Seorang ibu berbicara dalam bahasa daerah, dengan terbata-bata memberikan kesaksian dan ucapan terima kasih atas bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Di rumah sederhananya yang berlantai tanah, sang ibu menceritakan kondisi kehidupan serta bagaimana keluarganya mengalokasikan dana dari kementerian sosial untuk pendidikan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan hariannya.
Siapa sangka, di balik keceriaan wajahnya ibu tadi menanggung beratnya beban kehidupan. Keceriaan yang hari itu hadir merupakan cerminan rasa syukur berkat adanya PKH.
Ibu itu tidak sendiri. Ada jutaan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang menerima bantuan PKH dengan jumlah bervariasi, dan jenis bantuan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik keluarganya. Mereka memberikan kesaksian dan ucapan terima kasih melalui video sejenis yang bisa anda saksikan di media sosial. Video-video itu dihimpun oleh petugas sosial penyalur bantuan PKH, langsung dari penerimanya di berbagai penjuru Indonesia.
Kisah ibu tadi menjadi semacam potret cerah bagi program subsidi pemerintah. Bandingkan dengan potret subsidi lebih dari satu dekade silam. Ketika itu "seorang perempuan gemuk dengan sederet gelang emas menghiasi pergelangan tangan, antri di Kantor Pos mengambil Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat miskin", menjadi sebagian realitas pelaksanaan program subsidi.
Persoalan subsidi memang kerap menjadi polemik. Kritik terhadap program subsidi terutama menyangkut efektifitas dan ketepatan sasaran, karena sebagian subsidi sampai ke tangan pihak-pihak yang sebetulnya jauh dari layak sebagai penerima bantuan.
PKH merupakan jawaban atas kritik tersebut, sekaligus evolusi upaya negara menanggulangi kemiskinan. Mulai dijalankan sejak tahun 2007 dengan jumlah KPM sekitar 500 ribu, kian hari PKH menunjukkan hasil yang memuaskan. Karena itu di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo PKH lebih dikembangkan lagi, baik dari jumlah anggaran maupun jumlah keluarga penerimanya. Tentunya dengan tetap memperhitungkan kemampuan pemerintah.
Pada RAPBN tahun 2019, tercatat anggaran untuk PKH meningkat lebih dari dua kali lipat, dari Rp. 17 Trilyun di tahun 2018 menjadi Rp. 34,4 Trilyun, untuk meningkatkan nominal santunan bagi sekitar 10 juta KPM. Bandingkan dengan tahun 2017 dan 2016 program PKH yang hanya menjangkau sekitar 6 juta keluarga, 3,5 juta keluarga pada tahun 2015, dan 2,8 juta pada tahun 2014, dengan anggaran berkisar Rp. 5 Trilyun - Rp. 12 Trilyun.
Unsur PKH berikutnya disebut bantuan komponen, yang terdiri atas 7 komponen bantuan. Bantuan komponen diberikan dengan menilai keberadaan anggota keluarga dengan karakteristik: ibu hamil, balita, manula, anak usia sekolah, dan penyandang cacat. Sehingga besaran bantuan yang diterima KPM disesuaikan karakteristik dan kebutuhan spesifik KPM yang bersangkutan.
Menurut hemat penulis 7 bantuan komponen ini dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama berupa bantuan gizi bagi ibu hamil dan anak usia dini, sebesar Rp. 2.400.000 per keluarga per tahun. Kelompok kedua adalah bantuan pendidikan, yang diperuntukkan bagi anak usia sekolah agar mendapat pendidikan layak. Jumlahnya bervariasi dari Rp. 900.000 untuk SD, Rp. 1.500.000,- untuk SMP, dan Rp. 2.000.000 untuk SMA per keluarga per tahun. Kelompok ketiga merupakan bantuan bagi warga miskin yang tidak produktif, yaitu penyandang difabilitas berat dan manula, menerima Rp. 2.400.000,- per keluarga per tahun. Nilai tersebut merupakan nominal tahun 2018, dan tahun ini diharapkan dapat ditingkatkan.