Semenjak ekonomi syariah diperkenalkan di Indonesia, melalui berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1991, sistem syariah telah mewarnai sistem keuangan Indonesia. Beberapa kalangan melihat positif sistem ekonomi syariah yang dinilai lebih resisten terhadap krisis ekonomi. Belum lagi potensi umat muslim yang sangat besar dan tumbuhnya kesadaran beragama di kalangan menengah, lembaga keuangan syariah menatap asa dengan optimis.Â
Awal tahun 2000-an saat menjamurnya bank syariah, optimisme pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia seolah menjadi nyata. Pendek kata, di atas kertas masa depan ekonomi syariah Indonesia sangat cerah.
Sayangnya, kenyataan justru menunjukkan hal yang tidak terlalu menggembirakan. Jika dinilai dari tolok ukur kinerja bank syariah, pertumbuhan ekonomi syariah Indonesia kalah jauh dibandingkan ekonomi konvensional. Misalkan dinilai dari ROA ( Return of Asset) bank syariah di akhir Desember 2018 hanya 1,28%, nilai itu jauh di bawah kinerja bank konvensional yang mencapai dua kali lipatnya di angka 2,55%. Itu bukan kali pertama terjadi, malah setiap tahunnya data statistik menunjukkan tren yang sama. Pertumbuhan ekonomi syariah selalu tertinggal dari ekonomi konvensional.
Bahkan kabar terkini, Muamalat yang terengah-engah menghadapi persaingan usaha mesti diselamatkan oleh putera Presiden ke-3 Indonesia, Ilham Habibie. Sekedar untuk dapat bertahan.
Kondisi ini tentu memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Umat yang sedemikian besarnya terjebak dalam ekonomi liberal kapitalis yang dibangun IMF dan USA sebagai lokomotif utamanya.
Sehingga ketika K.H Ma'ruf Amin berpidato di hadapan para elit partai politik Indonesia mengungkapkan visi dan misinya untuk mengembangkan potensi ekonomi syariah, harapan agar ekonomi syariah tumbuh dengan selayaknya di negara berpenduduk muslim terbesar ini mekar kembali. Terlebih saat pengumuman KPU menunjukkan kemenangan pasangan Jokowi-Amin dalam pilpres 2019, harapan itu semakin terlihat nyata.
Namun demikian tantangan yang harus dihadapi ekonomi syariah sendiri tidaklah mudah. Tidak seperti lembaga keuangan konvensional yang bisa menjalankan usahanya dengan "gaya bebas" dan agresif, praktik ekonomi syariah diikat oleh berbagai batasan. Al-Qur'an dan hadits harus menjadi pedoman pelaksanannya. Ada hasil ijtihad ulama-ulama yang juga dibutuhkan sebagai dasar praktik ekonomi syariah.
Sementara itu teknologi dan bisnis merupakan dunia yang berkembang sangat cepat. Setiap detik berlalu selalu ada hal-hal baru. Fatwa para ulama sulit mengikuti percepatan tumbuhnya sistem ekonomi. Misalnya kehadiran Fintech dan uang digital, yang tiba-tiba saja hadir dalam kehidupan, belum mendapat respon. Atau kalau pun sudah ada, hasil ijtihadnya belum tersosialisasikan kepada masyarakat.
Itu baru kesulitan di tataran fatwa. Pada praktik keseharian pun masih ditemui kesulitan untuk menerapkan sistem ekonomi syariah. Seorang kawan yang bekerja di salah satu perusahaan leasing terbesar di Indonesia menceritakan kesulitannya saat menjadi pimpinan tenaga marketing.
"Pelanggannya non muslim, marketing dan surveyornya juga non muslim, akadnya bagaimana? Apalagi mereka tidak mengerti ekonomi syariah, dan tidak merasa mendapat keuntungan berarti jika menerapkan sistem syariah, selain uang muka yang ringan" kata kawan saya sambil tertawa.
"Belum lagi dalam praktik pelaksanaan. Karena barang yang mereka beli dari leasing diterapkan bagi hasil, maka barang tadi tidak boleh digunakan untuk kegiatan lain selain dari usaha yang ditetapkan saat akad. Kita nggak bisa ngawasin debitor tiap detik. Karena itu penerapannya menjadi mustahil" katanya melanjutkan.
Masih ada gap yang lebar antara falsafah, fatwa dan kebutuhan praktis pelaksanaan ekonomi syariah.
Hambatan semacam itu belum termasuk tantangan untuk mengembangkan budaya pelayanan dan strategi pengembangan usaha. Bagaimana pun juga industri keuangan merupakan industri jasa, pelayanan adalah panglima. Jujur saja, jika anda seorang muslim, anda akan memilih jasa bank syariah yang sulit dicari ATM dan kantor cabangnya atau bank konvensional yang ATM dan kantor pelayanannya tersebar di mana-mana?
Ketika negara seperti Inggris beberapa tahun silam sudah mencanangkan diri untuk menjadi pusat ekonomi syariah di Eropa dengan menerbitkan sukuk negara, ekonomi syariah Indonesia masih berkutat dengan persoalan fundamental perbankan. Belum lagi kita bicara persaingan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Thailand, harapan ekonomi syariah masih jauh panggang dari api.
K.H Ma'ruf Amin bukan orang baru di dunia ekonomi syariah. Bukan orang yang baru belajar ekonomi saat dicalonkan sebagai wapres. Beliau adalah salah satu pionir ekonomi syariah Indonesia. Ketua Dewan Syariah Nasional MUI yang berwenang mengeluarkan fatwa-fatwa praktik ekonomi syariah. Beliau juga ketua dewan pengawas syariah di berbagai lembaga keuangan, termasuk sebagai ketua dewan syariah Bank Muamalat Indonesia yang tadi saya singgung.
Karirnya di dunia ekonomi syariah merentang sejak duduk di bangku kuliah hingga detik ini, ketika usia beliau menginjak 75 tahun. Artinya, pengalamannya di bidang ekonomi syariah sudah lebih dari 50 tahun. Sepertinya tidak ada orang lain di Indonesia yang memiliki pengalaman dan kapasitas keilmuan dalam bidang ekonomi syariah melebihi beliau. Sehingga kehadirannya sebagai wapres menerbitkan secercah cahaya harapan terhadap tumbuh kembangnya ekonomi syariah Indonesia.
Bagi saya, sebagai pribadi, sebagai umat muslim, dan sebagai pengamat ekonomi amatir, janji K.H Ma'ruf Amin untuk mengembangkan ekonomi syariah adalah janji yang perlu kita tunggu dan pantau pelaksanaannya. Sebuah Pekerjaan Rumah yang menjadi harapan kaum muslim untuk bisa diwujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H