Mohon tunggu...
Deandra Ayu
Deandra Ayu Mohon Tunggu... -

fisik dan apapun yang tampak dari luar belumlah tentu menggambarkan isi di dalamnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fuck Off

7 Oktober 2014   06:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:06 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wed, 14 – 8 – 2013                                                                         Fuck Off Johan

Nggak ada peristiwa atau moment khusus, mungkin karena Nadya pergi dan keberadaannya jauh untuk dia temui. Lalu kesendirian itu memaksa pikirannya untuk menerawang, membayangkan Alinda dengan segala kemewahan. Seenggaknya disana ada beberapa pembantu, makanan yang berlimpah, laundry 24 jam dan berbanding terbalik dengan yang dia rasakan saat ini. Hanya ada kopi dan rokok, tv yang membosankan, air putih dengan kulkas kosong di pemandangan kesehariannya. Mau mandi, sibuk mencari handuk yang sebelumnya entah dia lempar kemana, baju nggak ada yang mempersiapkan. Mau pergi pakai sepatu, begitu buka laci kaus kaki semuanya ngga ada pasangan. Akh… mungkin hal itulah yang membuatnya kangen sama Alinda di rumah mewahnya, dan hal yang paling menguatkannya untuk berangkat, malam ini adalah, dia butuh hal mendesak yang satu itu.

Dia mengendarai mobil Nadya, Toyota Yaris warna merah. Perjalanan gelap malam dengan langit yang mendung. Menghantarkan dia di rumah maha besar. Satpam membukakan pintu pagar, mengenalinya. “Selamat malam, Tuan.”

Akh… kembali jadi raja dia di rumah ini. Rumah Alinda tampak sepi, sedang pergikah dia? Jam tanganya baru pukul 22.00. Biasanya ada beberapa anggota keluarga yang duduk-duduk di luar menikmati secangkir coklat hangat. Dia menekan bel, seorang pembantu membukakan pintu. “Malam, Tuan…” Pembantu itu menunduk dan bergeser ke samping, memberi jalan agar dia lewat.

Rumah mewah ini tidak banyak berubah, sudah lama tidak dia kunjungi. Hanya saja tirai-tirainya terlihat baru, kue-kue Lebaran menghiasi setiap meja dan vas-vas dengan bunga-bunga segar yang baru. Ketika akan menaiki tangga menuju kamar Alinda, dia berpapasan dengan seorang asing. Pria tinggi, kurus dengan rambut lurus kelimis panjang sebahu. Memakai celana bahan coklat dan kemeja bergaris vertikal hijau tua. Pria itu melihatnya dari atas ke bawah sampai ujung kaki dan kembali lagi ke ujung rambut. Tatapan yang kurang bersahabat. Posisi pria itu berdiri dan setengah tubuhnya menghalangi jalan dia menaiki tangga.

Alinda anak tunggal yang tinggal di rumah mewah milik ayah Alinda, Bapak Surya Admadja, dengan beribu-ribu saudara. Itu untuk sebuah ungkapan bahwa begitu banyak rupa jiwa-jiwa yang tinggal di rumah itu. Namun yang seperti pria itu, dia belum pernah melihatnya. Tapi tergambar dari cara memandang pria berkulit coklat itu bahwa bisa menebak siapa dia.

“Siapa Lo…?!!” dia bertanya sambil memicingkan mata. Menatap tajam.

“Johan… Johan Juan… calon tunangan Alinda.”

Dia melihat pria itu dalam, melewati dan naik ke atas. Bahunya menyentuh bahu Johan, sedikit keras. Mendengar pernyataan pria itu barusan, entah mengapa seperti sebilah pedang yang melukai tulang rusuknya. ‘Calon tunangan Alinda? Kapan…? Kenapa…?’ Pikiran penuh lika-liku pertanyaan berpitar-putar di sekelilingnya. Dia sibakkan pintu kamar Alinda, dengan kedua tangan. Dia mendorong kuat. Cukup mengejutkan Alinda yang tengah duduk menyulan kristik.

“Hakim…?!! Kapan datang….? Kenapa nggak bilang kamu datang?”

“Kenapa…? Kaget aku datang…? Nggak suka…?!!!” nada suaranya mulai terdengar meninggi.

“Nggak, bukannya gitu, kan aku…” Alinda terdengar gugup. Entah karena senang dia datang atau bingung  bagaimana menjelaskan tentang Johan. Kalimatnya langsung dia potong, “…kan aku mau seneng-seneng sama Johan…” nada suaranya yang sedikit keras membuat tidur Tiffany sedikit gelisah. Anak itu sudah besar, kakinya panjang terlelap dengan piayama tidur merah jambu.

Alinda menepuk-nepuk perlahan bahu Tiffany, dan membuat anak itu tertidur kembali. “Ini semua bukan mau aku, ini mau papa…”

“Mau kamu, mau papa, atau mau siapapun kan bisa konfirmasi dulu ke aku? ! Kan bisa kasih kabar, tinggal telpon, bukan harus kirim surat tunggu burung merpati kayak jaman Belanda…!”

Alinda terdiam, nada suara dan kata-kata dia barusan mengundang air mata berjatuhan di sudut pipi. Alinda sedikit terisak dan mencoba menahan tangis. Dia membuka kancing kemeja, menarik Alinda dalam pelukannya, menciumi leher Alinda beberapa kali. “Alin, jujur aku datag kesini karena aku butuh itu. Aku butuh sex. Tapi bukan itu aja, aku juga mau kasih nafkah lahir aku sama kamu. Bukan hasil kerja aku, Nadya yang kasih. Aku nggak bohong, aku masukin di amplop, aku tulis nama kamu karena aku nggak mau dibilang rakus cuma mau sex dari kamu.” Dia mengeluarkan amplop bertuliskan nama Ailnda dan melemparkannya ke atas tempat tidur. Beberapa lembar uang berjatuhan. “Cuma itu yang aku punya, cuma itu yang bisa aku bawa, cuma itu yang bisa aku kasih ke kamu. Aku nggak kerja Al, dan nggak bisa kerja. Kamu juga tau certitanya. Jujur aku sakit saat tau kalau laki-laki itu tunangan kamu. Dua kali kamu nyakitin aku, Al… Dua kali kamu ngancurin aku…. Kapan tunangannya…?”

“Minggu depan…,” suara Alinda hampir tak terdengar. Seketika tangis Alinda pun pecah, lalu memeluknya. Kini nafsunya yang bicara, dia buka semua kemejanya. Lalu tangannya mulai menjelajahi pakaian Alinda, membuka piyama Alinda, mencium bibir Alinda dan terdengar ketukan di pintu. Dia melepaskan pelukannya, berjalan cepat ke arah pintu, membuka pintu dengan kasar.

Johan yang berdiri di depan pintu, tersenyum sinis memandangnya yang tanpa baju dari atas ke bawah. Ada sedikit gurat cemburu yang dia lihat dari garis-garis wajah Johan. “Aku perlu sama Alinda,” kata Johan.

“Dia lagi nggak terima tamu!” Lalu ketika dia akan menutup pintu, Johan menahan tangannya.

“Ups… sabar Tuan muda, ini ada titipan untuknya,” Johan memberikan sebuah kantong belanja kecil, terbuat dari kertas berkilap dengan merk sebuah butik terkenal. “Sampaikan salamku untuknya,” kata Johan lagi sebelum akhirnya dia menutup pintu.

Ingin rasanya dia menampar wajah menyebalkan itu, tangannya sudah terkepal ingin meninjunya. Sekuat tenaga dia menahan emosi itu. Percuma, tiada guna menghabisi laki-laki yang memang pasti sengaja memancing armarahnya.

Dia mengeluarkan sebuah gaun dari dalam tas kertas itu. Gaun hitam panjang yang sexy. “…Untuk pertunangan minggu depan…” gumamnya sambil melirik ke arah Alinda. Alinda mendekatinya, merebut gaun itu dan melemparkan ke salah satu sudut kamar. “Please Hakim… jangan dibahas sekarang ya sayang, Aku kangen banget sama kamu…” Alinda memaksanya meneruskan adegan tertunda itu. Alinda membawa kedua telapak tangannya menyentuh dada, menggiringnya ke tempat tidur dan berbaring di atas tubuhnya.

Masih terlalu malam, saat adegan itu selesai. Fajar pagi belum terbangun saat dia kenakan kembali pakaiannya yang kusut. Puas baluri seluruh tubuhnya yang memang haus akan hal itu. Mereka berciuman, ada yang berbeda dari Alinda, seolah mengajarinya berciuman dengan gaya yang tidak seperti biasa. Seperti enggan melakukan gaya berciuman yang dulu biasa mereka lakukan. Dia menyudahinya, “Lo pernah ciuman sama dia? Gaya ciuman Lo lain?”

Alinda menunduk tanpa jawaban.

“Pernah ngapain aja Lo sama dia?”

“Nggak, sumpah! Aku cuma ciuman aja, nggak lebih!”

“Ciuman aja? Ciuman sambil dipegang-pegang kali?”

Alinda kembali terdiam.

“Papa kamu yang mau? Atau…. Kamu yang juga tergila-gila sama dia?”

“Terus aku harus gimana? Kamu nggak pernah datang, nggak pernah kasih kabar. Udah abis kata-kataku belain dan membenarkan semua kelakuan kamu di depan papa… Terus apa juga harus aku bilang, kalo kamu lagi sibuk sama istri baru kamu?! Aku harus gimana, Kim…? Pembelaanku buat kamu itu nggak sebesar harta yang aku miliki, harta bisa dicari tapi kepercayaan papa sama kamu terlanjur rusak…!”

“Jadi kamu pilih dia? Dari pernyataan kamu barusan, udah jelas! Udah ada surat cerainya?! Dimana?! Aku mau tanda tangan!” Lalu dia mengambil lipstik dari meja rias, mecoretkan tanda tangannya  di salah satu sudut kamarnya. Besar-besar, sampai lipstik itu hancur karena dia menekannya kuat-kuat. “Atau mungkin kamu mau tiru tanda tanganku? Aku pasti setuju, nanti sidang terkahir aku datang buat ngucapin talak!”

Dia mengambil minuman kaleng beralkohol dari dalam kulkas kecil di kamar itu, mengambil jaket dari dalam lemari, membuka pintu kamar dan keluar. Alinda menahannya sampai pintu, mencoba menariknya, namun dia kibaskan tangan Alinda, menuruni tangga bergegas sambil mengenakan jaket, menuju mobil, mengemudikan terburu-buru. Pulang.

Sampai di rumah dengan pikiran berkecamuk, dia nggak habis pikir, kenapa Alinda mau sama laki-laki berwujud Johan itu? Alkoholah yang jadi pelampiasannya, rokok sebagai penghiburnya.

Paginya dia terbangun muntah-muntah, dengan lambung perih. Seharian ini dia habiskan dengan menonton tv, tanpa makan tanpa minum. Sulit menerima jika mereka bersanding, walaupun rasa cintanya untuk Alinda telah lama mati.

-- The End –

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun