Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Erick Thohir, Harapan Memupus Mimpi Buruk Sepakbola

1 Februari 2023   00:19 Diperbarui: 10 Februari 2023   15:44 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepakbola olahraga paling populer di Indonesia, tapi sepakbola Indonesia seperti mimpi.

Mimpinya bagus: timnas Indonesia berprestasi di kancah dunia, mencapai final piala dunia, membangun industri sepakbola, memiliki kompetisi berkelas dan berkualitas, atau menghasilkan pemain sekelas Lionel Messi. Tetapi realitanya, sekedar mimpi untuk menjadi tontonan yang sehat dan menghibur pun tidak terwujud. Yang ada rangkaian mimpi buruk yang tidak pernah berujung.

Ya,... sepakbola Indonesia adalah penghasil mimpi buruk.

Tawuran suporter, gaji pemain yang tidak dibayar, perkelahian pemain, pengeroyokan wasit, kasus pengaturan skor, hingga buruknya penanganan massa yang menyebabkan kematian penonton sepakbola nasional. Itu bukan berita baik, melainkan horor dari dunia sepakbola yang kerap menghiasi berita media massa.

Mimpi buruk itu sekedar diberitakan, dibahas, dijanjikan untuk dibenahi, tak lama berselang terulang kejadian yang lebih besar. Bahkan intervensi pemerintah dan sanksi FIFA tidak menjadikan sepakbola indonesia berkaca dan berbenah.

Jangan dulu bicara prestasi, nyawa manusia di tataran sepakbola Indonesia hal yang tidak berharga. Tragedi Kanjuruhan masih segar dalam ingatan, menjadi rekor dunia yang tidak dapat dibanggakan dengan korban ratusan jiwa.

Namun dari pola yang terjadi sebelumnya, kasus kanjuruhan tidak akan menjadi titik mula perbaikan. Tidak lama lagi tragedi itu akan sekedar menjadi catatan, yang tertumpuk debu di sudut ruang arsip. Terlupakan,..... untuk kemudian terulang lagi.

Sulit untuk menunjukkan siapa yang seharusnya bertanggung-jawab atas mimpi buruk tanpa akhir di dunia sepakbola Indonesia. Panitia penyelenggara menggelengkan kepala, pihak keamanan angkat bahu, klub menghindar, apalagi ketika PSSI mengelak, suporter pun kebingungan.

Ratusan orang meninggal dengan cara konyol, anehnya tidak ada yang merasa bertanggungjawab.

Pertunjukan sepakbola sistem rumit yang melibatkan banyak pihak. Budaya untuk mencari pihak yang paling mudah disalahkan sebetulnya tidak akan menghasilkan solusi apa pun. Tidak akan ada titik pangkal dan hasil yang positif hanya dengan menunjuk kambing hitam.

Menurut pandangan pribadi penulis, sekedar sebagai penikmat sepakbola dan F1, daripada mencari pihak yang paling bisa disalahkan lebih mudah untuk mencari pihak yang memiliki kewenangan paling besar di sepakbola. Lalu dari situ memulainya setahap demi setahap, merubah mimpi buruk sepakbola Indonesia menjadi impian indah yang terwujud nyata.

Pihak yang paling bertanggungjawab mengelola sepakbola dari A sampai Z di negara ini adalah PSSI.

Akan tetapi sayangnya, perjalanan PSSI pun tidak kurang bernoda, kacau, dan kisruhnya. PSSI terindikasi dikuasai segelintir orang yang mengelola sepakbola tanpa visi. Sekedar untuk hasrat pribadi/kelompok, tanpa kompetensi melakukan perubahan.

Pemerintah sendiri bukannya tidak sadar dengan permasalahan PSSI. Tetapi, PSSI berada di bawah otoritas FIFA. PSSI ibarat kedutaan besar di dalam negara, karena hanya tunduk kepada statuta FIFA. Intervensi pihak luar, termasuk negara, ke dalam sepakbola bisa berujung sanksi dari FIFA.

Beberapa orang perwira militer dengan bintang di bahunya pernah didorong untuk menjadi ketua PSSI. Harapannya bisa menghadapi gerombolan yang menggunakan otot untuk mengendalikan PSSI. Tetapi hingga saat ini hasilnya nihil. PSSI status quo dan pengurusnya bebal, ketika tidak merasa bertanggungjawab atas semrawutnya persepakbolaan nasional.

Di sisi lain, perputaran uang dari jumlah fans membuat sepakbola bagai bunga desa yang menjadi rebutan pemuda. Dengan kewenangan yang demikian besar dan uang yang bergulir di sepakbola, tidak mengherankan jika kursi ketua umum PSSI menjadi jabatan prestisius di luar pemerintahan.

gambar:fcbarcelona.cat
gambar:fcbarcelona.cat

Dream Team Barcelona sebagai cermin

Dominasi Barcelona di era keemasannya satu dekade silam bisa menjadi pelajaran upaya membangun tim sepakbola. Gagasannya dimulai sejak tahun 90-an. Proyek Barca saat itu menjadikan falsafah sepakbola Johan Cruiff sebagai fondasi kemudian memaksimalkan pendidikan anak-anak berbakat. La Masia sebagai sekolah sepakbola milik Barca saat itu bukannya nihil hasil. Beberapa alumninya tergolong hebat, Guardiola merupakan salah satunya. Tetapi pamor La Masia masih di bawah sekolah milik Ajax Amsterdam. Barca ingin lebih.

Barca pun berbenah. Tanpa mengesampingkan prestasi yang dicapai barcelona selama kurun 1990-an dan 2000-an, hasil revitalisasi La Masia terlihat 20 tahun kemudian. Ketika Barca menjadi tim sepakbola yang mendominasi kancah Eropa dan dunia.  Menyapu bersih seluruh piala yang tersedia. Pembeda dengan tim-tim besar lain adalah, sebagian besar pemain yang  menghuni skuad dream team Barca saat itu merupakan lulusan akademi La Masia.

Pemain-pemain dari Barca itu pula yang kemudian juga mendominasi timnas spanyol,yang kemudian berimbas kepada permainan timnas Spanyol. Begitu hebatnya spanyol saat itu, hingga mampu memenangkan 3 gelar berturut-turut di kejuaraan internasional.

Dari situ kita melihat sepakbola adalah program estafet panjang dan berjenjang. Mengelola sepakbola haruslah dengan visi yang jauh ke depan. Itu tidak bisa dijalankan dengan program abal-abal yang sekedar jalan.

Dan untuk itu sangat tidak murah. Kita membaca bagaimana Carlos Rexach, mantan presiden Barca, berani "berjudi" membiayai seorang Messi. Selain pendidikannya di La Masia, juga biaya pengobatan untuk defisiensi hormon pertumbuhan, yang nilainya selangit. Tetapi biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan seorang pemain terbaik di dunia sebanding dengan hasil yang didapat.

Dibanding membina pemain muda, kebiasaan mencatut "pemain asing" untuk dinaturalisasi dengan dalih menangkat sepakbola nasional adalah bukti paling otentik kegagalan PSSI. Padahal pembinaan sepakbola usia dini hanya salah satu pekerjaan rumah bagi PSSI, selain pertanggungjawabannya atas kematian ratusan jiwa tentunya.

Angin Perubahan PSSI

Tahun ini, ketika pemilihan ketua umum PSSI digelar, berakhirnya mimpi buruk sepakbola Indonesia seolah terbuka. PSSI diharapkan memiliki ketua umum baru yang mampu membawa perubahan.

Satu hal yang pasti, siapa pun yang terpilih sebagai ketua umum PSSI semestinya sosok yang memiliki kemampuan untuk mengelola dan memberi solusi atas permasalahan multi kompleks. Bukan sekedar tokoh yang memahami bagaimana sepakbola dimainkan, melainkan seorang yang memiliki pandangan melewati horizon sepakbola sebagai olahraga semata. Sepakbola sebagai industri, bisnis, kebanggaan bangsa, kesehatan fisik dan mental masyarakat, bahkan sepakbola sebagai peradaban.

Selain kemampuannya untuk membentuk manajemen strategis, ketua PSSI juga diharapkan dapat membawa individu kompeten ke dalam tim utama, yang menjadi think tank PSSI.  Mau dibawa ke mana PSSI dan sepakbola Indonesia? Bagaimana langkah-langkah dan caranya? Hanya mereka yang memiliki kompetensi dan visi yang bisa melakukannya.

Hal yang tidak boleh dilupakan adalah koneksi ke daratan eropa. Koneksi untuk membuat jalur rekrutmen pemain muda Indonesia berbakat menuju kiblat sepakbola bukan perkara remeh.

Akan sia-sia ketika para pencari bakat menemukan bakat cemerlang, satu di antara 30 juta anak Indonesia. Setelah dipoles menjadi pemain yang mampu berkompetisi di level tertinggi, mereka tidak pernah menaiki anak tangga untuk bersinar di puncak karena tidak punya koneksi. Lalu hanya berakhir menjadi bintang lokal di Liga Indonesia.

Percayalah, timnas yang hanya diisi jago kandang dari liga yang kompetisinya rendah tidak akan membuat prestasi dunia. Tim-tim dari asia dan afrika yang berlaga di kancah piala dunia, selain diisi oleh bintang lokalnya juga mengandalkan pemain yang merasakan ketatnya kompetisi di eropa.

Yang terpenting sebagai ketua PSSI, tidak menjadikan PSSI sebagai panggung untuk pribadinya atau kelompok. Sehingga ketua PSSI bukan sekedar butuh pengalaman yang luas, atau kapabilitas mengelola industri olahraga. Melainkan juga kecintaan dan komitmen mendalam kepada dunia olahraga.

Pecinta sepakbola nasional sudah jenuh dengan tokoh-tokoh yang mencalonkan diri tanpa berkaca pemahaman dan kemampuannya mengelola sistem sekompleks industri sepakbola. Ketika mereka duduk di kursi kepemimpinan PSSI, jangankan membuat sistem pembinaan berjenjang atau industri sepakbola yang sehat, sekedar membangun rasa aman menonton sepakbola di stadion saja tak mampu. Apalagi mau diminta bertanggungjawab atas kerusuhan sepakbola.

Ketika seorang Erick Thohir dikabarkan mencalonkan diri sebagai ketua umum PSSI, lagu "Wind Of Change" dari grup musik legendaris Scorpion seakan berkumandang di Gelora Bung Karno.

Dampak kehadiran Erick Thohir di sepakbola nasional memang masih nihil. Tetapi dari pengelolaan klub basket Satria Muda, kepemilikan DC Uniteds, hingga menjadi presiden direktur klub ternama Internazionale Milan berkat kepemilikan saham mayoritas. Di kancah nasional Erick dipercaya menjadi panitia penyelenggara Asian Games 2018 Jakarta, dan sukses. Kiprah Erick, kecintaan dan, pengalamannya mengelola olahraga tidak perlu diragukan.

Sebetulnya tidak harus Erick Thohir yang menjadi ketua umum PSSI. Siapa pun tokohnya bisa menjadi ketua, asal yang memang kompeten mengelola sepakbola. Tetapi jika lawannya merupakan rezim lama yang mandul perubahan, mencalonkan diri karena ingin terus bercokol di PSSI, maka Erick Thohir merupakan kandidat yang paling layak menjadi ketua umum PSSI.

Rezim lama yang mengelola PSSI dengan cara-cara usang dan tidak memberi dampak perubahan harus dibongkar total. Dibersihkan, diganti orang baru dengan terobosan dan gagasan segar. Untuk itu butuh keberanian baja melakukannya. Pecinta sepakbola berharap modal Cinta, pengalaman, dan kapabilitas di dunia olahraga, yang dimiliki ketua umum PSSI dapat membawa angin harapan perubahan bagi mimpi-mimpi indah sepakbola Indonesia.

Bogor, 31 januari 2023

Penonton sepakbola berkualitas, F1 dan MotoGP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun