Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kemasan Suci Yang Terkoyak

2 November 2018   19:29 Diperbarui: 3 November 2018   18:08 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan anda membeli henpon mahal produk korea, masih di dalam kardus aslinya lengkap dengan segel hologramnya.

Sesampai di rumah anda buka kotaknya dengan hati-hati, karena dibeli dengan menghabiskan tabungan 4 bulan gaji.

Begitu dikeluarkan isinya, eng ing eeeeeng,... ternyata bukan henpon samsung galaxy idaman, tapi henpon abal-abal merk cangcut galaksih.

Apa yang anda rasakan?

Marah? Pasti.

Geram? Yes.

Sedih? Kayaknya enggak.

Isi yang tidak sesuai bungkusnya yang bikin es-mosi, sehingga anda koyak-koyak bungkusnya karena kesal.

Itu persis seperti kasus "bendera tauhid".

Bungkus luar organisasi yang heboh bendera itu adalah Islam, tapi isi dalamnya benarkah Islam?

Apakah pengajian mereka mengajarkan kitab-kitab tauhid sejenis Aqidatul Awam, Sulam Munajat, atau kitab fiqih seperti Safinatun Najat, atau kitab adab sperti Ta'limul Muta'alim?

Tidak!

Apalagi sampai mengkaji kitab-kitab "berat" semacam Minhajul abidin atau Ihya 'Ulumudin, sama sekali tidak!

Pusat ajaran mereka bukan ilmu tauhid, fikih, atau adab, tapi "kewajiban mendirikan khilafah" dengan segala cara. Itulah yang terus menerus diajarkan, digemakan berulang-ulang kepada jamaahnya. Bungkusnya simbol Islam, tapi isinya kepentingan politik, misi, keinginan, dan tujuan mereka sendiri.

Ketika bungkus yang menipu itu dikoyak-koyak karena orang tidak meridhai isinya yang menipu, mereka bergerak serentak mengatakan pengoyaknya adalah musuh Islam.

Mempersenjatai diri dengan stigma dan tuduhan-tuduhan islamophobia, liberal, antek kafir, dan sejenisnya, tanpa kajian mendalam.

NU tidak sedikitpun gengsi untuk meminta maaf atas kesalahan salah satu jamaahnya, tanpa merasa hina karena merasa jamaah organisasinya paling besar. Padahal kalaulah mau mencari excuse, banyak sekali alasan menolak. Apalagi kasusnya juga dilakukn oleh individu, bukan kebijakan organisasi scara global.

Demi kebaikan bangsa maka gengsi berada di nomor ke sekian ratus, meletakkan arogansi adalah niscaya, oknum pun sudah diserahkan kepada kepolisian untuk diproses secara hukum.

Tapi saksikan, apakah gerakan manipulatif itu berhenti?

Tidak!

Apa lagi yang diminta dari demo berseri?

Menuntut banser atau anshor dibubarkan?

NU dibubarkan karena satu, atau segelintir orang?

Atau negara ini bubar dan mereka yang berkuasa?

Gerakan kaum sejenis ini berhasil di Suriah, di Libya, di Irak,.... lihatlah dan belajarlah dari peristiwa di negeri-negeri yang baru saja disebutkan.

Tempat di mana mereka berulang-ulang berikrar atas nama Allah, akan berhasil menegakkan hukum Allah di bawah panji kekhalifahan yang dijanjikan.

Adakah kedamaian di Suriah, Irak, Libya?

Jangankan tegaknya hukum Allah yang mereka janjikan, di sana sujud saja tak tenang.

Sholat was-was.

Zakat pun tidak tertunaikan.

Masjid luluh lantak.

Maukah, relakah, negeri kita menjadi seperti Irak, Syria, atau Libya?

Ulama-ulama Syria berkunjung ke Indonesia, untuk belajar toleransi dan merawat kedamaian.

Sementara masyarakat kita, terus menerus diajarkan bagaimana cara memulai peperangan.

Mari kita belajar dari negeri yang porak-poranda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun