Ketika ada foto yang entah kapan, dimana, dalam peristiwa apa, kesimpulan langsung dibuat.
Ketika ada orang meninggal, karena kejahatan, yang bahkan pelakunya belum diketahui, orang sudah membuat spekulasi, tuduhan dan dugaan konspirasi.
Hanya karena orang yang terbunuh pernah menjadi saksi dalam pemilu.
Prinsip 5W ( What, Where, When, Who, Why) dan 1H ( How) bukan cuma usang, tapi tidak berguna dan tidak digunakan untuk mencerna berita.
Tidak ada jejak sarjana, manajer, tokoh masyarakat, lulusan pesantren, ustadz, berbagai profesi dan latar belakang pendidikan tinggi.
Pikiran tidak lagi di dalam batok kepala, melainkan berpindah ke ujung jari.
Di ujung jari itu juga diletakkan emosi.
Kadang saya tidak mengerti, di bagian mana membagikan berita provokatif membuat bahagia?
Jangan -jangan itu cuma kebiasaan buruk yang dinikmati dan susah dihentikan.
Melihat gelagat yang terpampang, sepertinya setelah pengumuman hasil pemilu 22 Mei ini pun harapan saya akan kedamaian ramadhan hanya angan-angan.
Kita lebih suka bertengkar membela sesuatu yang dianggap benar menurut keinginan. Kata orang media penyakit era post-truth, walau pun peradaban kita sebenarnya tidak pernah mencapai era real-truth.
Sungguh, saya merindukan kedamaian, terlebih ramadhan ini.