Mohon tunggu...
Dea Annissa
Dea Annissa Mohon Tunggu... -

jemari menari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan

21 Februari 2018   17:33 Diperbarui: 18 Maret 2018   21:11 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja pun tiba,

Aku hampir tiba dirumah, setelah melalui hari yang panjang dikantor dan cukup melelahkan. Jarak dari rumahku ke kantor termasuk cukup jauh, tapi aku masih mampu menggunakan angkutan umum apa saja.

Kantongku masih cukup untuk membayar ongkos pulang-pergi untuk hari ini dan hari-hari berikutnya... hanya saja aku bosan, aku ingin nyaman dengan membawa kendaraan roda 4 kemana-mana.

Langit semakin gelap, sejauh mata memandang ku perhatikan setiap orang yang lewat dengan kendaraan masing-masing. Deru kendaraan silih berganti di telingaku..

Lalu, jalanan mendadak sepi tak ada sepeda motor, ataupun mobil bergaya yang lewat, angkutan umum pun tak ada..

Sayuuup suaranya terdengar, malah hampir nyaris tidak bersuara.

Ibu-ibu, beliau sudah tua, pakaiannya lusuh, wajahnya lesu penuh pengharapan..

Mengayuh sepeda tua, dengan gandengan kotak kecil di bangku boncengan sepedanya.. ooh penjual gorengan keliling.. batinku.

Perlahan kakinya mengayuh, aku tahu kakinya pasti sudah tak kokoh lagi. Tapi yang pasti beliau tetap harus melanjutkan hidup, sehingga serenta apapun kaki itu ia harus tetap mengayuh dan menjajakan gorengannya.

Sesekali matanya menoleh kanan dan kiri, mungkin ia berharap ada pembeli yang memanggilnya. Mata yang mulai layu itu terlihat lelah, sangat lelah. Aku pikir ia pasti melalui perjalanan yang sangat panjang hari ini.

Hatiku sesak, baru saja aku berpikir betapa lelahnya setelah berjam-jam bekerja. Kembali aku memikirkan, aku ya aku ! kerja tidak tersentuh matahari, tak ada debu, dan tak sempat menjatuhkan keringat karena kantorku menggunakan pendingin ruangan hanya dalam perjalanan pulang-pergi saja peluhku menetes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun