Mohon tunggu...
Putu Dea Nita Dewi
Putu Dea Nita Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Ganesha

Saya merupakan Mahasiswi dari program studi Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha. Saya memilki ketertarikan yang besar pada kegiatan menyurat Aksara Bali dan menyurat Lontar yang sudah saya tekuni sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saya juga sangat suka menulis dan hobi bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menapaki Makna dan Jejak Tradisi di Balik Hari Raya Nyepi: Sebuah Perayaan Introspeksi Diri dan Penyucian di Bumi Dewata

12 Maret 2024   10:14 Diperbarui: 12 Maret 2024   10:34 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah suasana hiruk pikuk dunia yang tiada henti, tradisi Nyepi di Bali bagaikan sebuah oase kedamaian yang menyejukkan jiwa. Tradisi Nyepi ini merupakan hari raya bagi masyarakat Hindu di Bali setiap Tahun Baru Saka yang jatuh pada sehari sesudah Tilem (bulan mati) Sasih Kesanga atau bulan kesembilan dalam kalender Bali. 

Di tahun 2024 ini, tepat pada tanggal 11 Maret masyarakat Hindu di Bali akan merayakan tradisi Nyepi ini dan pada saat itu seluruh wilayah Bali akan diselimuti oleh keheningan, di mana kesibukan duniawi terhenti sejenak untuk memberikan ruang bagi refleksi diri (Bhuana Alit) dan penyatuan dengan alam semesta (Bhuana Agung). 

Bagi masyarakat Hindu, perayaan Nyepi bukan hanya sekadar tradisi diam dan sunyi, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang penuh makna. Di balik keheningannya, terdapat berbagai untaian tradisi yang sarat akan makna dalam menyambut hari raya Nyepi ini, membingkai perjalanan spritual dan budaya masyarakat Hindu di Bali melalui pencerminan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal Bali.

1. Upacara Melasti
Sebelum menyambut Hari Raya Nyepi di tahun 2024 ini, umat Hindu di Bali akan melaksanakan Upacara Melasti atau disebut juga dengan Melis/Mekiis. Upacara Melasti ini biasanya dilaksanakan 3 hari sebelum Hari Raya Nyepi dan dilaksanakan di sumber mata air karena dalam kepercayaan Hindu, sumber mata air seperti laut, danau, atau sungai dianggap sebagai air kehidupan (tirta amerta). 

Melasti ini berasal dari kata "mala" dan "asti", dimana mala  artinya leteh/kotoran dan asti artinya melepaskan/memusnahkan. Sehingga, Upacara Melasti ini memiliki arti melepaskan dan memusnahkan segala bentuk kotoran yang ada di dalam diri manusia (Bhuana Alit) maupun yang ada di dunia (Bhuana Agung) agar dapat kembali suci secara lahir maupun batin.

 Mekiis/Melis/Melasti juga dapat bermakna pembersihan atau penyucian karena dalam Agama Hindu lambang pembersihan adalah "lis". Upacara Melasti ini juga dilakukan untuk penyucian benda sakral yang ada di pura ataupun merajan (tempat persembahyangan bagi Umat Hindu) seperti pratima ( simbol Dewa dan Dewi) dengan segala perlengkapannya, dimana pratima tersebut akan  diusung menuju sumber mata air. 

Sesampainya di sumber mata air para pemangku (orang suci) akan menghaturkan banten sebagai sarana upacara dan dilanjutkan mengambil air untuk disucikan. Kemudian akan dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan menyiratkan (membagikan) air yang telah disucikan untuk diminum sebanyak tiga kali kepada Umat Hindu yang hadir. Air suci tersebut juga digunakan untuk menyucikan pratima-pratima yang telah diusung ke sumber mata air.

2. Upacara Tawur Agung Kesanga
Sehari sebelum Nyepi tepatnya pada Tilem (bulan mati) Sasih Kesanga atau bulan kesembilan dalam kalender Bali yang jatuh pada tanggal 10 Maret 2024, masyarakat Hindu akan melaksanakan salah satu ritual penting sebelum menyambut hari raya Nyepi yaitu dengan melaksanakan Upacara Tawur Agung Kesanga. Pelaksanaan Upacara Tawur Agung Kesanga ini memiliki makna yang filosofis, yang mana kata tawur berasal dari bahasa Jawa "menawur" yang berarti mengembalikan. 

Oleh sebab itu, upacara Tawur ini bermakna sebagai pengembalian sari-sari alam yang telah digunakan atau dimanfaatkan oleh manusia kepada Tuhan Yang Maha esa dan sekaligus menjadi proses penyucian diri dan pembersihan alam semesta secara niskala. Upacara Tawur Agung Kesanga ini akan dilakukan dengan melaksanakan kegiatan mecaru di catus pata (perempatan) desa yang dianggap sebagai tempat titik temu antar ruang dan waktu dan biasanya dilakukan pada pukul 12.00 tengah hari/tengai tepet. Kegiatan mecaru ini dilakukan untuk menciptakan keharmonisan dan keseimbangan antara alam semesta dan makhluk hidup secara lahir dan batin.

pejati-65efb929147093389e123333.jpg
pejati-65efb929147093389e123333.jpg
Sumber foto : Instagram.com/bantenbali8

Setelah Upacara Tawur Agung Kesanga di tingkat desa selesai, maka akan dilanjutkan kembali dengan Upacara Tawur di areal tempat tinggal. Adapun banten dan sesajen yang diperlukan untuk sarana upacara tawur ini yaitu dengan menghaturkan banten pejati di pelinggih atau padmasana (tempat suci pemujaan umat Hindu yang terletak di areal rumah tinggal) lalu menghaturkan segehan agung cacahan atau sesajen dengan jumlah 11 tanding (bagian) di lantai (natah) pelinggih atau padmasana, lalu menghaturkan sesajen atau segehan panca warna (5 warna) sebanyak 9 tanding (9 bagian) dengan dilengkapi tuak, arak, canang sari dan tirta (air suci) lalu dihaturkan di halaman tempat tinggal dan selanjutnya menghaturkan segehan atau sesajen nasi cacah 108 tanding (108 bagian) dengan daging jeroan babi mentah dan dilengkapi tuak, arak, tirta, serta canang sari yang dihaturkan di luar pintu masuk tempat tinggal.

Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sumber foto : dokumentasi pribadi
Kemudian juga mendirikan sanggah cucuk (sarana upakara yang terbuat dari ulatan bambu berbentuk persegi dan disangga oleh bambu yang dibelah empat) dan diletakkan di sebelah kanan pintu masuk serta  disini  juga diletakkan sarana upacara seperti daksina, tipat kelanan, dan peras. Upacara ini dilakukan saat peralihan waktu sore menuju malam hari (sandya kala), dimana Upacara Tawur ini adalah sebagai simbol memberikan suguhan kepada para Bhuta Kala (kekuatan negatif) agar nantinya tidak mengganggu pelaksanaan Hari Raya Nyepi serta juga memohon pada Tuhan Yang Maha Esa untuk kedamaian alam dan lingkungan.

3. Pengerupukan

Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sumber foto : dokumentasi pribadi
Setelah kegiatan upacara Tawur Agung Kesanga selesai, pada hari yang sama  akan dilanjutkan dengan kegiatan ngerupuk atau pengerupukan yang dilaksanakan saat peralihan waktu sore menuju malam hari (sandya kala). 

Pada prosesi pengerupukan ini masyarakat Hindu di Bali akan mengelilingi area tempat tinggal atau lingkungan sekitarnya dengan menghidupkan sumber api yang nantinya digunakan untuk mengasapi area lingkungan rumah dan biasanya menggunakan daun kelapa kering yang dibakar, serta menebar nasi tawur dan tirta ( air suci) caru di lingkungan sekitar  dan juga diiringi dengan memukul  benda-benda yang ada seperti kaleng atau kentungan sehingga mengeluarkan bunyi gaduh dan selanjutnya masyarakat Hindu akan melempar atau menaburi rumah dengan biji beras kuning. 

Hal tersebut tidak lain bertujuan untuk  mengusir para Bhuta Kala (sesuatu yang negatif) dari pekarangan dan bilik-bilik rumah agar kembali ke tempat asalnya dan tidak menggangu kehidupan manusia. Prosesi Pengerupukan ini menjadi hal simbolis yang telah diyakini umat Hindu Bali dalam menetralisir pengaruh buruk yang lekat dengan sifat Bhuta Kala (kekuatan negatif).

Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sementara di tingkat desa, prosesi pengerupukan akan disertai dengan arak-arakan ogoh-ogoh mengelilingi desa pada waktu sore menjelang malam hari (sandya kala) yang juga diiringi bunyi-buyian keras seperti gong baleganjur dan kulkul serta obor yang merupakan bagian dari kepercayaan untuk mengusir kekuatan jahat. 

Ogoh-ogoh ini merujuk pada patung dalam kebudayaan Bali yang mempresentasikan kepribadian para Bhuta Kala (kekuatan negatif). Sosok ogoh-ogoh yang berukuran besar, rambut berantakan dan menakutkan ini melambangkan elemen dan sifat-sifat buruk seperti kerakusan dan amarah yang harus dihancurkan agar dapat mencapai keharmonisan dalam kehidupan. 

Jadi, setelah ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa maka ogoh-ogoh tersebut akan dibakar, sebagai sebuah simbolisasi bahwa Bhuta Kala telah dikembalikan ke tempatnya masing-masing agar tidak menggangu kehidupan manusia. Pawai ogoh-ogoh ini juga menjadi daya tarik wisata di Bali, karena tidak sedikit wisatawan yang sengaja datang ke Bali untuk melihat langsung pawai ogoh-ogoh.

Sumber foto : YouTube.com/bali trip channel
Sumber foto : YouTube.com/bali trip channel
Selain  tradisi ogoh-ogoh, juga terdapat tradisi unik yang dilakukan pada saat pengerupukan yaitu perang api atau mebuu-buu yang dilaksanakan di Desa Unggahan, Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali. Tradisi dilaksanakan pada sore hari di pusat desa setelah kegiatan mencaru selesai. 

Sarana yang digunakan dalam tradisi mebuu-buu ini  adalah daun janur yang sudah kering kemudian diikat sebesar paha orang dewasa dan di bakar. Lalu, orang yang membawa daun janur kering tersebut akan mulai melakukan perang terhadap warga lainnya dengan mencari lawan yang memiliki ukuran ikatan daun janur kering yang sama dan tradisi mebuu-buu akan berakhir saat api sudah mati. 

Tradisi sakral ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif agar tidak mengganggu saat Hari Nyepi dan juga untuk mengendalikan sifat ego serta memupuk rasa persaudaraan antar sesama.

Selain melaksankan kegiatan Upacara masyarakat Bali juga memiliki kebiasaan membuat kue ataupun makanan untuk memperingati hari Pengerupukan ini, seperti halnya masyarakat Hindu di Desa Sukasada, Buleleng yang juga memiliki kebiasaan untuk membuat kue di hari Pengerupukan ini. 

Sumber foto : grid.id
Sumber foto : grid.id
Kue tersebut dinamai dengan kue Pulung Nyepi yang terbuat dari tepung beras dan tepung kanji yang dikukus lalu dibentuk bulat agak lonjong dan di rebus.  Kue Pulung Nyepi ini akan disajikan dengan sedikit kuah dari rebusan gula aren dan jahe serta ditaburi dengan parutan kelapa muda. Secara filosofi, kue Pulung Nyepi ini bukan hanya sekadar camilan biasa, melainkan simbolisasi harapan, kesucian, kebersamaan, dan tradisi yang diwariskan turun temurun dalam budaya Bali. Selain membuat kue, umat Hindu juga kerap membuat masakan seperti lawar untuk menyambut perayaan Hari Raya Nyepi.  

Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sumber foto : dokumentasi pribadi
Lawar ini merupakan makanan yang terbuat dari daging yang dicincang halus dengan campuran rempah-rempah serta sayuran seperti kacang panjang, kelapa parut, dan nangka muda. Dalam pembuatan lawar juga kerap ditambahkan darah dari hewan yang digunakan dan bahan-bahan tersebut akan dicampur hingga merata. 

Penamaan pada lawar ini pun juga disesuaikan dari bahan yang digunakan mulai dari lawar nangka, lawar babi, hingga lawar ayam. Dengan bercampurnya unsur tanaman sayur, bumbu-bumbu dan daging, lawar mewakili keberagaman dan kehidupan sehingga lawar memiliki memiliki makna sebagai sebuah keharmonisan dan keseimbangan yang bersatu dalam menjalankan kehidupan.

4. Hari Raya Nyepi
Setelah dilaksanakannya berbagai kegiatan upacara, maka tepat pada tanggal 11 Maret 2024 ini yaitu pada tanggal 1 sasih Kedasa (bulan kesepuluh dalam kalender Bali) masyarakat Hindu di Bali akan merayakan Hari Raya Nyepi di Tahun Baru Saka 1946 . Nyepi ini memiliki filosofi penyucian Bhuana Alit (manusia/diri sendiri) dan Bhuana Agung (alam dan seluruh isinya). Nyepi mengandung arti sepi atau sunyi sehingga pada saat Nyepi khususnya di Bali, semua dalam keadaan sepi dan tidak ada aktifitas seperti biasanya. 

Hari Raya Nyepi ini juga menjadi momentum penting bagi umat Hindu, karena apa yang telah dialami dan diperbuat oleh umat Hindu pada tahun sebelumnya diingat, direnungkan, dan dipertimbangkan kembali pada Hari Raya Nyepi ini. Dari hal tersebut umat Hindu dapat melakukan introspeksi diri atas segala kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat untuk memulai merangkai rencana-rencana yang perlu dilaksanakan di masa yang akan datang.


Dalam perayaan Nyepi ini seluruh umat Hindu juga diajarkan untuk mampu melakukan pengendalian diri dengan cara tidak berpergian, tidak beraktivitas dan berpuasa. Pengendalian diri ini dilakukan dengan cara melaksanakan Catur Brata Penyepian berupa empat pantangan yang harus dilakukan selama perayaan Hari Raya Nyepi ini dan dilaksanakan tepatnya pada paruh terang pertama masa kesepuluh/panaggal sasih kadasa. 

Pelaksanaan Catur Brata Penyepian akan dilaksanakan selama 24 jam dari  pukul 05.00 pagi sampai pukul 05.00 pagi keesokan harinya, dengan melakukan beberapa hal antara lain Amati Geni yaitu dilarang menghidupkan api (geni)/sumber pencahayaan termasuk api nafsu, sehingga bermakna melakukan pengendalian diri dari segala bentuk angkara murka, Amati Karya yaitu tidak melakukan kegiatan fisik atau pekerjaan dan yang terpenting adalah melakukan aktivitas rohani untuk pennyucian diri serta perenungan diri, Amati Lelungan dapat diartikan tidak bepergian kemana-mana, sehingga pada perayaan Hari Raya Nyepi ini masyarakat Hindu diharapkan senantiasa melakukan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan dalam berbagai prabawa-Nya (perwujudan-Nya) dan terdapat pula Amati Lelanguan yang bermakna untuk tidak mengadakan hiburan atau segala bentuk kesenangan duniawi termasuk tidak makan dan tidak minum (berpuasa), melainkan diharapkan masyarakat Hindu untuk tekun melakukan intropeksi diri agar dapat mencapai produktivitas rohani yang tinggi.

5. Ngembak Geni
Setelah seluruh masyarakat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian maka keesokan harinya setelah Nyepi akan dilaksanakan kegiatan Ngembak Geni dan menjadi penutup dari rangkaian Hari Raya Nyepi. Ngembak Geni sendiri terdiri dari kata ngembak yang artinya 'bebas' dan geni yang artinya 'api'. Jadi, Ngembak Geni ini memiliki makna bebas menyalakan api yang menandakan bahwa umat Hindu dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Pada saat kegiatan Ngembak Geni ini umat Hindu juga akan melaksanakan persembahnyangan dan Sima Krama ( bersilaturahmi ke rumah sanak keluarga , teman ataupun tetangga) untuk saling mengucapkan syukur dan saling maaf memaafkan atas segala kesalahan yang telah atau mungkin terjadi sebelumnya. 

