Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bom Sarinah, Teroris Bodoh, Aksi Intelejen, dan Tawa Publik

17 Januari 2016   03:38 Diperbarui: 27 Maret 2019   07:45 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lima teroris bersenjata, dilengkapi dengan bom untuk meledakkan diri hanya mampu membunuh dua orang sipil tidak bersalah, sementara semua pelaku tewas. Memangnya teroris, apalagi sekelas ISIS, begitu bodoh itu tidak mampu membunuh lebih banyak? Paling tidak satu untuk setiap orang, di Paris saja ada ratusan orang yang berhasil mereka bunuh, demikian juga Turki yang mencapai puluhan. Teori konspirasi pun mengemuka.

Begitulah repotnya menjadi aparat keamanan. Ketika korban yang tewas banyak, disalahkan karena gagal mengantisipasi kejadian. Sementara kalau jumlah korban sedikit, disebut rekayasa dan main drama. Padahal tugas mereka mempertaruhkan nyawa.

Penulis sendiri melihat peristiwa Sarinah sebagai sebuah panggung pertunjukan. Memang aneh dan tidak wajar, tim teroris meledakkan pos polisi, membawa senjata dan menembak membabibuta. Dalam perspektif penulis, aksi itu seperti ingin menarik perhatian, ada sesuatu yang tak kasat mata yang luput dari pandangan orang awam.

Namun demikian, apa saja mungkin terjadi dalam sebuah peperangan. Merupakan hal yang umum dalam perang untuk melakukan pancingan, dan jika mengamati peristiwa Sarinah ada dugaan itu adalah “decoy”. Sebuah umpan yang dipersiapkan untuk memancing perhatian agar kekuatan lawan berkumpul di satu titik, sementara tim lain sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar.

Hal itu harus dilakukan karena penjagaan dan sistem intelejen Indonesia sejak beberapa waktu sudah cukup sulit ditembus. Jika kejadian hanya terjadi di satu titik, seolah-olah tidak terjadi sesuatu, sebenarnya adalah hasil dari pasukan intelejen yang bekerja keras menetralisir peristiwa besar lain yang disiapkan teroris. Sejauh ini tampaknya petugas kita cukup berhasil.

Lalu kenapa informasi “peristiwa lain” tersebut tidak disampaikan ke publik? Yang ada malah informasi simpang siur, baik dari kepolisian maupun BIN. Tolong bapak-bapak petinggi negara, jangan membuat publik penasaran. Bukankah publik juga berhak tahu informasi yang benar?

Kalau bukan bodoh, cuma intelejen tidak waras yang mengungkapkan semua informasi dan pekerjaannya kepada publik. Adalah juga tugas intelejen untuk melindungi informasi-informasi sensitif agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Tujuan utama sebuah aksi teror adalah meruntuhkan sendi-sendi sosial dan ekonomi masyarakat. Memang korban yang banyak akan menimbulkan daya kejut besar. Tetapi dibanding jumlah korban, ukuran keberhasilan terorisme adalah menyebarnya kepanikan, rasa takut, perpecahan, dan ketidakpercayaan kepada pihak lain, terutama pemerintah. Itulah kenapa aksi teroris sering bersamaan dengan isu-isu sensitif.

Kita patut bersyukur bangsa kita mulai menunjukkan ketangguhan karakter yang diwarisi dari pejuang 45. Hanya dalam hitungan jam hashtag #prayforjakarta berubah menjadi #kamitidaktakut, diiringi meme-meme lucu dan menggemaskan. Yang menjadi indikasi dari tumbuhnya kesadaran kolektif bangsa ini harus bergandengan tangan, bergerak bersama, seirama menghadapi tantangan apa pun di masa depan. Termasuk terorisme.

Memang, di era post computer, senjata melawan terorisme tidak cuma senapan dan baju anti peluru, tapi keypad, handphone, hashtag, bahkan meme dan humor. Dunia terkejut, melihat kejadian yang hanya ada di Indonesia, teroris ditonton dan ditertawakan. Tetapi tetap saja, pekerjaan berbahaya seperti yang dilakukan petugas keamanan di Sarinah, dan aparat intelejen yang beroperasi dalam sunyi, tidak terlihat dan tidak mendapat pemberitaan, adalah pilar utama keamanan negara.

Sungguh tidak layak jika “umpan” dari pelaku teror, pengambilan momen, dan cara-cara tidak manusiawi yang dilakukan oleh sebagian orang keblinger justru dibela, sementara pihak yang mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan orang lain disalahkan. Tanpa menyajikan data yang valid dari fakta-fakta ilmiah, hanya modal bumbu analisis penuh prasangka. Aduduh,... jangan sampai kita terlihat senang kalau makin banyak korban yang jatuh.

Mudah saja sekedar membuat analisa sedikit foto dan mencari kejanggalannya, tanpa memahami alur kejadian dan fakta-fakta teknis yang terjadi. Tapi menghadapi bahaya dan bertaruh nyawa persoalan yang berbeda.  Kalau pun memliki opini yang berbeda, setidaknya acuannya dari orang yang benar-benar ahli. Pikir 100x menyebarkan berita yang tidak teruji kebenarannya ketika di saat yang sama orang lain mendapat musibah. Alangkah tidak bijaksana menyebar berita tidak bertanggungjawab, sementara intelejen kita bekerja keras, agar kita masih bisa menikmati tawa dari meme-meme lucu yang menjadi viral di media sosial.

Hati-hatilah, jangan sampai kita menjadi alat dan diperalat teroris untuk menyampaikan pesan-pesan yang memecah belah bangsa.

Bogor, 17 Januari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun