Tahukah anda jika bumi saat ini sedang mengalami perubahan iklim? Bahkan data dari BMKG tahun 2022, menunjukkan ada peningkatan rata-rata suhu harian sebesar 0,3 derajat celcius dari temperatur normalnya yang sebesar 27,2 derajat celcius. Penyebab dari kenaikan rata-rata suhu harian ini tidak lepas dari pengaruh gas rumah kaca seperti gas karbondioksida, metana, dinitrogen monoksida, serta klorofluorokarbon atau CFC.
Gas rumah kaca secara alami terdapat di alam, namun aktivitas manusia seperti transportasi, industri, serta agrikultur juga memiliki sumbangsih dalam emisi gas rumah kaca. Sebenarnya gas rumah kaca ini berguna untuk melindungi bumi dan mempertahankan suhu optimal untuk kehidupan. Namun yang terjadi sekarang, terlalu banyak emisi gas rumah kaca sehingga panas matahari terjebak di atmosfer bumi dan berakibat naiknya suhu rerata dunia.
Terdapat fakta menarik yang mengukapkan bahwa distribusi dan pengadaan makanan bagi manusia merupakan kontributor terbesar penghasil emisi gas ruma kaca. Sebanyak 40% dari total emisi yang berkaitan dengan makanan dihasilkan dari peternakan yang memproduksi daging, susu, dan olahannya. Hal ini bisa terjadi karena industri penghasil daging, susu, dan olahannya membutuhkan lahan yang luas, pakan ternak, menghasilkan kotoran hewan yang mengandung metana, serta mengurangi ketersediaan air bersih. Dari seluruh emisi gas rumah kaca, diperkirakan 14,5% nya berasal dari pertanian dan peternakan hewan (Sanchez Sabat dkk, 2019; Lazarus dkk, 2021).
Gambar 1 menunjukkan bahwa produksi daging merah memiliki kontribusi terbesar terhadap emisi gas rumah kaca terutama metana. Melihat data ini, World Research Fund (2017), merekomendasikan agar konsumsi daging merah tidak lebih dari 300 gram per minggunya sehingga dapat mengurangi permintaan dan meminimalkan produksi daging.
Berbanding terbalik dengan produk hewani, terutama daging merah, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi, pangan nabati justru berpotensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 hingga 70%. Produk nabati seperti tahu, tempe, susu kedelai, juga mengandung protein yang berkualitas dengan daya cerna dan skor asam amino yang baik, serta kaya akan mikronutrien, namun dengan kandungan kalori dan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan daging dan produk olahannya. Sehingga produk nabati dapat menjadi alternatif bahan makanan yang sustainable untuk menerapkan low carbon diet dan mengurangi emisi gas rumah kaca (Ritchie dkk, 2018).
Melihat fakta diatas, para ahli lalu memiliki pendapat bahwa untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim akibat gas rumah kaca, salah satu caranya adalah menerapkan pola makan low carbon diet. Pola makan ini berarti mengurangi konsumsi daging dan memperbanyak konsumsi makanan musiman. Penerapan low carbon diet diperkirakan akan mengurangi dampak perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca sebesar 50% pada tahun 2050 nanti (Boer dkk, 2016).
Sebagai kesimpulan, perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca dapat meingkatkan suhu rata-rata bumi yang akan berdampak pada keberlanjutan lingkungan. Salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca adalah produksi daging dan susu sehingga penerapan Low Carbon Diet dapat menjadi salah satu soslusi untuk mencapai Sustainable Environment atau lingkungan berkelanjutan.
“Perubahan besar dimulai dari Langkah kecil yang konsisten”
Referensi