Kegiatan saling memaafkan tersebut dilakukan dengan memegang teguh prinsip Tat Twam Asi, yaitu "aku adalah engkau dan engkau adalah aku", dimana posisi manusia adalah sama dan setara di hadapan Tuhan walaupun berbeda keyakinan, hendaknya manusia dapat hidup rukun dan damai serta dapat memulai hidup baru di Tahun Baru Saka 1946 ini dengan hati yang bersih. Selain melakukan Sima Krama, di beberapa daerah di Bali juga melaksanakan tradisi yang telah dilakukan turun temurun pada saat kegiatan Ngembak Geni ini, seperti halnya tradisi unik di Kecamatan Banjar dan  yang terdapat di Desa Adat Kedonganan, Kabupaten Badung.

Sumber foto : Instagram.com/baliairportshuttles
Sumber foto : Instagram.com/baliairportshuttles
Saat kegiatan Ngembak Geni, masyarakat desa yang ada wilayah kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali akan melaksanakan tradisi nyakan diwang atau memasak di luar rumah dengan menggunakan tungku batu bata dengan kayu bakar. Tradisi nyakan diwang ini mulai dilaksanakan pada pukul 05.00 pagi sampai dengan pukul 07.00 pagi. Biasanya sembari menunggu makanan matang masyarakat akan saling mengunjungi dan menyapa tetangga satu sama lainnya sehingga tradisi ini menjadi perwujudan dalam menjalin hubungan persaudaraan antar sesama. 

Kegiatan nyakan diwang ini juga bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan lingkungan rumah dan dapur sehingga keharmonisan keluarga tetap terjaga. Tradisi nyakan diwang juga dilaksanakan sebagai rasa wujud syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena sehari sebelumnya masyarakat Hindu dapat menjalankan Catur Brata Penyepian.

Sementara itu, di Desa Adat Kedonganan, Kabupaten Badung masyarakatnya baik laki-laki maupun perempuan akan melaksanakan tradisi mebuug-buugan atau perang lumpur. Mebuug-buugan ini berasal dari kata "buug " yang dalam Bahasa Bali berarti lumpur. Jadi mebuug-buugan ini bermakna saling melakukan interaksi terhadap sesama dengan menggunakan lumpur, seperti hal nya saling mengoleskan lumpur atau melemparkannya kepada orang lain

Sumber foto : Instagram.com/punapibali
Sumber foto : Instagram.com/punapibali
Dalam tradisi mebuug-buugan ini kotoran dalam bentuk tanah atau lumpur divisualisasikan sebagai wujud Bhuta Kala atau roh jahat yang melekat dalam diri manusia, karena dalam kehidupan manusia tentu tidak terlepas dari pikiran, perbuatan, maupun perkataan yang kotor sehingga setelah kegiatan mebuug-buugan selesai, para masyarakat akan bersama-sama membersihkan diri di laut sebagai simbol pembersihan fisik. 

Akhir dari tradisi mebuug-buugan ini adalah sembahyang bersama di Pura Segara Kedonganan, dimana Pemangku ( orang suci) akan memercikkan air suci (tirta) kepada semua orang, dimana percikan tirta itu adalah sebuah simbol menyucikan diri secara spiritual. Jadi tujuan utama dari tradisi mebuug-buugan ini adalah untuk menetralisir dari hal-hal atau sifat buruk yang selama ini melekat pada tubuh manusia serta juga untuk memohon anugerah kepada Tuhan Yang Maha Esa agar umat manusia diberikan kesejahteraan serta keselamatan secara lahir dan batin.

Nyakan diwang dan mebuug-buugan menjadi tradisi unik yang mewarnai perayaan Nyepi di Bali, kegiatan ini bukan hanya sekadar tradisi saja melainkan warisan budaya yang sarat makna dan nilai luhur. Pelaksanaan tradisi ini juga menjadi implementasi dari filosofi Tri Hita Karana, yaitu pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, dengan sesama manusia, dan dengan alam.


Rangkaian Hari Raya Nyepi yang begitu sakral bagaikan simfoni magis yang penuh makna, menjembatani manusia untuk menjaga, merawat dan menyeimbangkan diri dengan alam semesta karena masyarakat Bali percaya bahwa jika manusia merusak alam, maka suatu saat nanti manusia juga akan dibinasakan oleh alam. Dengan memahami makna dan esensi Nyepi, kita dapat memaknai kehidupan dengan lebih baik dan berkontribusi positif bagi terciptanya dunia yang lebih damai dan harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun