Beberapa waktu lalu televisi pernah menayangkan berita tentang maraknya peredaran daging Sapi Glonggong. Daging sapi yang diperoleh dari praktik penyembelihan untuk mendapatkan daging dengan kadar air setinggi mungkin demi keuntungan sesaat. Di lain waktu, ditemukan bahan pangan mengandung boraks, bahan-bahan pangan palsu yang membahayakan kesehatan, bakso daging tikus, hingga temuan daging babi di pasar tradisional di kawasan berpenduduk mayoritas muslim.
Peristiwa sejenis itu tentu merupakan hal mengkhawatirkan sekaligus ironis. Bagaimana tidak? Ketika saya seorang muslim, tinggal di wilayah yang penduduknya mayoritas muslim, institusi sosial dan pemerintahan bercorak muslim, semestinya merasa aman saat menyantap makanan, tanpa perlu mengkhawatirkannya haram. Kenyataan yang terjadi sebaliknya, jangankan untuk mendapatkan makanan halal, untuk thoyib (baik dan sehat) pun saya merasa was-was.
Justru ketika berkunjung negara-negara non muslim saya merasa lebih aman memperoleh makanan halalan thoyiban. Saya bisa datang ke restoran muslim yang hanya menyediakan makanan halal dan diolah secara higienis. Sementara membedakan makanan halal siap saji di supermarket lebih mudah lagi, karena setiap kemasan bahan makanan halal sudah tersertifikasi lembaga independen berkompeten di bidangnya, yang diawasi secara ketat oleh pemerintah dan dewan ulama setempat. Bahkan ada pilihan makanan vegetarian yang proses pengolahannya sama sekali tidak melibatkan olahan hewani, daftar bahan-bahannya dicantumkan sehingga relatif mudah menelusuri kehalalannya.
Thailand adalah contoh terdekat. Dewan Ulama Thailand adalah lembaga keagamaan yang pertama kali mengeluarkan sertifikasi halal dan menyusun standarisasinya di tahun 1971. Jika mulanya hanya untuk mengakomodasi kebutuhan 5% warga muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, belakangan pemerintah Thailand mendukung industri makanan halal menjadi salah satu ujung tombak perekonomian. Bahkan Thailand telah mencanangkan diri untuk menjadi "dapur halal"bagi 2 milyar umat muslim di planet Bumi.
Keseriusan pemerintah Thailand untuk menjadi pusat produsen makanan halal dunia tidak main-main, terbukti dengan dukungan program di segala lini. Diantaranya integrasi dengan program wisata halal. Sebagai contoh anda bisa dengan mudah menemukan applikasi yang memberikan petunjuk masjid dan restoran makanan halal di ponsel Android atau iPhone. Sebuah aplikasi yang secara resmi dikeluarkan dan dikelola oleh Badan Pariwisata Thailand (Tourism Authority of Thailand/TAT), hasil kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal dan pelaku usaha setempat.
Jika pemerintah Thailand melihat dari sisi ukuran pasar dan bisnis, maka sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, mengelola dengan sebaik-baiknya persoalan makanan halal lebih dari sekedar kewajiban pemerintah Indonesia. Indonesia tidak boleh malu untuk belajar dan mengikuti jejak Thailand lebih serius mengembangkan industri makanan halal, tidak hanya bagi kemaslahatan umat muslim tapi juga demi kemaslahatan bangsa.
Saya meyakini, pemerintah Indonesia memiliki harapan lebih tinggi dari pemerintah Thailand yang ingin menjadi dapur halal dunia. Tapi sebagai masyarakat dan warga negara Indonesia, jika boleh berharap, saya memiliki 3 harapan sederhana. Selain melindungi kaum muslim dari bahan pangan haram dan berbahaya juga bisa menjadi fondasi dasar bagi pembangunan industri makanan halal Indonesia. Karena bagaimana mungkin kita akan membangun industri halal yang mendunia jika masyarakat Indonesia sendiri tidak terlindungi dari bahan pangan haram?
Pertama, mempererat kerjasama dengan ulama dalam merancang program industri halal dan membangkitkan kepedulian masyarakat pada makanan halal, diiringi sosialisasi program-program pemerintah agar praktik pengolahan makanan halal bisa menjadi standar umum.
Praktik pengolahan makanan halal sesungguhnya sudah menjadi budaya masyarakat muslim kita sejak berabad lampau. Tetapi di era industri, ketika cepatnya lalu lintas dan perdagangan bahan makanan, penambahan zat aditif, dan pengemasan makanan tidak terelakkan, maka upgrade pemahaman masyarakat terhadap makanan halal menjadi persoalan penting. Ini berlaku tidak hanya bagi kaum muslim melainkan juga masyarakat non muslim, apalagi bagi pelaku bisnis kuliner dari restoran hingga kaki lima.
Hal-hal sederhana seperti pengenalan bahan aditif non halal, proses pengolahan makanan halalan thoyiban, atau nama dan ciri makanan yang haram, patut disosialisasikan lebih intensif oleh para ulama dengan dukungan negara. Ulama yang saya maksud tidak terbatas pada ustad atau pengisi ceramah, tapi juga keterlibatan ulama yang memahami proses pengolahan makanan. Jika iklan larangan merokok, yang bagi sebagian muslim hukumnya makruh bisa mendapat dukungan dan disosialisasikan dengan gencar, sesungguhnya persoalan halal-haramnya makanan menuntut sosialisasi yang lebih instensif.
Kedua, memperketat pengawasan dan kontrol peredaran makanan haram atau berpotensi haram. Beredarnya makanan yang tidak layak konsumsi dan makanan haram sesungguhnya menunjukkan lemahnya kontrol pemerintah terhadap perdagangan dan distribusi bahan pangan. Untuk itu memperbaiki metode serta sistem pengawasan peredaran makanan dan kerjasama pihak-pihak terkait menjadi hal yang mutlak. Misal, pada pengawasan barang dan bahan pangan pasar tradisional yang harus dilakukan pada malam atau dini hari. Karena sebagian besar pasar tradisional justru aktif mulai dini hari hingga pagi.