Lembaga survey sangat kesulitan ketika ada dua pasangan calon presiden-wapres dengan selisih hasil suara sangat dekat. Misal 49,3% berbanding 50,2% , sisanya tidak sah. Dengan margin error 1% pun lembaga survey akan sport jantung saat mengumumkan hasil QC mereka. Sulit menentukan siapa pemenangnya karena peluang kedua calon sebetulnya sama besar.
Dari uraian itu kita bisa mengetahui bahwa sejatinya lembaga survey merupakan lembaga riset. Komoditas mereka adalah kepercayaan. Hasil QC tidak semata diukur dari nilai yang mereka tunjukan, melainkan bagaimana mereka mengambil data dan metode apa yang mereka gunakan untuk melakukan studinya. Kesalahan menebak atau menentukan pemenang pilpres bukan ukuran utama, selama cara pengambilan data dan metode perhitungannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sebagai lembaga riset yang menjadikan kepercayaan sebagai bisnisnya, lembaga survey pasti tidak ingin memiliki reputasi tercela karena menampilkan hasil survey pesanan. Bisnis utama mereka akan hancur total karena ditinggalkan klien yang kehilangan kepercayaan.
Pemilu bagi lembaga survey adalah  perlombaan untuk menaikkan pamor lembaganya. Pemilu adalah pertaruhan reputasi. Saat pemilu inilah seluruh mata tertuju pada lembaga survei sehingga mereka berlomba-lomba untuk menebak hasil pemilu dengan akurasi tertinggi.
Semakin mendekati real count hasil tebakan mereka, maka semakin tinggi pula pamor mereka. Sebaliknya makin meleset tebakan mereka, tentu reputasi mereka semakin menurun. Ramalan yang pasti, calon-calon klien yang akan memanfaatkan jasa mereka dapat lebih mudah digaet jika tebakan mereka jitu.
Hasil QC terbukti secara ilmiah. Soal anda lebih percaya rumor dibandingkan hasil QC, itu urusan anda.
Bogor, 5 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H