Mohon tunggu...
Dea NoviMahfiro
Dea NoviMahfiro Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah, FIB - Universitas Airlangga

--

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Buku "Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia", Karya Katharine E. McGregor

15 November 2020   11:51 Diperbarui: 16 November 2020   18:03 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia, Penerjemah: Djohana Oka, Penyunting: Rumekso Setyadi, Syarikat, Yogyakarta, 2008, xxvii+459 hlm, 21 cm.

Judul asli: History In Uniform: Military Ideology and The Construction of Indonesia’s Past, ISBN-10: 9971-69-360-7 (Paper), ISBN-13: 978-979-1287-01-2, 2007 by National University of Singapore, First published by NUS Press, Published by ASAA Southeast Asian Publication Series, Singapore

Rezim Suharto lebih dikenal dengan kepemimpinannya yang otoriter. Pengangkatan Panglima oleh Suharto pun dilakukan dengan semata-mata. Oleh sebab itu, rakyat berusaha untuk merombak dominasi militer dan  bereaksi terhadap kebiasaan Suharto yang menggunakan militer untuk menekan pihak lawan. Meski rakyat berkeinginan untuk mendobrak dominasi militer era Orde Baru, tapi dalam benak mereka telah tertanam presepsi bahwa pemimpin terbaik berasal dari background militer. Presepsi ini timbul dari kontruksi masa lampau yang dilakukan oleh rezim Orba dengan proyek-proyek sejarahnya.

Dalam menulis buku Ketika Sejarah  Berseragam, Katharine E. McGregor menggunakan “konsep representasi” untuk menekankan pengaruh masa kini dalam menyajikan kembali masa lampau. Selain itu, konsep ini memberikan perhatian kepada masalah siapa yang melakukan representasi. Di sini Katharine E. McGregor berupaya untuk mengungkap kisah-kisah dibalik proyek sejarah era Orba dan menjelaskan bagaimana militer menggambarkan sejarah Indonesia dalam berbagai media seperti museum, patung, film, narasi sejarah, dan lain sebagainya. Memang rezim Orde Baru ini dikenal sangat getol dalam menanamkan militerisasi pada sejarah Indonesia. Fokus utama Katharine E. McGregor adalah representasi dejarah yang dibuat oleh rezim Orba, dengan perbandingan pada sejarah Demokrasi Tepimpin dan masa-masa sebelumnya.

Susunan buku ini terdiri dari 6 BAB Pembahasan yaitu: Sejarah dalam Pengabdian Kepada Rezim yang Otoriter, Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, Sejarah untuk Membela Rezim Orde Baru, Mengkonsolidasi Kesatuan Militer, Mempromosikan Militer dan Dwifungsi Kepada Masyarakat Sipil, Menetapkan Tradisi Kemiliteran dan Musuh-Musuh Negara.

Bagian I: Sejarah dalam Pengabdian Kepada Rezim yang Otoriter, mengambarkan bagaimana penulisan sejarah Indonesia era Orde Baru didominasi oleh kekuatan militer. Rezim Orde Baru menggunakan sejarah sebagai alat legitimasi kekuasaannya. Contoh nyata dominasi militer dalam sejarah nasionalis pada rezim ini adalah pengangkatan Nugroho Notosusanto. Dia mengambilalih Museum Sejarah Monumen Nasional pada tahun 1968. Dia merevisi versi asli Demokrasi Terpimpin pada gambaran-adegan di museum tersebut. Dari sini mulai tampak penonjolan kekuatan militer, komitmen pada Pancasila dan perlunya peran militer yang kuat dalam mengamankan dan melindungi bangsa.

Bagian II: Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, bab ini mengenalkan sosok Nugroho Notosusanto sebagai salah seorang propagandis paling penting pada rezim Orde Baru. Dia diangkat oleh Jendral A. H. Nasution menjadi Kepala Pusat Sejarah ABRI (1965-1985). Proyek militer pertama yang digarap oleh Nugroho Notosusanto adalah Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata Bangsa Indonesia. Proyek garapan ini bertujuan untuk membela versi militer yang menyatakan bahwa Peristiwa Madiun 1948 adalah suatu pemberontakan  komunis.

Bagian III: Sejarah untuk Membela Rezim Orde Baru, menggambarkan bagaimana peran Pusat Sejarah ABRI dalam menyajikan tafsiran resmi militer atas kudeta 1965 (penculikan dan pembunuhan terhadap 6 Jendral dan seorang letnan) oleh PKI. Tujuan aksi propaganda ini adalah untuk mengarahkan opini masyarakat supaya menentang PKI dan berpihak pada Angkatan Darat. Propaganda ini juga memuluskan jalan rezim Orde Baru dalam memperoleh legitimasi kekuasaan dari masyarakat. Bentuk kegiatan propaganda ini berupa pembuatan film dokudrama, pembanguna museum Lubang Buaya (lokasi pembantaian korban kudeta 1965), upacara Hari Kesaktian Pancasila, dan narasi-narasi sejarah yang diproduksi rezim Orde Baru.

Bagian IV: Mengkonsolidasi Kesatuan Militer, menggambarkan bagaimana militer menggunakan sejarah Indonesia untuk mengkonsolidasi persatuan maupun menanamkan legitimasi dwifungsi pada masyarakat, khususnya generasi mudanya. Tujuan militer melakukan hal ini bertumpu pada peran militer dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949. Perpecahan yang ada di antara dan di dalam Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian disatukan kembali dengan berdirinya Museum  Angkatan Bersenjata Satria Mandala oleh Pusat Sejarah ABRI.

Bagian V: Mempromosikan Militer dan Dwifungsi Kepada Masyarakat Sipil, membahas proyek dari Nugroho Notosusanto selama menjabat sebaga Menteri Pendidikan yaitu Buku Sejarah Nasional yang diterbitkan pada akhir tahun 1970-an dan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Nugroho Notosusanto mengacu pada gambaran-gambaran perang kemerdekaan untuk meningkatkan rasa hormat pada militer dan nilai-nilai militer.

Bagian VI: Menetapkan Tradisi Kemiliteran dan Musuh-Musuh Negara, mengambarkan bagaimana keberlanjutan Pusat Sejarah ABRI setelah wafatnya Nugroho Notosusanto pada tahun 1985. Dalam bab ini disebutkan tema-tema baru dan tema daur ulang dari proyek sebelumnya. Orde baru terus berupaya menanamkan legitimasinya pada benak-benak masyarakat melalui sejarah.

Buku ini menjadi pilihan yang pas untuk mengetahui dan menganalisis bagaiman sejarah dituliskan pada masa Orde Baru. Kekuatan lain dari buku ini adalah bagaimana penulis memaparkan secara gamblang mengenai historiografi Indonesia yang dijadikan alat legitimasi kekuasaan era Orde Baru. Namun, karya ini lebih banyak menyudutkan pemerintah dan kurang menekankan bagaimana reaksi masyarakat terhadap upaya legitimasi yang dilakukan rezim Orde Baru melalui historiografi Indonesia. Buku ini saya rekomendasikan bagi kalian yang sedang mencari tahu, mendalami, dan memahami historiografi yang tidak hanya dijadikan sebagai tulisan sejarah, tapi juga sebagai alat legitimasi suatu pemerintahana atau rezim yang berkuasa.

Dea Novi Mahfiro, Mahasiswa Ilmu Sejarah, FIB -- Universitas Airlangga, Surabaya

deanovi62@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun