Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mahkamah Konstitusi, Sebuah Studi Atas Perkara UU Kehutanan

23 Juli 2023   23:55 Diperbarui: 23 Juli 2023   23:57 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2154 Bumi di ambang sekarat. Kehabisan sumber daya alam Bumi, manusia harus menjelajah planet lain untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. Demi menemukan Unobtanium, generator energi bagi pesawat lintas bintang, organisasi RDA di Bumi mengirim tim ke Pandora. Sebuah satelit planet di Alpha Centauri, berjarak 4,25 tahun cahaya. Di Pandora cadangan besar Unobtanium ditemukan tepat di bawah pohon raksasa suci bangsa Na'vi, penghuni asli Pandora dengan teknologi primitif. Ketika RDA memaksakan menambang Unobtanium dengan mengorbankan pohon suci, konflik dengan bangsa Na'vi tidak terelakkan.

Kisah film spektakuler Avatar tersebut sesungguhnya bukan fiksi masa depan atau luar angkasa. Avatar relevan di masa kini dan planet ini.

Di Indonesia masyarakat yang kehidupannya bergantung dari alam seperti Bangsa Na'vi, tersebar di berbagai penjuru nusantara. Masyarakat hutan, yang hidup berdampingan di sisi hutan dan menjadikan hutan sebagai tumpuan hidup, sudah ada jauh sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sayangnya, di masa silam undang-undang yang berlaku di negara kita tidak mengakomodir kehidupan mereka.

"Sejak SD, saya sudah diajak ayah memanen hasil hutan ." tutur Jaka, seorang penduduk di salah satu pemukiman hutan. Jaka mengenang ia dan ayahnya seringkali berangkat ke hutan sore hari dan pulang membawa hasil hutan saat gelap.

Meskipun tidak pernah menanyakan, Jaka sering heran kenapa ayahnya selalu mengambil jalan memutar yang terbilang jauh. Belakangan akhirnya Jaka mengerti, ayahnya tengah menghindari mantri hutan, demikian masyarakat menyebut polisi kehutanan. Jika tertangkap polisi hutan karena mengambil hasil hutan hukumannya tidak main-main, kurungan penjara menanti.

Jaka dan ayahnya, dan masyarakat sekitar hutan pada dasarnya hanya melanjutkan apa yang dilakukan orang-orang tua mereka, hidup dari hutan. Mereka tidak mengerti kenapa peraturan negara menghalangi kehidupan mereka. Jaka dan ayahnya, yang mengambil hasil hutan sekedar untuk menyambung hidup harus menanggung resiko hukum. Sementara perusahaan-perusahaan besar, berbekal izin dan dilindungi peraturan negara mengeksploitasi hutan dan gunung.

Sepuluh tahun silam, angin perubahan berhembus bagi masyarakat seperti Jaka. Tepatnya pada hari Kamis, 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi Repbulik Indonesia (MKRI) atau disebut MK, menerbitkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012MK No. 35, yang memenangkan perwakilan masyarakat atas gugatan uji materi UU Kehutanan. 

Putusan yang kemudian dikenal sebagai MK-35 tersebut, menghapus kata "Negara" dalam Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan No 41 tahun 1999. Menjadikannya berbunyi: "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat". Terlihat sederhana. Tetapi putusan MK-35 merupakan tonggak bersejarah bagi masyarakat adat, karena hak kepemilikan masyarakat (adat) atas hutan, yang selama ini dimasukkan dalam hutan negara sudah pulih.

Momen tersebut dapat disebut sebagai menjadi titik awal reformasi kehutanan Indonesia. Putusan MK-35 menggoyahkan kekuasaan absolut negara atas hutan. MK menegaskan bahwa di wilayah tertentu, posisi masyarakat atas hutan tidak berada di bawah negara. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan negara atas hutan. Hak masyarakat untuk hidup, mengeksploitasi hasil hutan, mengelola, sekaligus menjaga kelestarian hutan, harus diakui dan dilindungi oleh negara.

Sebelum itu kontrol negara terhadap lahan yang disebut "kawasan hutan" sangat superior. Pemerintah dapat saja menetapkan atau mengubah suatu kawasan hutan, berdasarkan pertimbangan kepentingan ekonomi. Dengan alasan demi kemajuan, pemerintah dapat memberi izin-izin eksploitasi hutan kepada perusahaan-perusahaan melalui Hak Pengelolaan Hutan atau pertambangan. Merubah status suatu kawasan hutan, menjadi tambang, perkebunan, atau HTI, yang dikelola oleh pemodal swasta atau pun oleh BUMN. Sebagaimana RDA meng-invasi Pandora, perusahaan-perusahaan ini menggunakan mesin, alat berat, tenaga kerja, dan alat angkut raksasa Tak pelak, konflik dengan penduduk yang kehidupanannya tergantung dari hutan kerap terjadi.  Kisahnya bahkan lebih rumit dari Avatar, karena masyarakat yang melawan invasi perusahaan tersebut dapat berakhir di penjara.

Pasca putusan MK-35, beberapa peraturan-peraturan kehutanan di tingkat pusat maupun daerah turut menyesuaikan amanat MK. Tercatat hingga akhir tahun 2022 pemerintah telah menetapkan 105 hutan adat tersebar di penjuru Indonesia dengan luas 148.488 hektar (kompas, 17/01/2023). Jumlah tersebut memang masih jauh dari potensi hutan adat seluas 55 juta hektar, dengan 25,1 Juta ha di 32 provinsi dan 154 kabupaten/kota di Indonesia, yang telah terregistrasi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Namun demikian, dilihat dari kacamata perubahan, putusan MK 10 tahun silam telah terlihat dampaknya hingga ke tataran grass root. Bagaimana pun juga putusan MK bukan entitas tunggal, perlu kerja keras dari berbagai pihak untuk terus mengawalnya, agar tidak sekedar berakhir di meja birokrasi.

gambar: brwa.or.id
gambar: brwa.or.id

Berkaca dari perkara putusan MK-35, peran MK bagi bangsa sesungguhnya lebih dari sekedar lembaga peradilan. MK sendiri unik karena tidak hanya memutuskan perkara perselisihan, perkara sengketa, atau menjaga agar pelaksanaan peraturan diterapkan sesuai hukum yang berlaku, melainkan menjadi penguji atau evaluator bagi suatu produk hukum. Bahkan memberikan perubahan jika diperlukan.

Sebagai lembaga peradilan, MK di mata masyarakat awam selama ini diplesetkan sebagai "Mahkamah Kepemiluan". Karena perannya memutus perkara-perkara perselisihan pemilihan umum, 5 tahun sekali MK mendapat porsi lebih dari pemberitaan media dan perhatian masyarakat.

Kenyataannya hakim MK bekerja sepanjang waktu. Selama 20 tahun berdiri, sejak 2003, ada total 3.506 perkara yang masuk ke meja MK. Artinya, setiap minggunya setidaknya ada 3,5 perkara yang datang ke meja MK. Di masa pemilu intensitas pekerjaan MK memang meningkat, karena nyaris 19% atau 676 merupakan perkara hasil pemilihan umum, dan nyaris sepertiga atau 1.136 merupakan perkara menyangkut hasil pemilihan kepala daerah.

gambar: mkri
gambar: mkri

Tetapi porsi terbesar pekerjaan MK adalah perkara uji materi UU. Selama 20 tahun, nyaris separuh atau 1665 perkara uji materi UU yang harus ditangani oleh MK. MK merupakan saringan terakhir bagi UU yang berkualitas.

Sebagai saringan terakhir atas undang-undang yang diterbitkan oleh negara, putusan MK diharapkan dapat menjadi benteng bagi tujuan mulai didirikannya Negara Republik Indonesia. Supaya setiap undang-undang yang diterbitkan oleh negara, benar-benar selaras dengan batang tubuh UUD 1945, dijiwai pembukaan UUD 1945 dan amandemennya. Sehingga UU yang diterapkan tidak hanya dapat membawa kemajuan ekonomi semata, melainkan juga bersifat preventif dengan melindungi masyarakat dan mencegah terjadinya potensi konflik akibat peraturan yang tidak tepat.

Sebagai lembaga peradilan, tentunya tidak setiap putusan MK dapat memuaskan semua pihak. Tetapi, putusan-putusan tersebut tidak bisa dilihat secara parsial atau sepotong-sepotong, melainkan harus utuh dan mempertimbangkan berbagai faktor terkait. Utamanya, para hakim MK diharapkan dapat mendahulukan putusan yang memberikan kemenangan kepada kemanusiaan, rakyat banyak, dan masa depan Negara Republik Indonesia.

Bogor, 23 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun