Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Peran Ideal DPD-RI, Saatnya DPD RI Didengar

19 Juli 2015   23:16 Diperbarui: 16 April 2016   23:27 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Indonesia tak cuma Jabodetabek. Kalau ingin benar-benar mengenal Indonesia, kita harus mengunjungi daerah-daerah lain”. Kata seorang sahabat.

Ketika beberapa tahun lalu melancong ke luar jawa, saya menyaksikan sendiri bukti kata-kata sahabat saya tersebut. Secara kasat mata dengan mudah kita bisa melihat kesenjangan yang sangat lebar antara Jawa, dan Jabodetabek pada khususnya, dengan daerah-daerah lain.

Kesenjangan yang paling dapat dilihat adalah kondisi infrastruktur jalan raya. Jika di Jawa ke mana pun kita berbelok akan melintasi jalan lebar dan beraspal, di luar jawa infrastruktur jalan yang bagus terpusat di kota-kota besar dan sepanjang jalan nasional. Tidak mengherankan karena data tahun 2011 menunjukan di panjang jalan di luar jawa hanya 25.259 km dari total jalan 92.212 km. Bandingkan juga, dari 37 ruas jalan tol di Indonesia 30 di antaranya berada di Jawa, sisanya 3 di Sumatera, 2 di Sulawesi (bagian selatan) dan 2 di Papua. (sumber: wikipedia).

Karena pabrik dan pusat industri membutuhkan kelengkapan infrastruktur, terutama transportasi seperti jalan dan pelabuhan serta prasarana telekomunikasi, akibatnya pusat-pusat kegiatan ekonomi juga terpusat di Jawa. Pertumbuhan ekonomi menjadi tidak seimbang, jika Pulau Jawa memiliki andil pertumbuhan 58,3% terhadap ekonomi Indonesia, Sumatera menyumbang 22,56%, jauh meninggalkan Kalimantan sebesar 8,26%, Sulawesi 5,72%, Bali 2,97%, lalu Maluku dan Papua sebesar 2,19%.

Tidak hanya di infrastruktur jalan, data-data bidang di pendidikan juga menunjukkan kesenjangan. Jika 78.400 (53%) dari 146.826 Sekolah Dasar berada di luar Pulau Jawa, lulusan Sekolah Dasar di luar Jawa tadi hanya diserap 19.734 Sekolah Menengah Pertama dari total 33.688 SMP di Indonesia. Jumlah Sekolah Menengah Atas juga tidak sebanding dengan lulusan dari SMP karena hanya tersedia 11.534 SMA (56% dari total 21.910 SMA di Indonesia. Yang memprihatinkan, jika jumlah Sekolah Dasar yang dikelola pihak swasta hanya berkisar 11%, maka jumlah sekolah swasta di luar jawa angkanya mencapai 27,14% untuk SMP dan 49,19% untuk SMA. Sementara di jenjang pendidikan tinggi, 10 besar universitas terbaik di Indonesia berada di Pulau Jawa, lalu dari 50 besar universitas terbaik hanya 8 Universitas yang berada di luar Jawa. Angka-angka tersebut menunjukan bahwa tidak hanya di bidang fisik, ketidakmerataan pembangunan juga terjadi di bidang peningkatan pendidikan, yang menjadi cermin abainya pemerintah terhadap kualitas Sumber Daya Manusia.

Era reformasi yang semula menjadi tonggak harapan Indonesia untuk terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, ternyata belum mampu menjadi katalis bagi pemerataan pembangunan. “Pemerintah pusat” masih menjadikan Pulau Jawa juga sebagai pusat pembangunan Indonesia. Padahal sebagaimana terlihat dalam data di atas, berbagai permasalahan pembangunan di daerah di luar Jawa membutuhkan sentuhan pemerintah pusat berorientasi pembangunan daerah. Menyadari bahwa setiap daerah di Indonesia berhak mendapat porsi pembangunan yang sama, digagaslah kelahiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Sejak kelahirannya di tahun 2004, DPD RI mengemban misi untuk menjadikan Indonesia lebih berkeadilan melalui pemerataan pembangunan.

Namun demikian, jalan mewujudkan misi tersebut masih panjang. Dengan jumlah anggota di MPR yang “hanya” 132 orang serta anggaran dan kewenangan yang terbatas, DPD RI masih berfungsi sebagai penyeimbang, bukan penentu utama keputusan, di lembaga tertinggi negara Indonesia. Sayangnya di saat yang sama, wakil rakyat yang berasal dari partai politik justru energinya lebih banyak terserap untuk isu-isu politik yang bersifat populis

Di saat itulah harapan agar DPD RI dapat mengambil peran lebih besar dalam tata kelola negara pun mengemuka. Dalam diskusi yang bertajuk “Tokoh Bicara: Saatnya DPD RI didengar” Ketua DPD RI: Irman Gusman mengajak para blogger kompasiana untuk menyumbang ide, memberi kritik dan mengabarkan peran DPD RI agar DPD RI memiliki posisi lebih kuat dalam perannya sebagai lembaga tinggi negara.

Menurut hemat penulis, pertama-tama untuk memperkuat peran DPD RI sangat tergantung dari para anggota DPD RI saat ini, yaitu dengan membangun kredibilitas. Selama ini pembangunan kredibilitas DPD sudah cukup baik, karena ketika DPR dan partai politik babak belur oleh kasus-kasus korupsi tidak ada satu pun anggota DPD yang diduga terlibat dalam tindak pidana rasuah. Penilaian WTP 9 kali berturut-turut merupakan salah satu bukti bahwa DPD RI merupakan lembaga yang relatif bersih.

Namun tidak hanya bersih, DPD RI harus menjadi lembaga yang paling memahami kebutuhan dan persoalan di daerah. Pemahaman tersebut tidak hanya berkisar di angka-angka statistik semata, menginventarisir kebutuhan daerah dan mengakomodir dengan kebijakan pemerintah pusat, melainkan pemahaman kultur dan budaya masyarakat setempat. Untuk itu persyaratan DPD RI harus orang yang berdomisili di daerah tempat ia dicalonkan merupakan langkah yang sangat tepat. Dengan itu diharapkan anggota DPD RI adalah orang daerah yang memiliki akar pemahaman yang dalam dan lebih sering berada di daerah dibanding di Jakarta, sehingga mampu menyerap dan memiliki kompetensi dalam menerjemahkan kebutuhan daerah menjadi produk peraturan. Dalam hal ini DPD RI juga perlu mendengar. Hanya dengan terujinya kinerja DPD RI yang akan mengundang rakyat Indonesia untuk berada di belakang DPD RI. Yang tidak kalah penting adalah memberikan DPD RI kebebasan untuk melakukan sosialisasi peran dan kinerja DPD RI sehingga anggaran DPD RI untuk media pers, blogger dan pertemuan dengan masyarakat perlu mendapat peningkatan.

Penting juga bagi DPD RI adalah sikap untuk tetap netral tanpa terseret isu-isu politik. DPD RI harus tetap menjejakkan kedua kakinya pada amanah rakyat daerah. Dengan netralitas itulah DPD RI dapat menjadi pihak yang tetap memperjuangkan isu kepentingan rakyat tanpa dipengaruhi kepentingan politik. Dan hanya dengan itu pula, rakyat akan mendukung DPD RI untuk mendapat peran lebih strategis dalam kebijakan negara.

Hal lain yang patut dipertimbangkan adalah penambahan jumlah anggota DPD RI. Merupakan hal yang sangat baik jika sub bidang Sosial budaya dapat dipisahkan dari bidang pendidikan dan agama untuk membentuk komite tersendiri. Sebab dengan lebih dari 1.340 suku bangsa di Indonesia dengan berbagai budayanya, dibutuhkan lebih banyak energi untuk menangani persoalan sosial budaya Indonesia.

Melalui pembentukan komite V bidang sosial dan budaya, DPD RI juga diharapkan dapat menjadi “problem solver” bagi berbagai permasalahan sosial di daerah. Ketika beberapa musibah dan konflik di daerah tidak mampu diselesaikan pemerintah daerah sendiri, melalui wewenangnya DPD RI dapat turut berperan menjembatani konflik sosial baik vertikal maupun horizontal. Serta yang juga tidak kalah penting adalah memberikan informasi yang obyektif dan berimbang supaya konflik tertentu tidak menjadi bahaya laten yang menyebar ke daerah lain.

Dalam bidang budaya, melalui komite DPD RI dapat mengambil peran sebagai garda penjaga kebudayaan. Persoalan budaya ini menjadi sangat penting karena mulai terkikisnya budaya daerah akibat pengaruh globalisasi. Sebagai sebuah ilustrasi, di perkotaan besar saat ini sebagian kaum muda hanya bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sedangkan bahasa daerahnya sendiri tidak bisa. Bahkan tulisan-tulisan asli daerah Indonesia diramalkan akan punah karena sudah tidak digunakan dalam keseharian. Padahal jika kita berkunjung ke negara seperti Jepang, Korea atau Thailand, mereka konsisten untuk tetap menggunakan tulisan asli sebagai identitas bangsa tanpa terpengaruh tulisan latin. Keberadaan komite yang khusus mengurus permasalahan sosial budaya diharapkan dapat mengembalikan budaya bangsa ke tengah masyarakat. Sebab budaya terkait tata cara dan bagian hidup suatu masyarakat, penyelamatan kebudayaan yang hanya bersifat akademis tanpa upaya menghidupkannya dalam masyarakat tidaklah cukup untuk menyelamatkan suatu aset budaya. Menyelamatkan budaya adalah memberikan ruang yang cukup bagi kebudayaan untuk hidup dan berkembang di tempat kelahirannya; masyarakat, bukan ruang akademis.

Melalui peningkatan peran DPD RI di berbagai bidang, kita berharap DPD RI dapat melaksanakan amanah untuk memperjuangkan kepentingan, lingkungan, ekonomi, dan identitas budaya daerah, yang pada gilirannya akan menjadi perekat paling kuat spirit kebangsaan. Sehingga dapat tercapai kemakmuran yang merata. Sehingga tidak ada lagi daerah yang cemburu dan merasa menjadi anak tiri dari bangsa Indonesia. Untuk itu, kini saatnya DPD RI didengar!

 

 

Bahan Bacaan

http://www.kopertis12.or.id/2015/02/13/peringkat-perguruan-tinggi-indonesia-versi-webometrics-edisi-januari-2015.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_jalan_tol_di_Indonesia

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/05/08/no0uk7-pemerintah-berencana-percepat-pertumbuhan-ekonomi-di-luar-jawa

http://www.webometrics.info/en/asia/indonesia 

Indonesia Educational Statistics in Brief 2011/2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun