Â
Sebagaimana tubuh manusia membutuhkan darah untuk mengalirkan oksigen dan zat gizi ke seluruh sel tubuh, agar manusia dapat hidup, berkembang dan beraktivitas, uang adalah darah bagi perekonomian suatu negara. Jika untuk mengalirkan darah ke setiap sel tubuh dibutuhkan pembuluh darah yang sehat, maka bank berfungsi ibarat urat nadi yang mengalirkan uang ke setiap sudut wilayah dan menggerakkan ekonomi suatu negara.
Â
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia merupakan pusat sistem keuangan negara. Ibarat jantung, yang menjadi pusat dari sistem peredaran uang. Dalam rangka mengatur agar sistem keuangan negara mengalir dengan baik, BI memiliki beberapa tugas di antaranya mengatur moneter, mengelola sistem pembayaran dan mengeluarkan kebijakan makroprudensial. Â
Â
Makroprudensial dapat dianalogikan sebagai sel darah putih yang menjadi antibodi sistem tubuh dari resiko penyakit. Sebagaimana definisi Galati G dan Richhild M, 2011, yang mendefinisikan makroprudensial sebagai: kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik. Makroprudensial dilaksanakan sebagai deteksi dini krisis dan pencegahannya. Ini berarti makroprudensial bersifat melindungi ekonomi suatu negara dari setiap potensi gangguan sistem keuangan, sebelum potensi tersebut membesar hingga tidak terkendali dan menganggu perekonomian.
Â
Pelaksanaan kebijakan makroprudensial menyesuaikan dengan tujuan pelaksanaan dan karakteristik perekonomian yang tengah dihadapi suatu negara. Â Karenanya kebijakan makroprudensial tidak statis. Adakalanya kebijakan makroprudensial berlawanan dengan kebijakan sebelumnya karena dimaksudkan untuk memperbaiki, kali lain justru meneruskan kebijakan lampau karena kebijakan tersebut dinilai sudah tepat.
Â
Saat ekonomi sedang baik makropudensial seperti multivitamin yang mempertahankan ekonomi tetap sehat. Di saat demikian selain menjaga stabilitas sistem keuangan, makroprudensial juga membantu pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana dinyatakan oleh European Systemic Risk Board (ESRB), 2013, bahwa salah satu tujuan makroprudensial adalah memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Â
Sementara jika krisis tidak dapat dihindari, kebijakan makroprudensial seperti antibiotik. Berfungsi mengobati dan mengupayakan agar dampak krisis ekonomi tidak terlalu buruk, serta secepat mungkin mengeluarkan negara dari krisis dengan biaya minimal.
Â
Sebagaimana organ tubuh, sebagai sebuah komponen kebijakan ekonomi, makropudensial tidak dapat berjalan sendiri. BI menerapkan kebijakan makroprudensial bersama-sama otoritas lain, yaitu Kementerian Keuangan ( Kemenkeu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Â
Penegasan peran keempat lembaga ini dalam penangangan dan penanggulanan krisis tertuang dalam UU No. 9 Tahun 2016. Dengan kewenangannya masing-masing, setiap lembaga merumuskan kebijakan bersama yang saling sinergis. BI mengatur kebijakan makroprudensial, Kemenkeu mengelola kebijakan fiskal dan mikroekonomi (sektor riil), OJK mengawasi pengelolaan lembaga jasa keuangan, dan LPS secara khusus memberi jaminan keamanan simpanan setiap nasabah perbankan. Â
Â
Dalam penerapannya, makroprudensial pertama-tama dilakukan dengan mengidentifikasi potensi resiko. Resiko dapat terjadi ketika titik-titik lemah sistem keuangan mendapatkan gangguan ekonomi. Letelah melakukan identifikasi resiko langkah awal yang dilakukan makroprudensial adalah upaya mengatasi titik lemah sistem keuangan tersebut dan pencegahan terhadap gangguan yang mungkin terjadi.
Â
Lalu langkah berikutnya, melakukan pengawasan terhadap lembaga perbankan beserta perusahaan induk, anak perusahaan dan afiliasinya, pasar dan infrastruktur keuangan, sektor rumah tangga dan korporasi. Pengawasan terutama difokuskan pada obyek yang berpotensi menimbulkan resiko sistemik.
Â
Seperti dokter yang memeriksa pasiennya, BI menggunakan beberapa sarana untuk mendeteksi gejala-gejala ketika sistem keuangan mengalami masalah atau terindikasi tidak sehat. Di antara sarana tersebut adalah: Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) untuk menilai kinerja institusi keuangan dan pasar keuangan, dan Indeks Risiko Sistemik Perbankan (IRSP) sebagai alat untuk mengidentifikasi kontribusi perbankan pada risiko sistemik. Â
Â
Setelah potnesi resikonya teridentifikasi, gejalanya terdeteksi pada lembaga mana, BI kemudian melakukan penilaian resiko untuk menilai seberapa besar/kuat dampak mungkin ditimbulkan terhadap sistem keuangan dan ekonomi riil. Sebagai tindaklanjutnya resiko-resiko tersebut diinformasikan kepada pihak-pihak terkait untuk segera ditangani, supaya tidak menimbulkan efek berantai. Â
Â
Tugas BI dalam kebijakan makroprudensial seperti seorang dokter yang segera memberikan resep, obat dan melakukan penanganan terhadap pihak internal BI, pemerintah, otoritas keuangan, pelaku pasar dan institusi keuangan, sebagai pasien. Saat mendeteksi adanya "kanker", segera ditangani sebelum kanker tersebut mencapai stadium lanjut. Efeknya, krisis ekonomi dapat dicegah sebelum adanya efek berantai dan terjadi dalam skala besar. Â
Â
Pertanyaan yang seringkali muncul di kalangan awam: Bagi masyarakat umum, apa manfaat makroprudensial? Karena makroprudensial seolah hanya berlaku pada taraf studi dan elit, sehingga tidak terasa dampaknya pada kehidupan sehari-hari. Â
Â
Meskipun banyak pengaruh yang terjadi secara tidak langsung, kenyataannya kebijakan makroprudensial dapat kita nikmati dalam keseharian. Misalnya kestabilan harga barang kebutuhan sehari-hari, karena makroprudensial juga berperan dalam mengendalikan inflasi. Pengaruh makroprudensial juga terasa dalam bentuk tersedianya lapangan pekerjaan, karena makroprudensial berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Terutama mencegah kondisi krisis ekonomi, ketika setiap anggota masyarakat menderita karena tekanan ekonomi.
Â
Dilihat dari sejarahnya studi dan pelaksanaan makroprudensial di dunia, khususnya Eropa dan Amerika, mulai mendapat perhatian mendalam sejak krisis tahun 2008. Sedangkan di Indonesia, kebijakan makroprudensial pada praktiknya sudah berjalan pasca krisis 1998. Berarti pada dasarnya Indonesia sudah mengembangkan model kebijakan makroprudensial tersendiri tanpa berkiblat kepada AS maupun Eropa.
Â
Karateristik ekonomi Indonesia sebagai negara kepulauan besar terbilang unik. Lima pulau besar Indonesia memiliki sumber daya yang berbeda, karakteristik sosial yang berbeda, juga pertumbuhan ekonomi yang berbeda satu sama lain. Hal Ini menyebabkan makropudensial Indonesia, sebagai negara kepulauan, membutuhkan pendekatan khas yang berbeda dengan pendekatan ekonomi di negara-negara kontinen (daratan) di Eropa, Amerika, atau China. Â
Â
Dengan kenyataan bahwa  makroprudensial Indonesia yang sudah satu langkah di depan negara kontinental, merupakan hal yang menguntungkan. Ini menjadi penting karena di masa depan kebijakan makroprudensial akan mendapat tantangan hebat yang tidak terduga. Misalnya seperti yang tengah kita hadapi hari ini, dengan terjadinya perang dagang AS-China.  Walau pun masih sangat dini untuk menilai seberapa besar pengaruh perang dagang tersebut terhadap sistem keuangan negara kita, dampaknya sudah mulai terlihat. BI sendiri mulai melakukan langkah-langkah makroprudensial strategis agar perang tersebut tidak membuat Indonesia mengulangi sejarah krisis ekonomi yang pernah kita derita. Â
Â
Di luar itu, Indonesia juga merupakan negara dengan populasi muslim terbesar. Karenanya sebagai penutup, sebagai orang awam, penulis memberanikan diri untuk memberi saran pendekatan syariah sebagai alternatif bagi kebijakan makroprudensial BI. Â Sistem ekonomi syariah yang relatif masih sangat muda dapat menjadi faktor alternatif yang membantu, atau bahkan menjadi penentu, ketika resep-resep konvensional makroprudensial tidak efektif dalam mencegah krisis. Bagaimana pun juga, sejarah menunjukkan krisis merupakan hal yang selalu mungkin untuk terjadi. Â
Â
Jika kebijakan makroprudensial syariah dapat dikembangkan BI, Indonesia tidak hanya dapat memberikan sumbangsih berharga bagi ekonomi syariah dunia, tetapi diharapkan dapat mengambil peran sebagai salah satu pusat keuangan syariah dunia. Â
Â
Proses menuju hal itu tentunya tidak mudah. BI perlu melakukan berbagai penelitian mendalam, kerjasama dengan ilmuwan dan otoritas keuangan, dan simulasi intensif untuk mendapatkan formulasi makroprudensial yang paling tepat bagi negara kepulauan dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini. Secara pribadi, saya harap BI bisa melakukannya.
Â
Bogor, 25 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H