengan angka kesejahteraan masyarakat Papua, di mana IPM masyarakat Papua yaitu hanya sebesar 60,06 dan merupakan yang terendah dibanding provinsi lain di Indonesia. Dalam laporan berjudul The economics of alcohol policy, peneliti WHO menekankan pentingnya memperhatikan angka Indeks Pembangunan Manusia sebagai indikator utama tingkat kesejahteraan, semakin rendah IPM maka semakin rendah kepatuhan masyarakat akan larangan minol, pelarangan total hanya akan memperbanyak masalah sosial, seperti hilangnya kepercayaan masyarakat, korupsi dan meningkatnya angka konsumen adiktif.
- Tidak tersedianya infrastruktur yang mumpuni. Perda larangan minol membutuhkan Infrastruktur seperti pusat rehabilitasi, birokrasi yang bersih, tempat minum dan standar pelayanannya, petugas pengawas yang mumpuni, pemberdayaan produsen lokal dalam menunjang ekonomi masyarakat, serta infrastruktur terkait lainnya yang belum dimiliki oleh provinsi Papua.
Kita semua memuji dan menghargai niat baik dari Pemda Provinsi untuk membangun Papua ke arah yang jauh lebih baik dari hari ini, untuk itu diharapkan adanya pengkajian ulang terhadap kebijakan Perda No.15 2013 bagi masyarakat Papua dan lebih luasnya RUU Minol bagi seluruh masyarakat Indonesia. Larangan penuh yang hanya didampingi cerita panasnya neraka semata tanpa kajian ilmiah, terbukti gagal di berbagai belahan dunia dalam berbagai masa. Untuk itu diharapkan agar pengambil kebijakan tidak mengulangi kegagalan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H