Kasus penganiayaan terhadap guru oleh murid di sekolah kerap menghiasi pemberitaan media. Pada 2018 silam misalnya, seorang guru honorer tewas di Madura akibat pemukulan yang dilakukan salah seorang muridnya di dalam kelas. Penyebabnya sepele, murid tidak terima ditegur karena kenakalannya. Ada juga orang tua siswa mendatangi sekolah dan menganiaya guru karena tidak terima anaknya dihukum.
Di sisi lain, ada juga guru yang dicokok penegak hukum karena melakukan tindak kriminal terhadap murid. Kepercayaan orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada institusi pendidikan, dikhianati oleh oknum guru yang tidak bertanggungjawab.
Berbagai kasus kekerasan, bahkan kriminal, di lingkungan sekolah yang diberitakan media bisa jadi hanya puncak gunung es di dunia pendidikan Indonesia. Siswa yang sama sekali tidak memiliki rasa hormat kepada guru dan lembaga pendidikan, guru yang tidak menjunjung tinggi kehormatannya sebagai guru, dan orang tua murid yang tidak memahami fungsi dan tanggung jawab lembaga pendidikan. Ada sesuatu yang salah di sekolah dan pendidikan Indonesia.
Peran negara, dalam fungsi dan tujuannya untuk "Mencerdaskan kehidupan bangsa", sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 45, adalah memfasilitasi dan memberikan bantuan kepada setiap warganya anaknya mendapat pendidikan yang baik. Sementara pendidikan, pada dasarnya adalah tetap tanggung jawab setiap orang tua. Sekolah tidak mampu mengawasi seorang anak hingga 24 jam.
Sayangnya, kurikulum di Indonesia kurang memberikan peran bagi orang tua untuk terlibat atau memberi sumbangsih dalam pendidikan formal. Semenjak kemerdekaan, Indonesia sudah melakukan sekurangnya 11 kali perubahan kurikulum. Setiap perubahan kurikulum tersebut pemerintah merestrukturisasi, menambah atau menghapus mata pelajaran, perubahan sistem ujian, sistem administrasi guru dan sekolah, hingga penggantian buku-buku pegangan guru serta murid.Â
Perubahan kurikulum di tingkat atas belum mampu menyentuh skala mikro, seperti relasi mendalam siswa dengan sekolah, relasi orang tua dengan sekolah, atau peran lingkungan terhadap pendidikan di sekolah. Pendidikan formal pada skala mikro selama ini bergantung pada para guru dan sekolah dalam menerapkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sementara orang tua murid sekedar menjadi penonton bagi proses pendidikan anak-anak yang dititipkannya di sekolah.
Seorang dosen menceritakan pengalaman ketika anaknya masuk salah satu sekolah menengah negeri. Di tengah tahun ajaran osen tersebut mencoba memberikan masukan kepada guru dan sekolah tempat anaknya belajar. Harapannya sang anak dapat memperoleh pendidikan yang sesuai dengan cita-cita dan rencana kariernya di masa depan, tanpa terlalu membebani dengan berbagai materi pelajaran untuk remaja seusianya.
Sayangnya, sekolah tidak dapat menerima usulannya karena terikat pada kurikulum yang ditetapkan negara. Akhirnya dengan berat hati, setelah beberapa bulan belajar, dosen tersebut memindahkan anaknya ke salah satu sekolah internasional yang memberi fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan cita-cita sang anak. Meskipun diakui sang dosen, biaya sekolahnya
Pengalaman dosen tersebut memberi dua indikasi kekurangan pendidikan Indonesia akibat kurikulum yang bersifat rigid dan top down. Pertama, tidak memberikan fleksibilitas bagi seorang anak untuk menempuh pendidikan yang sesuai dengan bakat dan cita-citanya sejak dini.Â
Padahal pembentukan cita-cita dan proses pendidikan yang sesuai bakat dan dilakukan sejak dini menentukan kesuksesan seseorang dalam karir dan masa depannya. Seorang seperti Lionel Messi misalnya, dapat sukses berkarir dan menjadi seorang pemain terbaik di dunia karena sudah mendapat latihan dan pendidikan sejak berusia 9 tahun untuk menjadi pesepakbola profesional.
Kedua, tidak memberi peluang bagi pihak di luar pemerintah dan sekolah, untuk memberi sumbangsih dan peran bagi kemajuan pendidikan anak. Sebagai siswa, selain memiliki kemampuan akademis dengan pendidikan yang baik, keberadaan anak sebagai individu juga tidak kalah penting. Adanya masukan untuk sekolah, yang bersifat positif bagi peningkatan kualitas pendidikan seharusnya dapat diadopsi dan diaplikasikan. Bukan ditolak karena tidak sejalan dengan kurikulum yang ditetapkan negara.