Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bermusik Di Era Digital, Narasi Kerja Rigby Melewati Masa Suram Musisi

2 April 2015   18:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_407237" align="aligncenter" width="510" caption="Irman dari Universal Music Indonesia dan Rigby"][/caption]

Banyak remaja masa kini bermimpi menjadi musisi. Nge-band, bikin lagu, manggung, lalu dikontrak label besar, rekaman dan bikin album, kemudian menjadi terkenal, kaya raya dari musik dan dipuja ratusan ribu penggemar. Mimpi yang indah.

Sedikit yang memahami bahwa menjadi musisi bukan karier yang mudah. Butuh ketekunan, ide-ide segar, kreatifitas, inovasi, semangat mengatasi kejenuhan, dan terutama kerja keras. Mulai dari proses penciptaan lagu, main musik, bikin demo, naik turun panggung, keluar masuk studio. Setelah dikontrak label dan rekaman lebih profesional justru di situlah awal mula kerja keras. Mungkin itulah salah satu sebab beberapa kasus musisi yang mengkonsumsi obat terlarang, atau yang terbaru mundurnya Zayn Malik dari One Direction, karena tekanan yang sedemikian tinggi.

Namun ada sekelompok pemuda dari Yogyakarta meskipun tahu resiko beratnya menjadi musisi mantap hati untuk berkarir di dunia musik. Mereka menamakan diri Rigby, terdiri dari Dika (vokal), Ryo (bas), Lian (keyboard), Andy (drum), dan Tedy (gitar). Tanpa diiringi salah seorang personelnya yang sedang sakit, mereka bersama Zuhirman Abdillah atau akrab disapa Irman dari Universal Music Indonesia, sengaja dihadirkan dalam acara Kompasiana Ngulik 27 Maret lalu untuk berbagi cerita bermusik di era digital.

Menurut Rigby sebetulnya di era digital ini main musik lalu menjadi terkenal menjadi lebih mudah dengan bantuan teknologi. Studio-studio rekaman amatir bisa ditemui di sudut hampir setiap kota besar, proses rekaman lebih mudah, mixing lagu bisa dilakukan di komputer pribadi, mengirim lagu demo bisa dengan materi digital, atau bisa juga diunggah ke youtube agar langsung dikenal masyarakat.

Rigby bercerita mereka bahkan pernah dimaki-maki band dari Belanda karena kesamaan nama. Artinya Rigby dikenal hingga ke mancanegara dengan bantuan internet, walau pun disebabkan nama. Pendek kata, untuk proses membuat lagu dan mengenalkannya kepada khalayak menjadi lebih sederhana dibanding di masa lalu.

Menurut pengakuan Irman dari Universal Music Indonesia, Rigby sendiri merupakan potret dari penjaringan bakat era digital. Rigby diundang ke ajang MeetTheLAbels tidak lepas dari “campur tangan” Universal yang mulai mengamati potensi Rigby ketika menyaksikan demo musik Rigby di internet. Sehingga ketika kompetisi MeetTheLAbels bergulir dan Rigby berhasil memenuhi ekspektasi Universal, Rigby pun didaulat meneken kontrak dengan Universal.

Namun, perjuangan Rigby yang sesungguhnya baru dimulai. Perjuangan musisi masa kini bukan agar karya musiknya dikenal, tapi menghadapi perilaku masyarakat digital. Dunia berubah dengan kecepatan supersonik karena  kehadiran internet. Internet juga yang menjadi pisau bermata dua bagi musisi, di satu sisi internet sangat memudahkan promosi musik, di sisi lain menjadi pembunuh paling mematikan. Lalu lintas informasi serta data sangat dinamis dan cepat, termasuk diantaranya lalu lintas data musik.

Musisi harus menghadapi hari-hari yang suram karena musik tidak lagi bisa menjadi komoditas yang bisa dijual secara konvensional. Setelah era penjualan kaset, lalu Compact Disc, dan Ring Back Tone, kini musisi dan label seolah kehilangan kontrol atas karyanya. Musik digital menjadi sangat identik dengan musik bajakan, berpindah dari handphone ke handphone dan pemutar musik tanpa bisa dicegah, tanpa bisa dihalangi.

Meskipun demikian, sebagai label Universal Music Indonesia masih sangat optimis industri musik memiliki masa depan cerah. Karena musik adalah peradaban manusia.

“Musik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Apa pun yang manusia lakukan pasti butuh musik.” kata Irman menegaskan.

Sebagai representasi optimismenya, Universal memutar otak dan strategi lebih cerdik untuk bertahan di “jalur musik”. Mempererat kerjasama dengan stasiun TV, memaksimalkan pendapatan dari pertunjukan live, penjualan di toko digital semacam iTunes, memperkuat hubungan dengan jaringan toko kaset dan radio, memaksimalkan penjualan di daerah, hingga mengontrak artis-artis pendatang baru berpotensi seperti Rigby, adalah variasi usaha-usaha yang dilakukan Universal. Kontrak, promosi dan penjualan musik juga didorong lebih bersifat single daripada sebuah album utuh. Tentu karena karakter pasar era kini berbeda dibanding masa lalu.

Di samping itu, Universal dengan gabungan pengusaha label musik juga melakukan lobi kepada pemerintah untuk memperkuat perlindungan kepada musisi dan pelaku industri musik. Monetasi musik yang digunakan sebagai media promosi hotel, restoran, toko, atau mall, sanksi tegas bagi situs-situs yang menyebarkan musik di internet, regulasi perlindungan hak cipta karya kreatif, menjadi isu yang terus digulirkan label. Di negara-negara lain, ASEAN pada khususnya, penegakan aturan semacam ini sudah dijalankan sehingga musisi dan label lebih terlindungi.

Di luar apa yang terlihat di permukaan, ternyata menjadi musisi di era digital bukan karir yang mudah. Setelah semua proses panjang, take suara berulang-ulang dalam proses menghasilkan karya musik berkualitas, hasil kerja keras musisi justru dengan mudah dibajak masyarakat yang menamakan diri "penggemar". Di era digital, musisi tidak sekedar harus bisa jreng-jreng-jreng main musik, tapi siap mental beradaptasi menghadapi perubahan yang begitu cepat dan membentuk hubungan emosional yang kuat dengan penggemarnya. Karena pada nyatanya, yang menyelamatkan penjualan musik adalah para penggemar fanatik atau hardcore fans.

[caption id="attachment_407238" align="aligncenter" width="585" caption="Rigby Perform single Tuhan Jangan Lama-lama LIVE"]

14279744331785630219
14279744331785630219
[/caption]

Lalu perjuangan Rigby untuk menapaki karir di dunia musik baru saja sampai di garis START. Seperti judul single merdu yang sore itu dinyanyikan Rigby: “Tuhan Jangan Lama-lama”, sebagai pecinta musik kami turut berdoa semoga masa-masa kelam musisi di era digital ini jangan lama-lama berlangsung. Serta segera terlihat kepedulian dan usaha keras pemerintah untuk turun tangan dan melindungi karya-karya musisi melalui penegakan peraturan hak cipta.

Jika anda ingin menikmati batu pijakan awal Rigby di dunia musik, silakan cek youtube: https://www.youtube.com/watch?v=iNo3pJevVwQ atau ikuti aksi-aksi anak-anak Yogyakarta penerus Sheila On 7 di @Rigbyband

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun