Benar kata dee lestari, bahwa kalimat yang indah tersusun dari banyak nya spasi dan tanda baca yang tepat. Bahwa setiap rangkaian kata perlu jeda. Atau bukan kah seorang pembalap yang mahir pun perlu rem untuk mengukur jarak lintasan agar tak menabrak? untuk tau kapan bisa menyalip lawan-lawannya?Â
Belum ada judul, begitu kira nya judul tulisan ini dimuat. Satu tahun tidak menulis membuat jari-jari saya terasa kaku seperti sempak baru. Di tengah keadaan dunia yang tak pasti kecuali soal rezeki, jodoh dan mati.Â
Nampaknya ada satu ruang yang begitu saya rindukan. Ruang dimana ide bisa tertuang tanpa sisa, tempat mengikat ide liar yang lama tak keluar dari singgasana alam bawah sadar, ruang yang menjadi ladang menanam benih keluh-kesah duniawi, ruang dimana seseorang bisa teriak se lantang-lantangnya, sebebas-bebasnya.
Jadi jika ditanya kapan terakhir kali menulis, saya akan jawab Ketika skripsi sedang di bantai-bantai nya oleh coretan dosen yang kiranya tidak pernah salah seperti perempuan.Â
Namun jika ditanya kapan terakhir kali menulis pakai hati, saya akan jawab tepatnya satu tahun silam. Sebab bagi saya menulis skripsi tak perlu pakai hati, yang penting rapi, sesuai data, teori dan metodologi. Artinya, jika kemauan dosen terpenuhi maka tak akan ada lagi revisi. Bukan begitu wahai kalian para mahasiswa semester dewasa? Â
'Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.', 'Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan.', 'Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian.Â
Begitu lah kirannya kata-kata pamungkas sastrawan Pramoedya Ananta Toer penulis buku legendaris bumi manusia. kata-katanya mencancap dalam benak dan otak, kata-kata yang menjadi sihir serta percikan api yang tak pernah padam di pikiran saya, mungkin juga dalam pikiran beberapa orang yang mengetahui nya sejak dalam pikiran.
Hari demi hari terasa semakin berat dan membosankan. Jangan tanya kenapa, sebab mungkin kamu pun punya rasa yang sama. Ketika ruang waktu terasa seperti dejavu yang tak henti terulang, saat hal yang tak bosan untuk dilakukan hanya makan dan bernapas, dunia semakin sempit.Â
Tak apa, itu manusiawi. Nikmati saja my love. Ya mau tak mau, atau suka tidak suka memang harus dinikmati. Seperti dawuh mas Puthut kepala suku Mojok.com hidup ini brengsek, dan aku dipaksa menikmatinya.
Jadi mohon maaf jika dalam tulisan ini tak ada pencerahan yang kamu harapkan. Sebab ini Cuma beberapa hal pelik yang ingin saya muntahkan.
Hitung-hitung Pemanasan sebelum olah kata dikemudian hari nanti. Yang jelas, kita tak akan pernah melihat cahaya jika tak masuk dalam ruang yang gelap bukan?. Bagaimana mungkin sinar bintang bisa dilihat pada siang yang terang?
Setiap kita adalah cahaya, pastikan punya banyak cara untuk bisa menyala. Secara individual engkau harus membakar api dalam dirimu sendiri, sebab bagaimana mungkin engkau bisa menjadi baru, jika engkau tidak menjadi abu terlebih dahulu.Â
Namun secara sosial sesekali jangan mencontoh sebatang lilin, menyinari ruang sekitar tapi dirinya sendiri tebakar. Karna sejatinya cahaya itu ada dalam dirimu sendiri, maka bersinarlah dengan caramu. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H