Mohon tunggu...
dea merina
dea merina Mohon Tunggu... Freelancer - seorang pembelajar

seorang wanita yang tertarik fotografi, menulis, dan travelling. mengabadikan moment lewat foto, menjaga kewarasan lewat tulisan, dan memaknai hidup dengan jalan-jalan. bisa kunjungi di blog www.deamerina.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nek, Maafkan Saya

2 Januari 2021   17:51 Diperbarui: 2 Januari 2021   17:56 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Masuk, Mbak. Nenek di dalam lagi nonton tv,"

Perlahan saya berjalan di belakang bibi. Seolah menonton film, satu persatu memori kembali menghinggapi. Nenek menampar ibu di depan pintu saat menolak kehadiran seorang lelaki, nenek melempar ibu dengan makanan yang dibuatnya, dan saat nenek berteriak mengatakan ibu tak berguna memiliki wajah cantik. Kepala saya terasa berat seketika. Sial. Mengapa harus kenangan buruk yang hadir. Saya kembali melurukan niat dan mengingat semua hal baik yang pernah nenek berikan pada kami. 

Pandangan saya tiba-tiba tertuju pada sebuah foto keluarga yag terpasang di ruang tamu. Ah, bagaimana pun ia tetap nenek saya dan darahnya mengalir pada tubuh saya, kata saya dalam hati. 

Saya melihatnya duduk membelakangi saya di ruang keluarga. Tubuhya tak berubah. Hanya rambutnya saja yang beruban semakin banyak. Saya menarik napas sejenak dan berjalan duduk di sampingnya. 

"Nek,"  sapa saya lembut.

"Eh, kamu, Sya!" ujar nenek kaget menatap saya. "Yaampun sudah lama sekali kamu nggak kesini,"

"Iya, Nek. Maaf baru sempat," kata saya sambil memeluknya. "Oh, iya. Ini ada kue kesukaan nenek," 

"Kamu nggak perlu repot-repot bawa kue. Kamu datang saja nenek sudah senang sekali. Maafkan nenek ya selama ini kalau jahat sama kamu dan ibumu," kata nenek terbata dan mulai menangis. 

 "Nggap apa-apa, Nek. Toh, semuanya juga sudah berlalu. Rasya sudah maafin kok. Sebentar ya Rasya ambilkan piring dulu," saya bangkit ke dapur untuk mengambil piring. 

Saya berjalan menuju dapur dan terhenti di tengah ruangan. Badan saya bergetar dan kepala saya terasa berat hingga tak mampu berdiri. Tiba-tiba pandangan saya menjadi gelap. Saya kehilangan kesadaran sementara. Setelah tersadarkan kembali saya terkejut melihat nenek di hadapan saya dengan berlumur darah. Tangan saya menancapkan pisau tepat di jantungnya. Alih-alih berteriak, anehnya saya malah tersenyum puas. Hari ini semesta baik sekali kepada saya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun