MUNGKIN beberapa dari kalian tahu mengenai stasiun ini. Stasiun ini adalah stasiun Jatinegara. Letakanya berada di kota Jakarta Timur, tepatnya di perbatasan antara kecamatan Jatinegara dan Matraman. Stasiun ini sudah berdiri sejak era kolonial Belanda. Dahulu nama stasiun ini adalah Meester Cornelis.Â
Dan apa yang akan gue bahas di sini adalah tentang banyaknya kenangan yang gue alami bersama stasiun ini.
Stasiun Jatinegara menjadi titik awal di mana gue akan berpergian menggunakan jasa kereta api. Ketika SD misalnya, saat musim mudik lebaran tiba, gue dan keluarga biasa naik kereta api dari stasiun Jatinegara. Waktu itu adalah awal tahun 2000-an. Dan hampir setiap kereta jarak jauh akan berhenti melayani naik turun penumpang di stasiun ini.
Suasana stasiun Jatinegara di masa itu jelas berbeda dengan saat ini. Masih banyak penumpang gelap yang berkeliaran di dalam stasiun. Juga, calo tiket, pedagang asongan, dan tak kalah heboh para copet juga bebas berkeliaran di stasiun ini. Langganan gue dan keluarga setiap mudik adalah naik kereta api Purwojaya.
Kami selalu naik di kelas bisnis. Kereta api Purwojaya pada masa itu masih berangkat pagi dari stasiun Gambir. Biasanya kereta jarak jauh akan berhenti di jalur 1 stasiun Jatinegara, menaikkan penumpang, dan lalu menunggu diberangkatkan.
Gue ingat betul momen di mana gue mudik menunggu kereta di peron jalur 1 dan 2 stasiun Jatinegara. Seraya menunggu datangnya kereta, gue menghibur diri dengan menikmati lalu lalang kereta di pagi hari. Hal yang tak pernah gue lupa adalah melihat liukan tajam kereta api yang akan masuk ke stasiun Jatinegara dari arah barat.
 Stasiun Jatinegara di kala itu begitu sibuk. Mengingat stasiun ini adalah stasiun yang mempertemukan kereta dari tiga arah. Arah timur adalah kereta yang datang dari arah Bekasi, sementara arah barat adalah kereta yang datang dari arah stasiun Manggarai dan Pasarsenen.
Selain ingar bingar kesibukan stasiun Jatinegara di pagi hari, gue juga ingat di masa itu ada sebuah sarana kereta MPJR yang terparkir entah di jalur 6 atau 7 stasiun Jatinegara. Warna kereta ini kuning. Dan MPJR sendiri adalah singkatan dari Mesin Perawatan Jalan Rel. Sarana ini juga terlihat berada cukup lama di sana. Bahkan, sekitar tahun 2014-an awal, gue sempat masih melihatnya ada di sana.
Stasiun Jatinegara juga pernah menjadi tempat gue untuk mencari pundi-pundi uang. Sewaktu kelas 5 SD, di musim hujan, di awal bulan Januari, gue biasa pergi ngojek payung di depan stasiun Jatinegara. Biasanya gue akan berteriak, menawarkan jasa ojek payung gue ke orang yang berteduh.Â
Bila waktunya sore hari, gue bisa banyak mendapatkan uang, karena itu merupakan jam di mana banyak orang pulang kerja. Tarif yang gue pasang dalam sekali ngojek payung adalah seribu rupiah. Meski begitu ada saja orang baik yang memberikan upah secara lebih.
Karena keadaan depan stasiun yang kurang pengawasan dan pengetatan, ada saja oknum kurang ajar yang berkeliaran. Pernah suatu hari ketika gue sedang menghitung uang hasil ojek payung, seorang preman memalak gue. Dia merangkul gue sok-sok akrab, kemudian berbicara berbisik, mengatakan bahwa untuk menjual jasa ojek payung di sini, gue harus membayar pajak.Â
Uang hasil ojek payung gue diambil setengah. Hal itu kemudian menjadikan gue pelajaran kedepannya untuk kucing-kucingan dengan preman setempat.
Masa SD gue juga penuh dengan kenakalan. Salah satu hal nakal yang gue lakukan adalah bermain bersama teman-teman di dalam stasiun Jatinegara. Untuk masuk ke sana tanpa diketahui siapapun, gue dan teman-teman punya jalan rahasia. Jalan rahasia ini terletak di arah timur stasiun Jatinegara, tepatnya di sebuah tembok pembatas yang memiliki celah kecil.Â
Celah ini benar-benar kecil dan sempit, sehingga gue dan teman-teman harus memiringkan badan ketika masuk. Juga tercium aroma pesing yang menyengat ketika masuk melalui celah tersebut.
Di dalam stasiun, gue dan teman-teman biasa nongkrong di ujung timur peron jalur 1 dan 2. Hal nakal yang kami lakukan adalah menaruh batu atau paku bekas ke atas rel, menunggu benda-benda tersebut digilas oleh roda besi kereta api. Pernah gara-gara kenakalan itu kami semua dikejar oleh SATPOL PP. Layaknya maling jemuran yang keciduk warga setempat, kami semua lari tanpa ampun.
Saat kelas 7 SMP, gue pernah beberapa kali bolos sekolah ke stasiun Jatinegara. Agak aneh memang. Di saat anak lain bolos sekolah ke rental PS atau warnet, gue malah bolos ke stasiun Jatinegara. Hal yang gue lakukan juga nggak kalah aneh. Gue akan muter-muter nggak jelas naik KRL, menghabiskan waktu hingga jam pelajaran sekolah usai.
Stasiun Jatinegara, di masa gue duduk di bangku SMK, adalah masa di mana mulai ada penertiban soal penumpang gelap. Banyak cara dilakukan untuk mengatasi ini. Salah satunya dengan menambah jumlah personil keamanan di stasiun. Gue juga pernah melihat secara langsung bagaimana segerombolan penumpang melompat dari atap kereta, menghindari kejaran petugas.Â
Hal itu terjadi ketika sore hari di sela-sela gue nongkrong di ujung timur peron jalur 4 dan 5 stasiun Jatinegara, menghisap sebatang dua batang rokok seraya melihat kereta yang berlalu-lalang.
Pertengahan 2016, gue kembali menginjakan kaki di stasiun Jatinegara. Sudah banyak yang berubah. Mulai dari sarana KRL ekonomi yang dihapus, kereta jarak jauh yang hanya melayani turun penumpang, pedagang asongan yang tak terlihat lagi berlalu-lalang, dan suasana stasiun yang terlihat lebih tertib dan rapi.Â
Di bagian utara stasiun mulai terlihat ada pembangunan renovasi stasiun Jatinegara. Gue sempat ngobrol dengan petugas, bahwa katanya nanti wajah stasiun Jatinegara akan berubah.
Benar saja, kini apabila gue melihat stasiun Jatinegara dari dekat, ada begitu banyak hal yang berubah. Terlihat sebuah bangunan baru nan besar, yang berada tepat di belakang bangunan lama stasiun Jatinegara. Pintu masuk stasiun pun yang tadinya ada di tengah, kini dipindah ke sisi timur. Akses masuk ke peron pun bukan dengan lagi menyebrangi rel.Â
Melainkan dengan naik ke lantai dua, kemudian turun menggunakan lift, eskalator, atau tangga manual. Ada beberapa bagian yang dihilangkan, yang terasa amat disayangkan. Misalnya seperti atap kanopi stasiun yang khas, Jembatan penyebrangan orang di sisi barat, dan terlebih, Depo lokomotif Jatinegara yang dipindahkan ke Cipinang.Â
Kini, ketika melihat lagi stasiun Jatinegara, gue merasa ada begitu banyak kenangan yang tersirat. Sebuah kenangan yang kini sudah tak mampu lagi gue dapatkan. Selamat tinggal stasiun Jatinegara lama! Kini engkau berubah dimakan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H