Mohon tunggu...
Deandra Mariana Khairunnisa
Deandra Mariana Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Deandra Mariana Khairunnisa, Program Studi Bioteknologi, Fakultas Teknobiologi, UNIKA Atma Jaya

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Protein darbepoetin-alfa buat anemia?! Kok bisa? Apasih itu?!

1 November 2024   15:50 Diperbarui: 1 November 2024   15:57 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografis Darbepoetin-alfa

Darbpoetin-alfa adalah protein terapetik sintetis yang dirancang secara khusus untuk mengobati anemia, terutama pada pasien yang mengalami penyakit ginjal kronis atau anemia yang disebabkan oleh kanker. Umumnya, protein alami pada ginjal yaitu eritropoietin dapat mengstimulasi produksi sel darah merah, namun untuk individu yang mengalami penyakit ginjal akan memiliki kuantitas eritropoietin yang lebih rendah dibandingkan individu yang sehat sehingga produksi sel darah merah pun juga menurun yang berujung pada anemia. Darbopoetin-alfa memberikan solusi bagi pengidap anemia dengan menggantikan eritropoietin, sistem kerjanya meliputi penempelan pada reseptor spesifik di sel prekursor darah merah yang berada di sumsum tulang belakang. Proses ini merangsang sel darah merah untuk tumbuh dan meningkatkan jumlah darah secara keseluruhan.

Darbopoetin-alfa memiliki waktu paruh yang lebih lama dibandingkan eritropoietin alami. Hal ini terjadi karena modifikasi pada darbopoetin-alfa melalui proses glikolisasi. Glikolisasi dapat didefinisikan sebagai penambahan molekul gula pada struktur protein. Modifikasi tersebut menguntungkan pasien dikarenakan obat tidak akan mudah terurai, memungkinkan pemberian dosis yang lebih sedikit namun tetap efektif sehingga memberikan solusi yang lebih praktis dan tahan lama bagi pasien yang membutuhkannya.


Darbepoetin-alfa dapat diproduksi dengan memanfaatkan teknik kloning menggunakan protozoa (organisme uniseluler dari kingdom protista) bernama Leishmania tarentolae, spesifiknya menggunakan strain T7-TR. Kloning sendiri merupakan proses yang menghasilkan salinan sekuens DNA, dimana pada kasus ini berupa DNA yang mengkodekan produksi protein darbepoetin-alfa untuk perbanyakannya. Sebelum memulai tahapan kloning, pertama-tama dilakukan proses optimasi kodon, yaitu proses dimana gen yang mengkodekan produksi Darbepoetin-alfa diambil dan dimodifikasi sesuai dengan sistem genetika sel inang (Leishmania tarentolae strain T7-TR) untuk mempermudah proses produksi protein yang diinginkan. Proses ini dilakukan melalui penyesuaian sekuens DNA dari gen Darbepoetin-alfa. Setelah itu, gen target diperbanyak (amplifikasi) dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Prosedur kloning kemudian dilakukan dengan memasukkan gen target (gen yang mengkodekan produksi Darbepoetin-alfa) ke dalam vektor. Vektor sendiri merupakan molekul DNA yang berperan sebagai perantara gen target ke sel inang yang akan digunakan. Proses ini dilakukan dengan menggabungkan gen target dengan vektor sehingga akan menghasilkan satu kesatuan sebelum dimasukkan ke sel inang, yang dapat dilakukan dengan bantuan enzim ligase untuk menyatukan kedua fragmen tersebut. Pada kloning ini, digunakan vektor berupa plasmid (DNA extrachromosomal/ di luar kromosom) pLEXSY-I-blecherry 3 untuk menjadi perantara antara gen target dengan sel inang. Produk dari proses ligasi atau penyatuan antara vektor dengan gen target ini kemudian disebut dengan istilah DNA rekombinan. Pada proses kloning, DNA rekombinan ini kemudian akan berperan sebagai template untuk produksi protein, salah satunya seperti Darbepoetin-alfa.


Setelah melalui proses pembuatan DNA rekombinan, kemudian akan dilakukan proses transfeksi, yaitu prosedur yang dilakukan untuk memasukkan DNA rekombinan ke dalam sel inang eukariotik. Proses ini dilakukan dengan memanfaatkan teknik elektroporasi, yaitu penggunaan kejutan listrik untuk membuka pori-pori sel inang sehingga vektor dapat masuk ke dalamnya. Setelah proses transfeksi, sel inang Leishmania tarentolae T7-TR kemudian ditumbuhkan pada media brain-heart infusion (BHI) untuk proses seleksi dari kloning transfeksi yang berhasil. Proses tersebut dapat dikatakan berhasil jika DNA rekombinan berhasil masuk ke dalam sel inang, serta berhasil membuat sel inang memiliki kemampuan untuk memproduksi protein target. Setelah ditumbuhkan selama tiga hari, kultur sel inang kemudian akan dipanen, lalu diuji untuk konfirmasi keberhasilan produksi Darbepoetin-alfa oleh sel inang. Pertama-tama, dilakukan uji ELISA, yaitu uji yang digunakan untuk mengukur konsentrasi dari protein darbepoetin-alfa yang diproduksi oleh sel inang. Prinsip dari uji ini adalah adanya interaksi antara protein Darbepoetin-alfa dengan antibodi spesifik yang berikatan dengan enzim. Karena antibodi merespon terhadap keberadaan protein secara spesifik, maka ikatan yang terjadi bersifat spesifik pula, dan akan menandakan keberadaan protein Darbepoetin-alfa pada sampel. Semakin banyak sinyal yang terbentuk akibat ikatan spesifik ini, semakin banyak pula protein yang terdapat dalam sampel. Setelah itu, dilakukan uji western blot untuk menganalisis ukuran dan keberadaan dari protein Darbepoetin-alfa. Terakhir, dilakukan pengecekan untuk melihat apakah gen target sudah terekspresikan (bekerja menghasilkan protein darbepoetin-alfa oleh sel inang dengan menggunakan real time (RT) PCR. Metode ini akan mengamplifikasi/ memperbanyak sekuens DNA spesifik dari sampel. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan gen sebagai sekuens DNA spesifik.


Setelah dipastikan bahwa Darbepoetin-alfa telah berhasil diproduksi, protein tersebut kemudian akan dipisahkan dari bagian sel lainnya, sebelum kemudian diuji aktivitasnya. Uji ini dilakukan pada tikus uji dengan melihat apakah Darbepoetin-alfa yang diproduksi dapat bekerja secara efektif dalam meningkatkan produksi sel darah merah dalam tikus tersebut.

Gambar 2  Ilustrasi prosedur kloning (Rosenberg & Rosenberg 2012).
Gambar 2  Ilustrasi prosedur kloning (Rosenberg & Rosenberg 2012).

Untuk memproduksi protein Darbepoetin-alfa, diperlukan teknik rekombinan  dengan menggunakan inang protozoa berupa Leishmania tarentolae dan vektor berupa pLESXY-I-blecherry3. Teknik rekombinan perlu dilakukan untuk memproduksi protein untuk membantu dalam memproduksi protein yang kompleks, dimana hal tersebut sulit didapatkan jika tidak menggunakan teknik rekombinan. Selain itu, penggunaan inang serta plasmid vektor membantu Darbepoetin-alfa untuk didapatkan pada skala yang cukup banyak dengan kemurnian yang tinggi.


Inang yang digunakan untuk memproduksi darbepoetin-alfa adalah Leishmania tarentolae, yang merupakan sebuah parasit bersifat non-patogenik dan secara umum sudah digunakan sebagai inang rekombinan untuk bidang biofarmasetika, sedangkan pLESXY-I-blecherry3 merupakan vektor yang memiliki sifat yang fleksibel, sehingga dapat dapat digunakan sebagai sarana untuk dilakukan transfeksi terhadap inang L. tarentolae. Plasmid tersebut memiliki sistem ekspresi yang khusus untuk tipe eukariotik, sehingga cocok untuk digunakan sebagai vektor memproduksi protein yang bersifat kompleks seperti Darbepoetin-alfa. Selain itu, pLESXY-l-blecherry3 memiliki selection markers seperti gen resisten antibiotik dan dapat memberi sinyal peptida yang memberi sinyal untuk Darbepoetin-alfa agar disekresikan ke medium kultur, dimana hal tersebut dapat membantu darbepoetin-alfa untuk lebih mudah dipanen dari kulturnya secara langsung.


Darbepoetin-alfa merupakan sebuah protein analog dari eritropoetin-alfa (EPO-), dimana Darbepoetin-alfa memiliki glycosylation yang lebih tinggi berupa situs N-linked glcosylation dibanding EPO natural yang dimiliki oleh manusia, sehingga membuatnya memiliki daya tahan dan kestabilan yang tiga kali lebih tinggi dibanding EPO-. Karena sifat Darbepoetin-a yang memiliki kadar glycosylation yang tinggi, maka protein tersebut memerlukan inang yang juga memiliki aktivitas glycosylation yang tinggi untuk mendukung kestabilan dan solubilitas Darbepoetin-alfa. L. tarentolae merupakan sebuah inang rekombinan yang cocok digunakan karena sifatnya yang mengandung glikoprotein yang tinggi, serta pola glycosylation yang serupa dengan mamalia. Sifat glycosylation tersebut penting untuk Darbepoetin-alfa, dimana L. tarentolae dapat meniru keseluruhan cara kerja serta interaksi Darbepoetin-alfa dengan reseptor yang dibutuhkannya.. Selain itu, L. tarentolae juga bersifat homogenous dan eukariotik, dimana setelah dilakukan teknik rekombinan, terdeteksi bahwa darbepoetin-alfa memproduksi 5 isoform sehingga pola glycosylation yang dimiliki lebih konsisten. Secara garis besar, L. tarentolae dapat diproduksi untuk skala besar, pertumbuhan yang cepat, serta sifatnya yang non-patogenik membuatnya aman untuk digunakan oleh manusia.  

Darbepoetin-alfa memiliki berbagai kelebihan ketika dibandingkan dengan recombinant human erythropoietin (rHu-EPO) lainnya. Pada umumnya, rHu-EPO  terdiri dari 60% asam amino dan 40% karbohidrat. Molekul ini juga memiliki berat molekul sebesar 30.400 Dalton, tersusun atas 165 asam amino dan mengandung 3 rantai N-linked glycosylation. Hal ini berbeda dari Darbepoetin-alfa yang memiliki kandungan karbohidrat sebesar 51% dengan berat molekul sebesar 37.100 Dalton dan mengandung 5 rantai N-linked glycosylation. Penambahan kandungan karbohidrat pada Darbepoetin-alfa dapat menyebabkan peningkatan pada waktu paruh dan aktivitas biologisnya jika dibandingkan dengan rHu-EPO lainnya. Darbepoetin-alfa dilaporkan memiliki waktu paruh 2-3 kali lebih lama dibandingkan dengan rHu-EPO lain dengan parameter farmakokinetik lain yang sama. Karena memiliki waktu paruh yang lebih panjang, Darbepoetin-alfa dapat mempertahankan jumlah hemoglobin yang baik (10-12g/dL) dengan frekuensi pemakaian yang rendah, yaitu sekitar sekali seminggu.


Berdasarkan massa peptidanya, sebanyak 1g dapat dianggap setara dengan 200U rHU-EPO. Darbepoetin alfa memiliki dosis penggunaan sebesar 0,45g/kg beraet badan dan digunakan seminggu sekali sedangkan rHu-EPO memiliki dosis penggunaan sebesar 50 U/kg berat badan dan digunakan 2 kali seminggu. Jika dibandingkan secara langsung, Darbepoetin- alfa memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan rHU-EPO. Biaya akusisi rumah sakit untuk Darbepoetin-alfa adalah $3,63 per g sedangkan untuk rHu-EPO adalah sekitar $10,12 sampai $10,80 per 1000 U. Akan tetapi, Darbepoetin-alfa memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga penggunaannya cukup 1 dosis dalam seminggu sedangkan rHU-EPO biasanya perlu menggunakan 2 dosis dalam seminggu. Hal ini akan menyebabkan harga akhir untuk penggunaan Darbepoetin-alfa akan menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan rHU-EPO lainnya.

Contoh produk dari Darbepoetin-alfa adalah Aranesp, merek produk yang sejak 2002 telah disetujui oleh FDA dan diproduksi oleh Amgen Inc., perusahaan bioteknologi dan farmasi asal Amerika. Aranesp terutama digunakan untuk perawatan anemia yang terjadi pada yang berhubungan dengan gagal ginjal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun