Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Inkonsistensi Revolusi Mental dan Realisasi Pembangunan Jokowi

6 Februari 2019   16:10 Diperbarui: 6 Februari 2019   17:56 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya manusia makhluk yang kepadanya bisa dilekatkan kata benda abstrak "mental" dan turunannya, seperti: mentalitas, bermental baja, atau temperamental.

Empat tahun silam Jokowi menggemakan "Revolusi Mental", yang mengantarkannya ke kursi presiden periode 2014-2019. Saat itu yang terbayang di benak saya adalah: Jokowi menawarkan suatu pendekatan kemanusiaan dalam kepemimpinannnya. Karena kata mental tadi lekat dan tidak bisa dipisahkan dari manusia. Harapannya: Revolusi Mental Jokowi adalah membangun manusia Indonesia.

Menjelang akhir masa jabatan periode pertama, pendukung pemerintahan Presiden Jokowi sebagai petahana gencar menyebarkan informasi mengenai hasil kerja pemerintahan Jokowi-Jk selama 5 tahun berjalan. Foto-foto dan berita tentang pembangunan jalan dan jalan tol, pelabuhan, MRT, atau bandara menjadi andalan kubu pendukung petahana. Tapi di bagian mana hasil pembangunan manusianya?

Sementara itu, kubu penantang terpengaruh untuk menjadi antitesis dengan sibuk menolak prestasi itu. Mereka menangkis dengan penjelasan bahwa sebagian (sangat besar) dari pembangunan yang dilakukan Jokowi sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya. Jadi Jokowi cuma potong pita.

Kenyataannya rencana besar pembangunan Indonesia memang sudah ada alur utamanya sejak zaman Bung Karno. Bahkan sebagian sudah dibuat sejak zaman Belanda. Misalnya, keberhasilan penerbangan pesawat komersial karya anak bangsa N-250 pada tahun 1996. Fondasinya sudah dipancangkan oleh Bung Karno, karena Pak Habibie serta timnya dikirim belajar di Jerman dengan biaya negara untuk kembali ke Indonesia dengan tujuan membangun industri Dirgantara.

Terlepas dari "kegagalan" produksi massalnya, rezim Orde Baru tidak mungkin mampu membangun industri pesawat tanpa tersedianya sumberdaya manusia kompeten yang disiapkan oleh rezim terdahulu. Artinya sebetulnya negara memang sudah memiliki cetak biru pembangunan, seorang presiden tinggal mengikuti cetak biru itu dan menetapkan prioritas guna menjalankan rencana pembangunan tersebut.

Tapi saya bukan ingin membahas cetak biru tersebut. Melalui tulisan ini saya menyayangkan informasi yang mengalir deras dari kubu pendukung Jokowi hampir tidak menyentuh esensi Revolusi Mental yang dahulu pernah bergema. Informasi yang beredar lebih terlihat sebagai revolusi infrastruktur dibandingkan revolusi mental.

Demikian halnya pada tataran kenegaraan. Revolusi mental yang digemakan Jokowi, dibandingkan bersifat global kebijakan negara ternyata lebih ditujukan bagi diri presiden sendiri. Kita melihat seorang presiden yang kantornya seluas tanah Indonesia, bergerak menghadiri berbagai acara, dan berinteraksi dengan masyarakat Indonesia dari pulau ke pulau. Barangkali tujuannya menginspirasi rakyat Indonesia, tetapi Revolusi Mental yang dicanangkannya belum terlihat dalam strategi pemerintahan dan negara. Setidaknya tercermin dari pemberitaan dan informasi yang dibagikan para pendukung presiden.

Barangkali juga, itu karena latar belakang presiden seorang pengusaha yang memang konsen pada pembangunan fisik. Atau mungkin juga saya yang alpa, sehingga tidak melihat lebih jeli pencapaian yang menyentuh sisi-sisi pembangunan manusia Indonesia. Tetapi realitas yang terjadi adalah ketimpangan informasi mengenai pencapaian pembangunan fisik dengan pembangunan mental manusia Indonesia.

Sekali lagi barangkali, ketimpangan itu pula yang menjadikan seorang tokoh gaek melemparkan wacana Revolusi Moral sebagai tandingan Revolusi Mental. Meskipun itu juga absurd, karena moral selalu berkonotasi positif sehingga tidak membutuhkan revolusi. Orang tidak bermoral-lah yang tidak baik dan membutuhkan revolusi.

Pada pemilihan umum mendatang Jokowi menggandeng seorang ulama senior sebagai cawapresnya, berbeda dengan wapres saat ini yang sama-sama berasal dari latar belakang pengusaha. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun