Karena keadaan depan stasiun yang kurang pengawasan dan pengetatan, ada saja oknum kurang ajar yang berkeliaran. Pernah suatu hari ketika gue sedang menghitung uang hasil ojek payung, seorang preman memalak gue. Dia merangkul gue sok-sok akrab, kemudian berbicara berbisik, mengatakan bahwa untuk menjual jasa ojek payung di sini, gue harus membayar pajak.Â
Uang hasil ojek payung gue diambil setengah. Hal itu kemudian menjadikan gue pelajaran kedepannya untuk kucing-kucingan dengan preman setempat.
Masa SD gue juga penuh dengan kenakalan. Salah satu hal nakal yang gue lakukan adalah bermain bersama teman-teman di dalam stasiun Jatinegara. Untuk masuk ke sana tanpa diketahui siapapun, gue dan teman-teman punya jalan rahasia. Jalan rahasia ini terletak di arah timur stasiun Jatinegara, tepatnya di sebuah tembok pembatas yang memiliki celah kecil.Â
Celah ini benar-benar kecil dan sempit, sehingga gue dan teman-teman harus memiringkan badan ketika masuk. Juga tercium aroma pesing yang menyengat ketika masuk melalui celah tersebut.
Di dalam stasiun, gue dan teman-teman biasa nongkrong di ujung timur peron jalur 1 dan 2. Hal nakal yang kami lakukan adalah menaruh batu atau paku bekas ke atas rel, menunggu benda-benda tersebut digilas oleh roda besi kereta api. Pernah gara-gara kenakalan itu kami semua dikejar oleh SATPOL PP. Layaknya maling jemuran yang keciduk warga setempat, kami semua lari tanpa ampun.
Saat kelas 7 SMP, gue pernah beberapa kali bolos sekolah ke stasiun Jatinegara. Agak aneh memang. Di saat anak lain bolos sekolah ke rental PS atau warnet, gue malah bolos ke stasiun Jatinegara. Hal yang gue lakukan juga nggak kalah aneh. Gue akan muter-muter nggak jelas naik KRL, menghabiskan waktu hingga jam pelajaran sekolah usai.
Stasiun Jatinegara, di masa gue duduk di bangku SMK, adalah masa di mana mulai ada penertiban soal penumpang gelap. Banyak cara dilakukan untuk mengatasi ini. Salah satunya dengan menambah jumlah personil keamanan di stasiun. Gue juga pernah melihat secara langsung bagaimana segerombolan penumpang melompat dari atap kereta, menghindari kejaran petugas.Â
Hal itu terjadi ketika sore hari di sela-sela gue nongkrong di ujung timur peron jalur 4 dan 5 stasiun Jatinegara, menghisap sebatang dua batang rokok seraya melihat kereta yang berlalu-lalang.
Pertengahan 2016, gue kembali menginjakan kaki di stasiun Jatinegara. Sudah banyak yang berubah. Mulai dari sarana KRL ekonomi yang dihapus, kereta jarak jauh yang hanya melayani turun penumpang, pedagang asongan yang tak terlihat lagi berlalu-lalang, dan suasana stasiun yang terlihat lebih tertib dan rapi.Â
Di bagian utara stasiun mulai terlihat ada pembangunan renovasi stasiun Jatinegara. Gue sempat ngobrol dengan petugas, bahwa katanya nanti wajah stasiun Jatinegara akan berubah.
Benar saja, kini apabila gue melihat stasiun Jatinegara dari dekat, ada begitu banyak hal yang berubah. Terlihat sebuah bangunan baru nan besar, yang berada tepat di belakang bangunan lama stasiun Jatinegara. Pintu masuk stasiun pun yang tadinya ada di tengah, kini dipindah ke sisi timur. Akses masuk ke peron pun bukan dengan lagi menyebrangi rel.Â