Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal KB, Ide Paling Tidak Kontroversial yang Menjadi Sangat Kontroversial

25 Oktober 2020   13:46 Diperbarui: 31 Oktober 2020   16:45 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelompok Diskusi Tribina Kampung Bagaraga (dokpri)

Tahun ini, jika dipikirkan, lebih dari satu miliar pasangan melakukan hubungan seksual. Ide saya begini, semua pasangan ini seharusnya bebas memutuskan apakah mereka ingin mempunyai anak atau tidak, terutama perempuan, mereka adalah yang paling terkena dampak dari sebuah kehamilan dan membesarkan anak. Mulai dari mengandung, wanita harus menanggung rasa sakit, resiko penyakit, lebih buruk lagi kematian  yang harus ditanggung selama masa kehamilan dan proses melahirkan. 

Belum lagi dampak budaya patriaki yang masih berakar dalam masyarakat kita yang menuntut seorang ibu untuk mengurus hampir semua kebutuhan anak setiap hari. Mulai dari memandikan, ganti popok, menjaga anak bermain, menenangkan saat mengangis dan banyak lainnya. 

Ayah tidak bisa terlalu disalahkan karena harus menghabiskan banyak waktu untuk bekerja menafkahi keluarga. Dan Tanpa perencanaan ber-KB, ayah harus ekstra kerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena itu, pasangan ini seharusnya dapat menggunakan salah satu metode kontrasepsi yang tersedia, tergantung pada keputusannya masing-masing.

Dan saya rasa akan susah sekarang untuk menemukan orang yang tidak setuju dengan kontrasepsi, lebih dari 1 miliar orang menggunakan alat dan pil kontrasepsi tanpa ragu-ragu di seluruh dunia. 

Di Indonesia lebih dari 10 juta pengguna alat dan obat KB (Keluarga Berencana), dikutip dari data aplikasi SIGA BKKBN. Bahkan Indonesia baru saja mencetak rekor MURI, menorehkan pelayanan sejuta akseptor KB dengan jumlah akseptor lebih dari 1 juta dalam waktu sehari pada 29 Juni 2020. 

Ini menjadi sebuah barometer bahwa masyarakat kini ingin mempunyai kontrol dalam perencanaan keluarganya dan untuk membesarkan keluarga yang lebih sehat, pandai, dan sejahtera.

Sayangnya, untuk sebuah ide yang dapat diterima masyarakat luas secara personal, KB menimbulkan banyak tentangan dalam ranah publik. Beberapa orang memandang kontrasepsi sebagai sebuah kode tentang aborsi, yang sesungguhnya bukan. Beberapa orang -- mari kita jujur -- tidak nyaman dengan topik ini karena berhubungan dengan seks. Seks masih merupakan bagian yang tabu untuk diperbincangkan. 

Beberapa lagi khawatir jika tujuan asli dari perencanaan keluarga adalah untuk pengontrolan populasi. Ini semua masalah sampingan yang melekat pada ide awal di mana pria dan wanita seharusnya bisa memutuskan kapan untuk mempunyai anak. Alhasil, KB pernah sirna dari agenda kesehatan global pada tahun 2012. Kini, meski telah kembali ke dalam agenda kesehatan global, korban dari masalah sampingan ini masih saja ada. 

Dan solusinya mungkin bisa ditemukan dari sebuah pembelajaran melalui sejarah dalam buku "Factfulness" oleh Hans Rosling. Selama 250 tahun, orang tua di seluruh dunia sedikit demi sedikit memutuskan untuk punya keluarga kecil. 

Tren ini konstan selama seperempat milenia, di berbagai kebudayaan di berbagai tempat, dengan pengecualian wilayah sub Sahara Afrika dan Asia Selatan. Prancis mulai mengurangi ukuran keluarga di tengah tahun 1700-an. Selama 150 tahun berikutnya, tren ini menyebar di seluruh Eropa. 

Mereka yang bicara satu bahasa melakukan perubahan secara bersamaan. Mereka membuat keputusan yang sama dalam keluarga, baik mereka kaya ataupun miskin. 

Alasan tren keluarga kecil menyebar adalah karena satu ide yang menggerakkannya -- bahwa pasangan memiliki kontrol terhadap jumlah anak yang akan mereka punya. Ini adalah ide yang sangat kuat. Ini berarti orang tua mempunyai kemampuan untuk merencanakan masa depan, dan tidak hanya pasrah pada keadaan. 

Di Prancis, ukuran suatu keluarga menurun tiap dekadenya selama 150 tahun berturut-turut sampai akhirnya stabil, berlangsung cukup lama karena kontrasepsi yang ada belum begitu bagus. 

DI Jerman, transisi ini bermula di tahun 1880an, hanya butuh 50 tahun untuk menstabilkan ukuran keluarga di negara itu. Di Asia dan Amerika Latin, transisi bermula di tahun 1960an, dan berlangsung lebih cepat karena kontrasepsi modern. 

Hal yang bisa dipelajari dari sejarah ini adalah bahwa para orang tua ingin ukuran keluarganya mengecil. Karena di berbagai tempat, sesungguhnya, mereka sudah menginginkan keluarga yang lebih kecil. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa wanita di daerah saya menginginkan sesuatu yang berbeda. 

Jika diberi pilihan, mereka akan memilih punya anak lebih sedikit. Pengalaman saya mungkin bisa mendukungnya. Tepat hari kemarin Jumat (23/10/2020), saya dan teman-teman dari DPPKB (Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana) Kab. Sorsel mengadakan sebuah diskusi kelompok bersama ibu-ibu dan kepala kampung di kampung yang bernama Bagaraga, Sorsel.

Kelompok Diskusi Tribina Kampung Bagaraga (dokpri)
Kelompok Diskusi Tribina Kampung Bagaraga (dokpri)
Kami berbincang dengan kelompok ibu-ibu yang ada di gambar. Mereka berbicara tentang keluarga, dan bagaimana rasanya menjadi seorang wanita di kampung tersebut. Mereka juga bicara tentang jenis kontrasepsi yang mereka gunakan. 

Yuli, yang berbaju batik cokelat dan sedang mengangkat mahkota kasuari ke kepalanya, merangkum keseluruhan diskusi yang berdurasi 2 jam tersebut dalam satu kalimat yang tidak akan saya lupakan. 

Katanya, "Saya ingin memberikan semua yang terbaik untuk anak saya sebelum yang berikutnya lahir." Dan saya pikir -- "Ini dia!"... Ini dia keinginan yang universal. Kita semua ingin memberikan yang terbaik bagi anak kita. Namun apa yang tidak universal adalah kemampuan kita untuk menyediakannya. 

Begitu banyak wanita jadi korban kekerasan rumah tangga. Mereka bahkan tidak boleh membicarakan kontrasepsi dalam keluarga. Banyak wanita yang tidak punya pendidikan dasar. Bahkan mereka yang terdidik dan punya kuasa dalam rumah tangga tidak punya akses KB.

Salah satu masalah yang sering saya temukan di keseharian adalah tipe kontrasepsi yang paling populer jarang tersedia. Kebanyakan wanita akan memberitahukan sedemikian kali bahwa mereka lebih memilih KB suntik dibanding kontrasepsi lainnya. 

Suntikan di lengan --dan mereka disuntik setiap 3 bulan jadi total 4 kali setahun. Mereka sangat menyukainya karena dapat disembunyikan dari suami, yang terkadang ingin punya banyak anak. Masalahnya adalah seringkali ketika mereka pergi ke klinik, stok suntikan habis. 

Jadi kita bisa bayangkan situasinya -- ia berjalan jauh untuk mendapat suntikan. Ia meninggalkan kebunnya, terkadang anak-anaknya, dan suntikannya habis. Ia tidak tahu kapan suntikannya tersedia lagi. Beberapa wanita di daerah saya, Papua, punya cerita yang sama.

Tidak hanya daerah saya, nyatanya saya menemukan masalah yang sama di seluruh dunia dalam data unmet need WHO 2019. Sebanyak 250 ribu wanita per tahun yang tidak ingin mengandung dan mereka meninggal ketika melahirkan. Ada lagi 900 ribu wanita per tahun yang tadinya tidak ingin hamil, dan mereka melahirkan, kemudian bayinya meninggal pada bulan pertama. Jumlah tersebut adalah jumlah yang terdata, diperkirakan masih banyak lagi keluarga di luar sana yang belum terdata unmet need-nya. 

Unmet need adalah kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi. Kondisi ini mengisyaratkan keinginan pasangan usia subur (PUS) terhadap suatu jenis alat kontrasepsi yang tidak tersedia sehingga mereka mengambil keputusan untuk tidak menggunakan alat atau metode kontrasepsi. Kita semua ingin menyelamatkan para ibu dan bayi ini. 

Satu cara yang paling simpel dan transformatif yang bisa dilakukan adalah memberikan akses metode KB pada semua orang untuk memastikan adanya otonomi reproduksi bagi setiap orang. Termasuk mengizinkan isteri ketika ingin menunda kehamilan. Dengan KB wanita lebih mempunyai persiapan yang baik dalam merawat keluarganya, sehingga menciptakan generasi penerus yang tangguh.

Setelah semua pemahaman akan pentingnya otonomi reproduksi bagi setiap pasangan, tidak menutup kemungkinan muncul pernyataan dari beberapa masyarakat dengan kebudayaan konservatif: "Boleh saja bicara tentang menyelamatkan nyawa dan pemberdayaan wanita. Namun seks itu sakral. Dan apa yang diusulkan KB akan memperbesar kemungkinan meningkatnya seks di luar nikah. Dan itu salah."

Saya akan bilang bahwa memang seks itu sakral. Sakral di Jerman, sakral di Amerika Serikat, sakral di Prancis dan di seluruh dunia. Fakta bahwa 98 persen wanita di negara-negara tersebut yang pernah berhubungan seksual mengatakan bahwa menggunakan KB tidak berarti seks jadi kurang sakral. KB berarti mempunyai pilihan akan hidup mereka. Saya pikir pilihan tersebut juga berarti menghargai kesakralan dari sebuah keluarga dan nyawa seorang ibu dan anak-anaknya. Bagi saya, menyelamatkan mereka juga merupakan hal yang sangat sakral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun